ILUSTRASI |
BeritaSimalungun.com-Pagi ini
tiba-tiba saja pikiranku menerawang ke masa lalu. Masa lalu yang sudah
berlalu. Dan aku tahu sekali, masa lalu cuma kenangan sedang hidup yang
sesungguhnya adalah hari ini.
Tapi begitu pun, bertamasya ke masa lalu
kadang memang nikmat dan menyenangkan. Sementara, sejak lahir aku memang
suka yang nikmat-nikmat dan menyenangkan. Buah dada misalnya. Buah dada
Mamakku.
Terawangku pagi ini, entah mengapa berputar-putar pada
era orde baru. Lebih tepat barangkali, masa di akhir-akhir kekuasaan
Soeharto, penguasa orde baru itu.
Puluhan tahun tertekan, belakangan
muncul keberanian untuk melakukan protes. Meski pun, pemerotes akan
akrab dan dekat dengan penjara. Sudah banyak contoh.
Mian Marpaung
misalnya, seorang tokoh buruh NV STTC Pematangsiantar. Termasuk Batara
Manurung yang sekarang menjadi salah seorang komisioner KPU
Pematangsiantar.
Tak ketinggalan pentolan-pentolah mahasiswa di
FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Sering dilakukan
diskusi-diskusi di bawah rerimbunan pepohonan di pekarangan kampusnya
yang luas.
Topiknya berkutat pada para penguasa yang korup dan lalim.
Dan selalu, diskusi berlangsung hangat mengarah debat. Meski pun cuma
penganan goreng ubi atau pisang rebus yang tersuguh.
Sekarang,
banyak sudah yang saya sudah lupa nama-nama pentolan-pentolan itu. Di
antara yang saya ingat ada Rindu Erwin Marpaung, Batara Tampubolon,
Batara Manurung, Martin Aritonang, Hardono Poerba yang sekarang menjadi
Kepala SMA Negeri Silou Kahean, Eriwayati Simatupang yang menjadi istri
Batara Tampubolon dan sekarang menetap di Lubukpakam.
Dari STT
HKBP yang kampusnya berdampingan dengan FKIP Universitas HKBP Nommensen
di Jalan Sangnawaluh, ada Edi Manullang, Agus Manullang, dan banyak
lagi.
Sekarang, mereka sudah menjadi pendeta. Pendeta di HKBP na bolon
i. Pdt Agus Manullang, sempat juga menjadi Komisioner di KPU Humbang
Hasundutan. Juga Sony Berutu, yang sekarang menjadi Ketua DPRD Pakpak
Bharat.
Sesekali, ada juga pertemuan antar mahasiswa beberapa
perguruan tinggi di Siantar. Yang lebih aktif dan progresif adalah
mahasiswa Universitas Simalungun. Kalau pertemuan antar mahasiswa PT di
Siantar dilakukan, akan lebih riuh dan meriah.
Semangat untuk melakukan
protes dalam bentuk demo besar-besaran akan semakin membara. Bakar
membakar pun sulit dielakkan. Dan kondisi yang seperti ini akan segera
berurusan dengan yang berwajib.
Tak jarang, penanggung jawab demo harus
menginap beberapa waktu di Mapolres Simalungun, di Jalan Sudirman sana.
Kalau ada pertemuan antar mahasiswa untuk merancang demo, darahku
terasa berkobar-kobar. Bahkan, bagai mendidih dan menggelegar.
Sepertinya memang, dalam darahku mengalir gen pemberontak.
Memberontak
melawan kelaliman, ketidakadilan. Gen pemberontak itu barangkali berasal
dari Bapakku. Dulu, sudah lama, di masa mudanya Bapakku dicatat sejarah
sebagai salah seorang pemberontak. Meski pun tidak setenar almarhum
Kolonel Maludin Simbolon atau Kahar Muzakar atau Andi Azis.
Turun ke jalan-jalan terutama di jantung Kota Pematangsiantar,
belakangan menjadi hobbi dan kegemaran kami. Teriak-teriak bernada
protes terhadap penguasa.
Ribut-ribut, dan ketika aparat keamanan
coba-coba menghalang, bentrok pun sulit dihindarkan. Saat-saat seperti
ini sangat dramatis. Menjurus pada huru-hara. Diawali dengan hore-hore
dan hura-hura sambil bakar membakar ban bekas, biasanya akan berakhir
dengan huru-hara.
Untuk mencari ban bekas untuk dibakar di tengah
jalan, mobil tuaku Kijang Camat selalu siap dan ready. Mobil berplat
merah yang kudapat dari Kanwil Departemen Penerangan Sumatera Utara itu,
selalu menjadi ‘lonte’ Artinya, dipakai oleh siapa saja entah
kemana-mana. Antar jemput demonstran, atau berkeliling Siantar untuk
mencari ban bekas.
Hardono Poerba misalnya, bisa bawa mobil karena
belajar mengemudikan mobil tuaku itu. Meski pun, mobilku itu harus
korban karena dipakai Hardono belajar mengemudi hingga menabrak pohon di
Kampus Nommensen.
Sekarang, Hardono sudah memiliki mobil bagus
mulus terbilang mewah. Maklum sajalah, sekarang dia kan sudah menjadi
Kepala SMA Negeri di tanah asal leluhurnya, Silou Kahean di perbatasan
Simalungun - Serdang Bedagai sana.
Bagi seorang Kepala SMA Negeri
sekarang ini, tak sulit untuk mendapatkan dan memiliki mobil bagus dan
mulus. Tidak seperti zaman Bapakku dulu waktu menjadi Kepala SMA Negeri.
