Peserta Kontingen Pesparawi Wanita GKPS Resort Siantar I (Sudirman) Medali Emas (Juara II) Pada Pesparawi Wanita GKPS Se Indonesia Tahun 2017, Minggu (8/10/2017). Photo: Asenk Lee Saragih. |
Oleh: Pdt
Defri
Judika Purba STh
BeritaSimalungun-Pelaksanaan
Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Wanita Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) telah usai. Banyak hal yang bisa
diceritakan melalui peristiwa itu.
Dari sisi peserta, pelatih,
team pendukung, panitia, juri dan lain-lain.
Cerita
akan semakin bertambah lagi kalau ditarik mulai dari program ini direncanakan,
disosialisasikan, dan dikerjakan di lapangan. Cerita akan semakin bertambah
lagi, kalau semua team menceritakan bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk
mengikuti Pesparawi ini.
Begitu banyak cerita yang mau disampaikan. Dan ijinkanlah Saya menceritakan sebagian dari
cerita itu. Walau nanti ada cerita yang tercecer, biarlah itu nanti menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama kita untuk saling melengkapi agar
ide besar pelaksanaan Pesparawi
ini menjadi lengkap melalui kepingan “puzzle” yang kita susun bersama.
Pertama. Hal
pertama yang kita mau gumuli bersama adalah: mengapa program Pesparawi ini
dilaksanakan? Apakah program ini mendukung perkembangan iman jemaat? Apakah gereja–baca: GKPS-
mengandalkan program ini sebagai program utamanya? Apakah gereja tidak bisa
lepas dari kegiatan yang bersifat sayembara atau pertandingan?
Apakah kegiatan yang menelan biaya sangat besar ini
berkorelasi dengan panggilan gereja? Apakah pantas menggelar kegiatan pesparawi
sementara banyak unit pelayanan di GKPS ini yang hampir mati suri atau bahkan
sudah kolaps?
Masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Dan semua
pertanyaan di atas adalah fakta dalam pikiran kita masing-masing. Begitu banyak
orang yang sinis, pesimis, bahkan terkesan mencela pelaksanaan pesparawi ini. Kalau sudah sampai pada tahap
mencela bahkan “nyinyir”, itu menandakan kita telah kehilangan ide besar dalam
cerita Pesparawi ini. Kita
kehilangan roh yang menjiwai Pesparawi
ini. Berdebat mengenai “BUNGKUS” bukan ISI.
Dua. Hendaklah
kita ketahui bersama, paduan suara dalam sejarahnya tidak bisa lepas dari
perkembangan iman jemaat. Dimana ada paduan suara disitu ada pertumbuhan orang
yang percaya. Ini sudah dimulai sewaktu penyembahan di Bait Allah pada jaman
kerajaan israel kuno, di sinagoge dan berlanjut terus dalam pertumbuhan gereja
di abad pertama.
Dalam tradisi gereja abad pertama, paduan suara semakin
dimaksimalkan peranannya dalam ibadah jemaat. Tradisi bernyanyi secara monofon
dan polifon adalah tradisi yang sampai hari ini masih dipegang erat oleh gereja
Katolik.
Kalau kita melompat pada perkembangan gereja di abad modern
ini, begitu banyak penginjil dalam penginjilannya “sukses” besar dengan
kehadiran paduan suara yang telah dipersiapkan.
Billy Graham, dan Sthepen Tong
adalah contoh nyata penginjil yang “sukses” menginjili yang ditopang dengan
kehadiran paduan suara.
Sejarah singkat ini perlu Saya sampaikan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang seolah-olah
menganggap paduan suara gereja atau bahkan Pesparawi dianggap tidak penting. Terkesan glamour. Biaya yang
dikeluarkan tidak berdampak nyata dalam kehidupan iman, dll.
