BeritaSialungun.com-Mengenakan jilbab berwarna hitam, Siti Asiyah masuk dalam barisan para diakon (calon imam Katolik yang hendak ditahbiskan).
Dia mengapiti lengan putranya, diakon
Robertus B Asiyanto, SVD, satu dari 11 calon imam serikat Sabda Allah
(SVD) yang ditahbiskan di Ledalero, Maumere, Sabtu lalu.
Mata ribuan umat tertuju kepada ibu
berjilbab itu saat bersama para calon imam memasuki altar gereja. Maklum
ini merupakan pemandangan yang tidak biasa. Siti Asiyah, seorang
muslimah mendampingi putranya untuk ditahbiskan menjadi imam dalam
Gereja Katolik.
Mata Siti Asiyah berkaca-kaca saat
memberi restu kepada anaknya, Robertus Asiyanto yang akrab disapa Yanto
menjadi seorang imam dengan menumpangkan tangan di atas kepalanya.
Siti Asiyah, asal Cancar, Kabupaten
Manggarai itu didampingi ayah angkat Pater Yanto saat memberi
penumpangan tangan untuk putranya.
Selanjutnya Yanto bersama 10 rekannya ditahbiskan menjadi pastor oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr.
Siti Asiyah mengikuti perayaan misa
dan prosesi pentahbisan dengan khusuk. Dia duduk tenang pada kursi
barisan depan di gereja seminari tinggi terkemuka di Pulau Flores
tersebut.
"Senang sekali. Saya sangat senang,"
ujar Siti Asiyah kepada Pos Kupang seusai misa pentahbisan. Hanya itu
kata-kata yang keluar dari bibir Siti Asiyah. Wajahnya sumringah. Senyum
terus mengembang di bibirnya.
Aryanti, adik bungsu Pater Yanto juga mengungkapkan rasa bangga karena kakaknya sudah ditahbiskan menjadi imam.
"Saya senang sekali hari ini," ujar
Aryanti. Aryanti, bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulung Aryanti dan
Yanto adalah perempuan, juga seorang muslim sama seperti ibu mereka Siti
Asiyah.
"Saya baru bertemu kakak sulung saya
delapan bulan lalu. Selama ini kami di rumah hanya mama, dan kakak
pater," ujar Aryanti yang juga penganut Katolik.
Aryanti tidak menyesal kakak lelaki
satu-satunya di rumah itu menjadi imam. "Saya tidak menyesal. Malah saya
senang sekali," kata Aryanti semangat.
Aryanti berharap, kakaknya menjalankan tugas dengan baik dan setia dalam panggilan.
"Hari ini sungguh luar biasa semoga Tuhan selalu menyertai perjalanannya," kata dia.
Pater Yanto mengungkapkan perasaan
hati yang sama. "Hari ini sangat istimewa bagi keluarga saya. Setelah 30
tahun tinggal berpisah, hari ini kami semua bersatu, saya senang
sekali," kata Pater Yanto.
Pater Yanto mengungkapkan, ibunya Siti Asiyah sejak lama sudah tak sabar agar dirinya segera ditahbiskan menjadi imam Katolik.
"Tahun lalu saya memilih istirahat
dulu. Tetapi mama protes. Mama mungkin khawatir saya tidak ditahbiskan.
Hari ini, saya senang sekali," ujar Pater Yanto di sela menyambut ribuan
umat yang menyapa dirinya.
Pater Yanto ditahbiskan bersama dengan
10 rekannya yakni, Eugenius Dwi Ardika Iryanto, SVD, Maximus Hali Abit,
SVD; Kalixtus\Hartono,SVD, Christoforus Abjayandi Sans, SVD Ferdinandus
Nuho, Roberto Arif Oula, SVD, Firminus Wiryono, SVD, Benediktus Obon,
SVD, Aloysius Rabata Men, SVD dan Amandus Mare, SVD.
Ibunya yang Muslim Merestui Pastor Yanto Masuk Katolik Saat Kelas III SMP
Pater Yanto mengisahkan, dirinya
menjadi Katolik sejak kelas III SMP, yakni di SMP Negeri Cancar.
Keputusan itu mendapat restu 100 persen dari ibunya yang seorang Muslim.
"Tidak pernah sedikit pun penolakan dari ibu. Ibu sangat mendukung," ujar Pater Yanto dengan senyum.
Pater Yanto menyelesaikan studi
teologi tahun 2015 di STFK Ledalero dan S1 filsafat tahun 2010 di STFK
Ledalero. Pater Yanto adalah alumni SMAK St. Ignasius Loyola Labuan Bajo
tahun 2004, SMPN Cancar, SDK Cancar 1 dan TK Bunda Maria Fatima Cancar.
Pater Yanto mengusung tema tabisan,
"Jiwaku Memuliakan Tuhan" (Lukas 1:46). Kidung Maria ini bagi Pater
Yanto mengungkapkan pujian dan rasa syukur Bunda Maria atas karya Agung
Allah. Magnifikat ini juga menjadi permenungan kisah hidup dan panggilan
Pater Yanto. Dia menyadari kebesaran kasih dan kuasa Allah sepanjang
ziarah hidupnya.
Imam kelahiran Cancar, 13 Mei 1984
ini, mengungkapkan panggilan menjadi imam bukan kebetulan. Sebab dalam
banyak hal dia mengalami dan merasakan jamahan kasih Allah melalui sosok
seorang ibu yakni Maria.
"Bukan secara kebetulan saya
dilahirkan 13 Mei, yang bertepatan dengan momen penampanakan ketujuh
Bunda Maria di Fatima. Saya juga lahir, bertumbuh dan berkembang serta
menjadi seorang Katolik 15 tahun lalu di Paroki Santa Maria Fatima
Cancar," demikian Pater Yanto dalam refleksi tahbisan yang dipajang pada
papan di depan gereja Ledalero.
"Urusan Iman itu Berbeda, Tapi Sampai Kapanpun Kami tetap Satu Darah"
Paman Pastor Yanto, SVD, Sardama
menjelaskan, ia datang dari Sidoarjo, Jawa Timur untuk menemani kakak
perempuannya, Siti Aisyah yang mendampingi Yanto yang ditahbiskan
menjadi pastor atau imam Katolik.
Baginya, perbedaan iman atau keyakinan
bukan menjadi penghalangnya untuk melihat kebahagiaan dalam diri Yanto
dan ibunya. Dan, bagi Sardam, peberdaan ia dan Yanto tidak bisa
memisahkan mereka sebagai paman dan keponakan.
"Kalau saya tidak dukung pasti saya
tidak datang. Urusan iman itu berbeda, tidak masalah. Sampai kapan pun
kami tetap satu darah," kata Sardan.
Sardan mengungkapkan kebanggaannya
karena ponakannya kini menjadi seorang pemimpin umat. Sardan lebih
bangga lagi karena Pater Yanto, benar-benar total dengan pilihannya.
"Saya senang karena tidak tanggung-tanggung. Saya harap total, kalau mau yah maju. Saya senang sekali," ujar Sardan. (Sumber: (vivanews.biz)
0 Comments