Meiliana di ruang sidang pengadilan (Foto tribunnews.com) |
Oleh: Bung Stev
Meiliana tertunduk sedih, air matanya jatuh di ruang Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Majelis hakim memvonis bersalah dirinya dalam kasus dugaan penistaan agama dan menghukumnya dengan 18 bulan penjara.
Perempuan keturunan Tionghoa itu dianggap terbukti menghina agama Islam setelah mengeluhkan volume suara adzan yang dinilainya terlalu keras.
Ragam reaksi bermunculan menanggapi vonis Meiliana. Di media sosial, ungkapan simpati, dukungan dan keprihatinan pada Meiliana terus berdatangan. Petisi yang menuntut kebebasan untuk Meiliana juga bermunculan.
Kita ingat, kasus ini terjadi tahun 2016 di kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kota yang sebelumnya dikenal relatif aman dan tenteram tersebut mendadak mencekam oleh amuk massa yang membakar dua vihara dan lima kelenteng.
Peristiwa tersebut ternyata berawal dari seorang warga keturunan Tionghoa, M, merasa terganggu dan komplain soal suara adzan maghrib dari pengeras suara di masjid yang berada tepat di depan rumahnya. Sempat terjadi perselisihan antara M dan jemaah masjid tersebut. Anggota kepolisian setempat pun telah berusaha melakukan mediasi bersama pihak kelurahan.
Namun, di tengah upaya mediasi yang dilakukan, beredar informasi sesat melalui pesan berantai. Pesan lewat media sosial itu menyebutkan bahwa masjid tadi dilarang memperdengarkan adzan. Pesan berantai itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjung Balai.
Tragedi
Lebih dari sekadar perdebatan tafsir hukum kasus ini di ruang pengadilan, vonis yang diterima Meiliana memang seharusnya mengetuk rasa kemanusiaan kita. Vonis ini merupakan tragedi di dunia penegakan hukum kita.
Seorang ibu yang mengungkapkan perasaannya dengan jujur pada seseorang, lalu disebarluaskan dan berujung pada amuk massa yang seolah merasa berhak untuk melakukan aksi merusak rumahnya, bahkan membakar tempat-tempat ibadah.
Tak cukup sampai disitu, palu godam ruang pengadilan bahkan mewajibkan si ibu malang tersebut menjalani hukuman penjara. Tak terungkapkan, rasa sakit hati yang harus dialaminya termasuk suami dan anak-anaknya.
Ketika rumahnya diserang massa, saya membayangkan wajah-wajah ketakutan bahkan trauma mendalam yang mungkin akan tersimpan cukup lama di benak anak-anaknya. Inikah wajah Indonesia yang banyak dipuja-puji sebagai negara dengan pemeluk agama paling toleran di dunia?.
Tidakkah ada pintu-pintu dialog yang seharusnya bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah yang jika dirunut ternyata berawal dari kesalah pahaman dan kesimpang siuran informasi ? Sedemikian tipiskah telinga kita untuk sekedar menerima kritikan dan ungkapan hati seseorang?.
Satu hal lagi, berbagai sumber informasi menjelaskan bahwa sejak awal masa persidangan kasus ini selalu mendapat tekanan massa yang ingin pengadilan segera memvonis bersalah Meiliana. Mendahului putusan pengadilan, MUI Sumatera Utara juga sudah lebih dulu menerbitkan fatwa penistaan agama kepada Meiliana.
Pemerintah memang harus segera bertindak. Jangan ada lagi Meiliana-Meiliana baru yang harus mendekam di penjara lantaran label sebagai penista/penoda agama. Pasal karet itu harus ditinjau ulang bahkan dihapus karena terbukti sudah menelan banyak korban. Kita tak mau tragedi penegakan hukum kita terjadi lagi di masa mendatang.
Di tengah banyaknya ungkapan keprihatinan atas vonis yang dijatuhkan pada Meiliana, ternyata ada juga sebagian orang yang belum puas dan menganggap bahwa vonis Meiliana masih terlalu ringan. Duh, gusti. (Jambi, 23 Agustus 2018)
Sumber: Kompasiana.com
0 Comments