Pendapat seperti itulah yang saya anggap berdebat mengenai “BUNGKUS” bukan ISI. Menganggap paduan suara atau Pesparawi tidak penting sama saja
menyatakan: aku bisa menjadi orang Kristen walau tidak ke gereja. Ada
kebingungan dan kekurang mengertian dalam kalimat tersebut.
Paduan suara itu adalah bagian yang sangat integral dalam
ibadah dan pertumbuhan gereja. Menganggap paduan suara atau Pesparawi itu tidak penting, saja sama
mencabut jiwa gereja itu sendiri. Paduan suara itu akarnya adalah dari gereja.
Kalau ada suatu event Pesparawi, secara “ISI” sebenarnya kita diingatkan akan
salah satu akar atau ciri gereja itu sendiri. Kita sangat bersyukur tradisi paduan suara ini dalam perkembangannya
diadopsi oleh dunia yang sekuler.
Saat ini , pemerintah sudah membuat Pesparawi tingkat Nasional dalam program pengembangan
iman jemaat, secara khusus Kristen. Kalau lembaga sekuler saja menghargai
tradisi paduan suara ini, masa gereja tidak?
Saya setuju apa yang disampaikan oleh Roynaldo Hamonangan Saragih(Tim Juri Pesparawi Wanita GKPS 2017),
ketika paduan suara yang dia bina– Inggou
Victory – memenangi
perlombaan pada acara BICF dua tahun yang lalu.
Tidak tanggung-tanggung kemenangannya saat itu. Meraih
grand fix champion. Artinya, menjadi pemenang dari pemenang. Saat itu paduan
suara yang bertanding banyak yang tidak mengatasnamakan lembaga gereja.
Mereka berasal dari instansi pemerintah, sekolah-sekolah,
dan paduan suara profesional. Ketika meraih posisi kemenangan itu, beliau
berkata: “Paduan suara yang
terbaik itu, telah kembali kepada akarnya, yaitu gereja”. Paduan suara akarnya
adalah gereja, dan kita harus pertahankan itu.
Tiga. Hal
yang perlu menurut Saya
program Pesparawi ini
hendaknya dikelola dengan terstruktur dan sistematis. Jangan ada program yang
tumpang tindih, atau program sesuai selera pengurus. Sebagai usul, di gereja
kita GKPS, sudah ada satu unit pelayanan yaitu PPLMG (Pusat Pengembangan Liturgi dan Musik Gereja).
Unit ini ada di bawah naungan departemen persekutuan.
Sampai saat ini, secara pribadi Saya
belum melihat unit ini bekerja secara maksimal sesuai dengan namanya, yaitu
sebagai Pusat Pengembangan Musik Gereja.
Pesparawi pada prakteknya adalah domain dari PPLMG ini. Setiap event yang berbau dengan
musik gereja (pembinaan, menyediakan juri atau menyelenggarakan event Pesparawi) hendaknya PPLMG
mengambil peranan, bukan sebagai pribadi tapi sebagai satu unit lembaga di
GKPS.
PPLMG ini harus kita perkuat sebagai satu unit. Tak usahlah
setiap kepengurusan membuat program Pesparawi menurut waktu dan selera masing-masing. Sudah ada unit yang mengatur itu secara
bagus dan benar. Itu adalah pendapat Saya.
Ke Empat. UNTUK
SEMUA PESERTA KOOR. Menjadi satu bagian dalam kelompok paduan suara adalah
suatu anugrah atau karunia. Begitu banyak mutiara yang bisa kita peroleh dalam
proses kebersamaan itu. Secara pribadi, bertahun-tahun Saya menjadi bagian suatu komunitas paduan
suara.
Lebih lima tahun menjadi anggota paduan suara di Kampus STT Abdi Sabda –Paduan suara
Revelatio - dan dua tahun di Paduan
Suara Consolatio USU. Dari
proses kebersamaan ini, begitu banyak mutiara yang saya peroleh. Beberapa
diantaranya adalah: disiplin, mampu mendengar dan menghargai orang lain,
memiliki target pekerjaan, belajar secara totalitas dan rasa percaya diri yang
bertambah.