Mobilku itu belakangan dibeli sejawatku Osborn Siahaan dengan
harga perkilogram. Artinya, waktu mobilku itu terduduk di bengkel di
Jalan Medan dekat RS Horas Insani, Osborn Siahaan menjumpai istriku.
Dia
membujuk istriku agar mobilku itu dibelinya. Entah bagaimana sampai
sekarang aku tak tahu, istriku mau saja akhirnya menjual mobil itu
kepada Osborn Siahaan yang belakangan menjadi Kabag Humas Pemkab Humbang
Hasundutan. Bagaimana pun, mobil tuaku itu pernah menyumbangkan
tenaganya untuk menumbangkan rezim orde baru.
Di ujung kekuasaan
orde baru, keberanian (mahasiswa) semakin menggebu. Turun ke jalan tak
lagi barang haram. Bagai anak panah dilepas dari busurnya, hampir
sepanjang pekan ada saja demo di Siantar.
Menggelegar, berkobar, dan
akrab dengan bakar membakar. Sesekali mobilku aku umpan di tengah jalan
agar ikut dibakar para demonstran. Sialnya, tak pernah kejadian.
Padahal, kalau mobilku ikut menjadi korban dan dibakar massa tentu aku
akan mendapatkan mobil baru sumbangan kawan-kawan.
Sebuah
peristiwa yang amat dramatis pernah aku alami bersama istriku Delfria
Simanullang dan putra sulungku Marco Hutabarat. Waktu itu, para
demonstran merencanakan demo mulai dari Makam Pahlawan hingga perempatan
Jalan BDB di lampu merah Jalan Medan di samping Rumah Makan Garuda
sekarang. Aku dan istriku menjemput putraku Marco dari sekolahnya di SMP
Cinta Rakyat Jalan Sibolga. Waktu itu, dia masih Kelas I SMP.
Marco kami bawa ke pusat demo, persis di depan Penginapan Tamariah.
Dalam hatiku ingin menunjukkan pada putraku ini betapa sebagai Bapaknya
aku seorang yang gagah perkasa mampu memimpin demo besar-besaran.
Tapi
saat aksi berlangsung menjurus ganas, kasar, bahkan brutal, mendadak
petugas keamanan bersikap tegas. Tiba-tiba bukan saja gas air mata yang
mereka gunakan untuk menghalau demonstran, tapi juga tembakan yang
‘katanya’ mengarah ke atas.
Dentuman peluru (katanya peluru
karet) memporakporandakan segala aktifitas demo dalam hitungan detik.
Kami secara spontan berupaya menyelamatkan diri masing-masing. Lari tak
tentu dan tak jelas arah entah kemana.
Yang penting menghindar dari
terjangan peluru. Di tengah kerumunan orang-orang yang berupaya
menyelamatkan dirinya, aku tak melihat dimana dan bagaimana putraku
Marco Hutabarat. Istriku sempat aku lihat berdesak-desakan dan tertindih
puluhan orang yang memaksa memasuki rumah seorang warga di samping Toko
Bunga Deboris.
Dalam situasi yang seperti itu, sempat juga kulihat rok
yang dikenakan istriku tersingkap. Pahanya mulus. Darahku tersirap.
Hura-hara itu pun tak jelas bagaimana ujungnya. Aku dan istriku segera
pulang ke rumah kami yang waktu kami kontrak di Jalan Sangnawaluh 10 A,
persis di samping Megaland sekarang. Masih dalam kondisi ngos-ngosan,
aku tidak melihat putraku Marco di rumah. Segera aku keluar lagi mencari
dia. Di dekat Puskesmas Kesatria dia kulihat dengan wajah kuyu dan
pucat.
“Tadi Abang lari ke arah rel kereta api. Peluru lewat dari
telinga awak Pak”, katanya masih dengan wajah terkesan ketakutan.
Kuusap kepalanya. Kubawa dia pulang ke rumah. Dalam hati aku mengatakan,
tak akan mengajak serta istri atau anak-anakku kapan pun lagi untuk
berdemo ria.
Lewat zaman orde baru, hobbi dan kebiasaan serta
kegemaranku berdemo ria masih tersisa. Makanya, begitu diajak Johalim
Purba sekarang Ketua DPRD Simalungun berdemo-demo di bawah bendera GEMPA
(Gerakan Masyarakat Peduli Anggaran), tentu saja aku mau saja. Johalim
yang nama FB-nya Jepe ini, memang seorang yang gemar dan hobbi pula
berdemo ria memprotes kelaliman, ketidakadilan dan memberantas korup.
Masa-masa berdemo ria di bawah bendera GEMPA, aku memang merasa plong
dan bahagia. Apalagi orator kami saat itu Hermanto Sipayung yang
sekarang Wartawan Metro Siantar dan dedengkot GEMPA Resman Saragih yang
sekarang petinggi Pemkab Simalungun, merupakan orang-orang yang sangat
dinamis, tanggap dan responsif.
Sekarang, aku sudah terbilang
tua. Kalau pun masih tersisa kegemaran dan hobbi berdemo ria, agaknya
sudah tak pantas lagi. Sekarang, aku sudah punya cucu tiga orang, Ryo,
Celle dan Ikov. Ryo adalah putranya Marco Hutabarat dan Menantuku Yoana
Agustina, sedang Celle dan Ikov adalah putra anak keduaku Bram Adriant
Pattinama Hutabarat dan Menantuku Mirza Susanna Imelda Sihombing. (Siantar Estate, 23 Oktober 2016-Ramlo R Hutabarat)
0 Comments