Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Bom Surabaya, Wajah Baru Teror di Indonesia

Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam, Wiranto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjajanto dan Kepala BIN, Budi Gunawan saat meninjau lokasi ledakan di Gereja Pantekosta, Surabaya, 13 Mei 2018. ( Foto: AFP / Rusman )
Bom bunuh diri yang melibatkan tiga keluarga di Surabaya-Sidoarjo telah mengubah wajah teror di Indonesia. Terlibatnya satu keluarga dalam serangan teror bom bunuh diri yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Rangkaian teror yang muncul dalam kasus bom di Surabaya adalah soal rentetan serangan bom bunuh diri yang terjadi hingga dua hari, Minggu dan Senin.

BeritaSimalungun, Jakarta - Rangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya dan insiden senjata makan tuan saat bom meledak di Sidoarjo mengubah wajah teror di Indonesia. Sejumlah fakta baru muncul dalam rangkaian teror itu.

Salah satu fakta yang menyumbang wajah baru dalam teror yang sedikitnya menewaskan 25 orang—termasuk pelaku itu—adalah terlibatnya satu keluarga dalam serangan teror bom bunuh diri. Hal ini tidak pernah terjadi dalam teror di masa lalu.

Tak tanggung-tanggung ada tiga keluarga yang terlibat dalam teror di Surabaya dan Sidoarjo itu. Mulai bapak, istri, dan bahkan anak-anak nekat terlibat dalam serangan bom bunuh diri.

Seperti diketahui pengeboman tiga gereja di Surabaya dilakukan Dita Oepriarto (suami), Puji Kuswati (istri), serta empat anaknya, yakni YF, FH, FS, dan P. Dita diketahui sebagai Ketua Jamaah Ansharu Daulah (JAD) Surabaya.

Sedangkan insiden senjata makan tuan di di Rusunawa, Taman, Sidoarjo, juga melibatkan satu keluarga. Ceritanya satu bom yang dikuasai Anton meledak tanpa disengaja. Polisi pun datang dan mendapati Anton, yang kemudian ditembak mati, saat memegang switching bom.

Satu bom rakitan yang meledak itu lebih dulu menewaskan istri Anton bernama Puspita Sari serta anak pertamanya, LAR (17). Sedangkan tiga anak Anton lainnya luka-luka, yakni AR, FP, dan GHA. Anton adalah sahabat Dita.

Terakhir, teror bom di Mapolrestabes Surabaya juga dilakukan satu keluarga yang menggunakan dua sepeda motor. Mereka adalah ayah (Tri Murtiono) dan istrinya Tri Ernawati. Lalu dua anak lelakinya MDS dan MDAM. Keempatnya meninggal.

Satu anak perempuan berinisial AAP, yang dibonceng dibagian depan, terlempar ketika bom meledak. Dia selamat dan kini dirawat di UGD RS Bhayangkara.

Soal keluarga dan anak-anak terlibat bom bunuh diri diakui Kapolri Jenderal Tito Karnavian adalah fenomena baru. Tapi soal wanita terlibat bom bunuh diri adalah baru meski tak baru.

“Maksudnya sebenarnya wanita (jadi pelaku bom bunuh diri) bukan yang pertama, tetapi ini (pertama) yang berhasil," kata Tito dalam jumpa pers di Mapolda Jawa Timur, Senin (14/5/2018).

Pada 2017, Polri memang berhasil menghentikan dan mencegah serangan bom bunuh diri dari seorang perempuan bernama Novi di Bekasi. Saat itu, Novi berencana menyerang Istana di Jakarta.

Ledakan Bom Beruntun

Hal baru lain dalam rangkaian teror yang muncul dalam kasus bom di Surabaya adalah soal rentetan serangan bom bunuh diri yang terjadi hingga dua hari, Minggu dan Senin. Di masa lalu memang ada bebeberapa serangan teror yang bersifat rentetan (serangan lebih dari satu titik serangan) namun semuanya pada hari dan waktu yang sama.

Bom Bali 12 Oktober 2002 dimana dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat.

Lalu Bom Bali 2005 yang terjadi pada 1 Oktober 2005 di satu lokasi di Kuta dan dua lokasi di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.

Begitu pula dengan serangan pada 17 Juli 2009 yang terjadi di hotel JW Marriott bersamaan dengan serangan di hotel Ritz-Carlton. Semua serangan-serangan di atas terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dan hari yang sama.