Mutiara itulah yang mewarnai perjalanan hidup dan pelayanan
saya sampai hari ini. Dan Saya
percaya mutiara yang sama telah kita terima selama proses persiapan kita
mengikuti pesparawi ini. Sering
Saya menekankan, bahwa yang
utama dalam perjalanan Pesparawi
ini adalah PROSESNYA bukan HASILNYA.
Hasil yang terbaik adalah BONUS dari proses yang baik.
Kepada semua peserta Pesparawi,
marilah kita ambil mutiara yang tersembunyi selama kita mengikuti proses Pesparawi ini. Mutiara itu sangat
dekat dalam hati kita.
Hanya
membutuhkan sedikit kerendahan hati untuk mengamati, merenung dan memberikan
tanggapan. Sia-sia rasanya, mutiara yang sangat berharga itu tidak kita temukan
karena ditutupi dengan rasa angkuh, sombong, dan tinggi hati.
Dewan Juri Pesparawi Wanita GKPS Se Indonesia Tahun 2017, Saat Pengumuman Hasil Sayembara Koor, Balai Bolon Pematangsiantar, Minggu (8/10/2017). Photo : Asenk Lee Saragih. |
Lima.
UNTUK JURI. Berat rasanya ketika kita diminta menjadi juri dalam satu
pertandingan. Apalagi pertandingan dengan sebuah prestise yang tinggi. Selalu
muncul di dalam hati pergumulan, apakah saya bisa memberikan yang terbaik
dengan ilmu yang saya miliki. Pergumulan ini semakin bertambah, ketika orang
yang bertanding itu adalah orang yang kita kenal.
Penilaian subjektiv bisa muncul. Semakin bertambah lagi,
kalau juri itu adalah seorang pelayan– pendeta misalnya-yang dipanggil menjadi
juri di jemaat yang dia layani. Lebih
parah lagi, ketika hasil pengumuman telah diumumkan, begitu banyak cercaan yang
bisa diterima seorang juri.
Yang memihaklah, tidak profesionallah, tidak adil dan
lain-lain. Karena begitu
beratnya beban menjadi seorang juri, hendaklah setiap orang mawas diri tentang
kemampuan dirinya sendiri, imannya untuk menilai dan sisi profesionalitasnya
memberikan penilaian.
Khusus untuk Pesparawi
Wanita GKPS 2017 ini, dari lima juri yang dipanggil,
tiga diantaranya saya kenal baik sebagai seorang yang berkompoten untuk menilai
paduan suara. Roynaldo Saragih, Pdt Krismas Barus, dan Tommi Kandisaputra
adalah nama juri yang saya kenal baik.
Pengalaman mereka tentang paduan suara tidak diragukan
lagi. Dan di tangan mereka, Saya
percaya proses penilaian berjalan dengan wajar, transparan, tidak memihak dan
jujur apa adanya. Teori konspirasi yang mencoba menghubungkan juri bisa
dikondisikan, saya haqul yakin tidak berlaku untuk mereka bertiga yang saya
kenal.
Saya percaya mereka memiliki integritas dan sisi profesionalitas
yang dijaga dengan hati-hati. Kalau masih ada yang meragukan hasil penilaian
juri, tentu juri sudah membuka ruang untuk itu. Dan inilah yang kita syukuri
dari perjalanan proses pesparawi ini. Sudah ada satu sistem yang mengarah kepada sisi penilaian yang lebih
standar untuk menilai paduan suara. tidak ada yang ditutup-tutupi, semua orang
bisa tahu kekurangan dan kelebihannya.
Enam.
UNTUK PELATIH. Menjadi seorang pelatih adalah tugas yang sangat berat. Butuh
usaha yang keras untuk mentransfer apa yang kita ketahui kepada peserta koor.
Ini Saya alami sendiri. Saya kadang sampai stress karena di
antara peserta koor ada yang lambat menangkap, susah meniru, dan gampang sakit
hati.
