Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) dan Sylviana Murni dalam debat calon gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta, 27 Januari 2017. (Beritasatu TV) |
BeritaSimalungun.com, Jakarta - Sylviana Murni terlihat menunjukkan tanda jempol ke bawah ketika mantan atasannya Basuki Tjahaja Purnama sedang menyelesaikan argumen dalam debat calon gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (27/1/2017) malam.
Usia debat itu, Sylvi menjawab pertanyaan wartawan bahwa tanda itu
dia buat karena menurutnya apa yang disampaikan Basuki tidak sesuai
kenyataan.
"Saya sedih karena enggak sesuai kenyataan. Saya tahu soal itu, karena saya kan orang dalam," kata Sylvi.
Apa yang menjadi sumber perdebatan antara mantan wali kota Jakarta Pusat itu dengan Basuki?
Kronologi
Semua berawal dari pertanyaan Agus
Harimurti Yudhoyono soal diskresi atau kewenangan khusus gubernur DKI
ketika debat masih berlangsung.
Basuki menjelaskan dengan memberi contoh bahwa pemerintah provinsi
DKI bisa meningkatkan Koefisien Luas Bangunan (KLB) sebuah gedung
sebagai kompensasi bila gedung tersebut dilewati transportasi massal
berbasis rel.
Peningkatan KLB bisa memberi keuntungan sepihak bagi pemilik
bangunan, sehingga agar pemprov juga untung perlu ada perjanjian bahwa
peningkatan KLB dikompensasi balik dengan pembangunan aset publik
seperti trotoar yang kemudian menjadi aset pemprov.
Agar hitungannya jelas, aset-aset itu dikalkulasi ke rupiah oleh
perusahaan penilai, dan kemudian dimasukkan ke pendapatan lain-lain.
Basuki mengatakan sudah menerima komitmen seperti ini yang nilainya
mencapai Rp 3,8 triliun, tapi tentu saja bukan dalam bentuk uang,
melainkan barang yang dihitung jasa penilai.
Sylvi menanggapi cukup keras penjelasan Basuki tersebut. "Ini pengalaman, saya tahu betul kalau bicara soal keuangan negara
ada undang-undang keuangan negara nomor 17/2003 khususnya pasal 3 ayat
6, bahwa semua penerimaan daerah dan alokasi anggaran daerah harus masuk
APBD yang disepakati bersama antara gubernur dan DPRD DKI Jakarta,"
kata Sylvi.
"Tapi saya melihat di sini bagaimana bisa dilaporkan ke DPRD DKI
Jakarta sementara harmonisasi antara eksekutif dan DPRD tidak terjadi.
DPRD harus tahu hal ini, bukan one man show," kata Sylvi yang terlihat sengaja melambatkan kalimat terakhirnya untuk memberi penekanan.
Basuki kemudian menyampaikan tanggapan balik ketika diberi kesempatan oleh moderator.
"Kadang-kadang sama-sama birokrat memang agak lucu, ini barang yg
berbeda," kata Basuki, yang kemudian berusaha keras menjelaskan ke Sylvi
bahwa dalam soal ini sama sekali tidak ada uang tunai yang dibayar ke
pemprov, melainkan barang publik yang dihitung sebagai aset sesuai
komitmen pemilik gedung.
"Jadi ini semacam kerelaan. Karena ini tidak ada kewajiban membayar,
maka ada perjanjian kerelaan. Perjanjian ditanda-tangani, inilah baru
bisa bangun," kata Basuki.
"Dan nilainya bukan uang yg diterima tapi adalah barang. Dan barang
pun pakai jasa penilai. Yang tidak boleh itu kalau sumbangan, kami
terima uang, ini tidak ada dasarnya."
Basuki lalu berasumsi bahwa Sylvi sebagai birokrat puluhan tahun
tidak memahami undang-undang keuangan berbasis kinerja yang baru
diterapkan secara nasional pada 2006.
"Kebetulan saya orang keuangan, saya jadi bupati, saya jadi DPRD,
saya kuasai sekali undang-undang keuangan daerah berbasis kinerja," kata
Basuki.
"Mungkin Bu Sylvi salah satu yang kurang mempelajari (undang-undang keuangan) berbasis kinerja tadi." Pada saat itulah, Sylvi membuat tanda jempol ke bawah.(BS)
0 Comments