Exotisme Danau Toba |
BeritaSimalungun.com-Dulu ketika masih anak-anak, aku dan
orang-orang di kampungku masih sering melihat turis bule bersepeda
menuju Haranggaol.
Kala itu danau Toba masih ramai dikunjungi wisatawan
mancanegara dan Haranggaol merupakan salah satu destinasi wisata yang
cukup favorit.
Kampung kami menjadi rute yang harus dilewati menuju
Haranggaol. Lagipula orang-orang di kampung kami mayoritas petani dan
harus melalui jalan yang sama dengan para turis bule ini setiap kali
pergi ke ladang.
Entah dari negara mana pun para bule ini datang, kami
menyebut mereka HALAK BOLANDA (orang Belanda).
Saat mereka melintas, kami selalu
memberikan senyum dan tawa bahagia. Otomatis. Itu menjadi salah satu dan
satu-satunya bahasa komunikasi kami.
Maklum mereka tak bisa bahasa
Indonesia apalagi bahasa Simalungun, kami juga tak bisa bahasa Inggris
apalagi bahasa Belanda. Mereka juga tak bawa tour guide.
Saat itu
tourist masih berani jalan sendiri tanpa pendamping karena teroris dan
pamangus (perampok/penjahat) belum ada seperti sekarang ini. senyuman
yang kami berikan menjadi isyarat kalau mereka diterima.
Mereka pun
berhenti dan menawari kami permen dari Eropa. Bukan main senangnya hati
kala itu. Permennya kaya susu dan coklat.
Jangan bayangkan saya anak
orang kaya, tapi anak orang miskin yang pulang dari ladang, baju kumal,
kotor, tidak mandi berhari-hari sehingga menunjukkan genuitas penduduk
asli daerah itu.
Objek foto yang menarik bukan? Dan benar, mereka lalu
mengajak kami berfoto bersama. Semoga kelak jika aku jadi presiden
Indonesia, ada orang Belanda yang menunjukkan foto-foto masa kecilku
itu.
Belasan Tahun berikutnya, tak ada lagi
wisatawan yang berkunjung ke haranggaol. Kondisi perekonomian dan
keamanan Indonesia tak mendukung.
Dulu di Haranggaol ada hotel horison
yang megah, jadi tutup dan bangkrut, gedungnya jadi tak terpakai.
Beberapa bungalow dan losmen pun mengalami nasib yang sama.
Life must go
on. Penduduk beradaptasi menjadi petani bawang, sempat menjadi petani
tomat dan cabai namin kurang memuaskan. Mereka tetap miskin.
Akhirnya
mereka menemukan keberuntungan sejak menjadi peternak budidaya ikan mas
di keramba. Sejak itu lahirlah para miliarder di Haranggaol.
Danau di
sekitar Haranggaol pun semakin dipenuhi keramba apung untuk
membudidayakan ikan mas, nila dan mujair yang beromzet miliaran rupiah.
Kini pemerintah ingin mengembalikan
kejayaan pariwisata danau Toba. Menjadi Monaco of Asia. Tapi Kira-kira
apa yang akan dijual ya kepada para wisatawan?
Apakah keindahan alam,
keramahan penduduk, antraksi budaya, kemudahan, atau apa ya?
Jika bicara mengenai Haranggaol, tidak
ada lagi yang bisa dijual untuk pariwisata. Tak satu pun dari yang aku
sebutkan tadi. Lagi pula apakah seluruh keliling danau toba mau
dijadikan destinasi wisata. Tidak kan?
Ambil saja beberapa daerah yang
betul2 masih bisa di jual. Untuk daerah simalungun, mungkin Parapat
masih bisa lah karena itu jalur menuju pulau Samosir.
Saya pribadi berpendapat biarkan lah
Haranggaol tetap jadi sentra perikanan ikan mas, mujair dan nila.
Penduduk disini sudah beradaptasi menjadi peternak ikan di keramba.
Sudah susah menjadikan mereka menjadi masyarakat yang mendukung
pariwisata. Apakah itu hal buruk? Tidak juga. Kita tidak bisa paksa
orang untuk senyum, menjadi pelayan restoran, penjaja souvenir, tukang
pijat, penari, pelaku seni, pemahat, pelacur dan sebagainya.
Mereka di
Haranggaol sudah cocok jadi peternak ikan. Mereka sudah ahli di bagian
ini, hanya saja perlu ditertibkan dan dididik untuk tetap cinta
lingkungan.
Sisa pellet ikan memang menjadi limbah di
danau. Oleh karena itu lah pemerintah perlu membantu mereka mencari
cara mengatasi hal itu. Jangan malah menjadikan hal itu sebagai alasan
untuk menjadikan haranggaol jadi destinasi wisata.
Aku bilang tidak ada
lagi yang tersisa di Haranggaol sebagai destinasi wisata. Jika kelak
danau toba berhasil jadi destinasi wisata lagi, dan seandainya
Haranggaol tetap dipaksa jadi tujuan wisata maka akan menjadi pilihan
terakhir para tourist.
Masih banyak destinasi wisata danau toba yang
lebih menarik. Tongging, samosir, daerah Balige, dst.. semoga Pemkab
Simalungun bisa memahami akan hal ini. Jangan kau buat sengsara rakyatmu
atau Hatoban dari para investor.
Jika ingin dapat pemasukan dari
Haranggaol, kenakan saja pajak untuk usaha keramba ikan tersebut. Kalau
dari bidang pariwisata, tidak banyak yang akan pemrintah dapatkan,
begitu juga oleh masyarakat setempat. Emang berapa sih gaji tukang
dappol? Iya kan?
(Sumber: Source : Batakculture.wordpress.com)
0 Comments