Tingkat stress ini semakin bertambah dengan waktu
bertanding yang semakin mepet. Hal ini semakin diperparah lagi, karena yang
kita hadapi bukanlah orang yang benar-benar bisa bernyanyi. Membuat pernafasan
pun susah apalagi mengolah vokal.
Prestise menjadi seorang pelatih memang tinggi. Orang akan
selalu bertanya, siapa yang melatih satu team yang kebetulan menjadi juara.
Untuk konteks Pesparawi Wanita GKPS ini, sebagai seorang
pelatih saya tidak terlalu memacu mereka dengan target yang tinggi.
Di awal latihan, memang saya mencoba menanamkan mental
juara kepada mereka. Apa daya, dalam prosesnya, kami masih membutuhkan waktu
dari mental kurang PD menjadi mental juara. Untuk menghibur diri saya mencoba
mencari mutiara dari posisi saya sebagai seorang pelatih.
Setelah lama mencari dan mencari, akhirnya mutiara itu saya
temukan banyak bertaburan di antara wanita (inang) yang saya latih. Satu
mutiara saya temukan dari seorang inang, dimana untuk mengikuti latihan sekali
seminggu, beliau harus rela berjalan kaki melintasi jurang dan jalan yang
licin.
Mutiara yang lain,lebih mengharukan lagi. Ada seorang inang harus rela mendisiplinkan
dirinya menuruti apa yang saya sampaikan, sementara gejolak hatinya sedang
bergemuruh karena diselingkuhi suami.
Mutiara yang lain, datang dari seorang inang yang harus
menyisihkan sedikit uang belanja yang dia terima dari hasil “marombou” demi membeli baju seragam. Lebih mengharukan lagi, mutiara yang
datang dari seorang inang yang sangat disiplin untuk hadir. Tidak pernah absen.
Selalu tekun mendengar pelatih.
Apa daya. Inang itu sudah lansia. Umurnya sudah di atas enam
puluh lima. Gigi depannya sudah banyak yang copot. Susah rasanya mengajar vokal
dan pernafasan untuk beliau. Disuruh tidak usah ikut, supaya bisa juara, saya
tidak tega.
Akh..masih banyak lagi mutiara yang saya temukan dalam diri
inang GKPS yang saya asuh dan latih. Egois rasanya memaksakan supaya mereka
seperti yang ada dalam pikiran kita, sementara mereka bukan dari kalangan
profesional.
Datang dan memberi diri saja untuk latihan sudah bersyukur.
Ini adalah pesparawi wanita GKPS. Identitas mereka sebagai wanita GKPS inilah
yang utama kita lihat. Wanita yang kesehariannya berjuang hebat untuk
memikirkan anak dan suaminya.
Wanita GKPS yang gigih untuk memperjuangkan ekonomi
keluarganya. Wanita GKPS yang rela dimarahi suami karena banyak waktunya ke
gereja. Wanita GKPS yang mau memberi dirinya untuk membuat GKPS ini semakin
berwarna-warni, sukacita dan meriah. Akh...wanita GKPS, sungguh saya bangga
melihat kesaksian dan kiprah kalian.
Tujuh.UNTUK
PANITIA. Menjadi panitia untuk sebuah event besar bukanlah pekerjaan yang
gampang. Selain harus mempersiapkan yang terbaik sebaik-baiknya, di akhir
proses perjalanan, panitia sering tidak mendapat panggung untuk diakui, dipuji
dan dibuat bangga.
Panitia yang bekerja di balik layar kadang hanya mendapat
ungut-ungut bahkan celaan disana-sini. Keberhasilan sebuah event kadang
tertutupi dengan komentar sinis yang tidak bertanggung jawab. Apalagi komentar
sinis itu diumbar di media sosial.
Secara pribadi sebagai orang yang telah sering mengikuti
perhelatan paduan suara, persiapan panitia Pesparawi Wanita
GKPS Tahun 2017 ini sudah
sangat baik. Ini dapat kita bandingkan dengan perhelatan Pesparawi yang sama yang dilaksanakan oleh
kategorial yang berbeda beberapa tahun yang lalu.
Para peserta sudah dikondisikan secara mental untuk siap
bernyanyi dengan kehadiran pos siaga 3, siaga 2 dan siaga 1. Kehadiran panitia
melalui pandu dengan HT di tangan memperlihatkan pelaksanaan paduan suara ini
sudah terkoordinasi dengan baik.
Semarak Pesparawi
ini bertambah lagi dengan dekorasi tirai dan balon yang berwarna-warni. Masih
banyak lagi hal-hal tekhnis yang saya perhatikan yang menunjukkan panitia sudah
mempersiapkan diri dengan baik.
Yang Saya
sampaikan masih masalah tekhnis, belum lagi masalah dana yang harus diusahakan
oleh panitia. dana untuk juri, peralatan, hadiah, konsumsi, dekorasi, tata
ibadah dan lain-lain. tapi itu sepertinya tertutupi semua berkat usaha keras
panitia.
Yang saya
dengar panitia malah masih surplus. Tapi di atas semua itu, hal yang perlu saya
sampaikan adalah: bersyukurlah panitia pesparawi wanita GKPS yang telah
terpilih untuk menyukseskan pekerjaan yang besar ini. Masih diberikan kepada
kita kesempatan untuk melayani-Nya sesuai dengan talenta dan karunia kita. itu
yang paling penting.
Kalau sudah sampai pada tahap itu, maka kita tidak
memerlukan lagi pujian dari manusia, Juru Selamat kita telah memuji kita dengan Pujian-Nya: “Upahmu besar di Sorga”.
Delapan.
UNTUK PENCIPTA LAGU. Apresiasi yang tinggi secara pribadi kepada semua pencipta
lagu koor dan vokal group (Pdt RJ
Saragih dan St Fbria Saragih dan lainnya) untuk Pesparawi Wanita GKPS Tahun
2017 ini.
Saya
percaya proses menuangkan suatu karya seni dalam bentuk lagu adalah proses yang
membutuhkan perjuangan dan pergumulan yang berat. Karya seni yang tidak bisa
selesai dalam waktu satu malam. Di dalam karya seni itu, tertuang ide dengan
cita rasa pengalaman dan penghayatan kepada Tuhan kita.
Kebanggaan
pencipta lagu adalah disitu: ketika hasil karyanya dihargai dan diyanyikan
orang dan bukan hanya saat ini saja, tapi juga untuk saat yang akan datang.
Karena itu, teruslah berkarya. Kembangkan karunia dan talenta yang telah
diberikan Tuhan kepadamu.
Mari besarkan GKPS kita ini dengan ide seni yang
tidak akan lekang dimakan waktu. semoga warisan iman melalui sebuah karya seni
dalam bentuk lagu, memberi buah yang manis di tengah-tengah persekutuan kita.
Akhirnya, seperti salah satu lagu pujian yang
dikumandangkan: “Sai Saud Ma Harosuh MU” menjadi jiwa
dan doa kita bersama. Hendaklah kehendak Raja gereja terjadi kepada gereja GKPS
yang kita cintai ini. Hanya kehendak-Nya semata-mata, bukan kehendak manusia.
Dan biarlah kegiatan pesparawi ini menjadi ingatan bersama
yang akan indah untuk diingat dan diceritakan kepada generasi yang akan datang.
Mari kita besarkan GKPS yang kita cintai ini dengan segala apa yang bisa kita
berikan. Mari kita rayakan dan gelorakan terus komitmen kita: “Mangidangi Ham, In Ma Sibahenonku Nuan, Humbai Bulus Ni Uhur Hu-BAMU”. Solideo Gloria. Bahapal Raya, 11 Oktober 2017. Salam
Pesparawi: Pdt Defri Judika Purba STh.(*)
0 Comments