Ketika Intan Olivia Marbun, gadis kecil berusia 2,5 tahun
itu, bertanya : atas dasar apakah aku dibunuh? "Apakah kamu tidak bisa lagi menikmati keceriaan di
hari minggu? Lihatlah aku berlari dengan tas kecil di punggung. Memasuki
gereja, tempat nama Tuhan diagungkan dan para jemaat bergumam dalam doa.
Ini hari minggu, saatnya mengikuti sekolah minggu. Ketika
para guru mengajarkan tentang cinta kasih dan kelembutan tangan Tuhan yang
membelai umatnya.
Ini hari minggu, ketika papa libur bekerja, dan tadi pagi
sehabis mandi dia menggendongku. Papa menciumi pipiku yang masih menghamburkan
wangi sabun. Bulu-bulu kumisnya selalu membuatku geli. Tapi aku senang diciumi
papa seperti itu.
Ini hari minggu, matahari bersinar cerah. Dan senyum
teman-teman membuatnya lebih cerah. Aku suka pakaian mereka berwarna-warni,
mengalahkan suramnya mendung yang kemarin.
Ini hari minggu. Tapi agak berbeda dengan hari minggu
kemarin. Saat kami sedang bersama, aku melihat seorang lelaki datang mendekat.
Langkahnya goyah dengan sorot mata memerah penuh kebencian. Lalu dia
melemparkan bom molotov ke arah kami. Suara ledakan dan api menyala dengan
cepat. Aku menjerit. Teman-temanku menjerit.
Api berkobar menyambar tubuhku dan tubuh teman-temanku.
Baju bunga-bunga yang tadi pagi dipakaikan mama, terbakar. Tas kecilku juga
ikut terbakar. Aku dan beberapa teman seperti kayu bakar, memekik dalam kobaran
api.
Kulitku panas. Aku menggigil dalam api. Orang berlarian
menolongku. Mematikan api yang membakar tubuhku. Papa mencoba memelukku. Tapi
dia urungkan. Dia takut pelukannya akan menyakitiku. Tapi dia harus
menggendongku juga, membawa ke rumah sakit. Aku hanya merasakan perih.
Kepada pelempar bom itu, aku tidak marah. Guru sekolah
minggu mengajarkan manusia harus saling menyayangi. Yang membuatku sedih,
karena papa dan mama tidak bisa memelukku. Luka bakar ini membuatku tidak lagi
merasakan hangatnya pelukan mereka.
Biasanya pada saat aku sedih, mama selalu membekapku.
Membenamkanku dalam hangat dadanya. Kini aku hanya mendengar isak tangisnya di
samping ranjang. Memandingi tubuhku yang terbalut kain putih dengan tatapan
buram karena air mata.
Padahal hari ini aku ingin dipeluk. Aku ingin mengusir
perih kulitku dalam pelukan mama. Aku ingin dibenamkan dalam dekapannya. Aku
ingin menyandarkan kepalaku, menempelkan telingaku di dadanya. Mendengar degup
halus dari jantungnya. Sering aku mendengar, detakan jantung itu, seperti
membisikkan namaku. Lembut sekali.
Mama, aku ingin dipeluk. Papa, aku ingin dicium....
Tapi mereka hanya menangis di pinggir ranjang memandangi
tubuhku yang terbungkus seperti mumi.
Rupanya Tuhan mendengar rintihanku. Dia menghampiriku yang
terbaring menahan pedih. Dia datang mendekati ranjang itu. Tangan-Nya yang
hangat merengkuh tubuhku. Membenamkan aku di dada-Nya.
Hilang sudah pedih perih. Hilang sudah rasa sakit.
Dalam pelukan Tuhan, aku bertanya : atas alasan apakah aku
dibunuh? (Sumber: www.ekokuntadhi.com)
0 Comments