Pengamat dan penulis terorisme Solahudin mengamini soal fenomena wajah baru dalam teror Indonesia dalam kasus di Surabaya ini. Dia menggarisbawahi soal pelibatan anak-anak dalam serangan mematikan di Surabaya.

“Ada tiga alasan bagi saya mengapa mereka melibatkan anak dan istri. Pertama security, mereka ingin langkahnya tidak mencolok dan sulit dipantau aparat maka anak-anak dilibatkan. Lalu juga soal magnitude dan news value, mereka sadar jika anak dan istri dilibatkan, itu akan menarik media dan akan meneruskan “teror” itu di media. Kalau lelaki dewasa kan sudah biasa ,” katanya.

Hal lain, yang bahaya, adalah itu bagi Solahudin, semacam langkah untuk memprovokasi bagi kelompok teror lain. Intinya adalah,”Pesannya mungkin anak kecil saja berani bunuh diri masa yang dewasa tak berani.”

Tersinggung Rusuh Mako Brimob?

Hal lain yang disorot Solahudin adalah soal momentum penyerangan di Surabaya yang dilakukan secara serentak dan berurutan pada Minggu dan Senin. Dia melihat jaringan JAD bergairah paska rusuh di Rutan Brimob.

“Memang momentum rusuh Mako Brimob itu menggairahkan mereka. Tapi ada atau tidak ada rusuh, mereka pasti akan menyerang karena persiapan ini kan pasti panjang. Ada yang bikin bom dan membuat rencana,” kata Solahudin.

Meski, bisa jadi, kasus di Brimob, membuat mereka mempercepat amaliah dengan melakukan serangan terkoordinasi saat ini. Itu karena sebenarnya di bulan Rajab— seperti saat ini—ada larangan untuk berjihad.

Dalam Alquran disebutkan bila bulan Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, dan Al-Muharram dinamakan bulan Haram karena kemuliaannya yang lebih dan larangan melakukan perang.

“Saya perkirakan mereka akan amaliah di Ramadan tapi mereka percepat mungkin karena rusuh Brimob,” sambungnya.

Terhina

Sementara itu mantan napi terorisme Iqbal alias Rambo punya analisis yang berbeda. Dia menduga jika serangan di Surabaya terpicu atas rasa “terhina” buntut penanganan 155 napi teroris di Rutan Mako Brimob oleh aparat.

Yakni atas sejumlah tudingan miring jika mereka hanya sekelas teroris “kelas nasi bungkus”—karena mau bernegosiasi menyerahkan sandera Bripka Iwan Sarjana—dengan nasi dan juga karena mereka menyerah tak melawan dan seperti teroris kelas “amatiran”.

“Ini bisa jadi membangkitkan semangat perlawanan jaringannya di luar, yang juga sama-sama JAD, untuk unjuk gigi. Menunjukan eksistensi jika JAD ada dan berani,” sambungnya.

Balas Dendam dan Fatwa ISIS

Sedangkan menurut Tito rentetan serangan di Surabaya adalah pembalasan dendam atas belum dibebaskannya dua orang pimpinan JAD yakni Aman Abdurrahman dan Zainal Anshori. Aman ditangkap kembali karena terlibat kasus perencanaan pendanaan kasus Bom Thamrin pada 2016.

Dia sebelumnya diproses dalam kasus pendanaan bagi militer bersenjata di Aceh dan seharusnya sudah bebas beberapa bulan lalu.

Sedangkan Zainal divonis bersalah terkait pendanaan dan memasukkan senjata api dari Filipina ke Indonesia. Proses hukum keduanya membuat JAD Jatim, termasuk Surabaya, menurut Tito, memanas dan mereka ingin melakukan pembalasan.

Bagi Tito, kerusuhan di Mako Brimob juga bukan sekadar dipicu karena salah paham soal makanan, tapi ada kaitannya dengan balas dendam dalam proses hukum para pimpinan JAD itu.

Jika ditarik ke yang lebih luas, kata Tito, serangkaian serangan ini juga ada kaitannya dengan posisi ISIS di Suriah yang terdesak dan memerintahkan agar sel-sel teroris di seluruh dunia untuk bergerak.

“Selain serangan di Surabaya juga ada serangan di Paris, hari Minggu kemarin, satu pelaku pakai pisau, satu tewas empat luka, pelaku tembak mati polisi di Paris," kata dia. Makanya gereja, selain polisi, juga disasar.(BS)



Sumber: BeritaSatu.com

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments