Kadir Saragih. (Istimewa) |
Oleh: Masrul Purba
Beritasimalungun-Hari Natal 25 Desember 1948 bukanlah hari yang santai bagi Komandan Resimen IV Divisi X TNI, Letkol Djamin Gintings. Sebagai umat Kristen, sedianya Djamin merayakan hari raya dan mengumandangkan kidung pujian di gereja. Begitu pula pasukannya yang mayoritas beragama Kristen. Namun, hari itu sang komandan justru mengumumkan keadaan bahaya.
Siaran Radio Yogyakarta memberitakan agresi militer Belanda untuk kali kedua. Sejumlah pejabat tinggi Republik ditangkapi, termasuk Presiden Soekarno dan wakilnya, Bung Hatta. Selain itu, tersiar kabar daerah Sektor III di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting sudah diserang Belanda.
“Saya masih belum mendapat perintah dari atasan langsung (Divisi X) tindakan apa yang harus dijalankan. Tetapi demi keselamatan Negara Republik Indonesia saya merasa bertanggung jawab penuh untuk memulai penyerangan terhadap Belanda,” kenang Djamin Gintings dalam catatan hariannya yang kemudian diterbitkan dalam otobiografi Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir.
Djamin Gintings mengumpulkan seluruh anggota Resimen IV. Disampaikannya misi rahasia untuk melancarkan serangan ke basis tentara Belanda. Menurutnya operasi ini diperlukan sebagai strategi bertahan sekaligus memberi efek kejut bagi Belanda.
Langkah ini diambil sebab basis Resimen IV di Tanah Alas, Kuta Cane yang menjadi pintu gerbang menuju Aceh masih belum diduduki Belanda. Sementara Aceh merupakan benteng pertahanan terakhir Republik yang belum disentuh Belanda.
“Para Prajurit, Bintara, dan Perwira,” kata Djamin memulai pidatonya, “Saya selaku Komandan Resimen IV memikul pertanggungjawaban ini dan memerintahkan kepada saudara-saudara untuk menyerang daerah yang diduduki Belanda sebelum Belanda menyerang daerah kita. Pertama, kita duduki Mardinding dan Lau Baleng.”
Desa Mardinding yang menjadi sasaran penyerangan terletak di Kabupaten Karo. Menurut A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan di Karo Area, Belanda telah menduduki Desa Mardinding sejak awal 1948 sebagai buntut dari Perjanjian Renville.
Di sana, Belanda menjadikan rumah besar milik kepala desa sebagai tangsi tempat bertolak patroli mereka. Adapun kekuatan pasukan Belanda di Mardinding sebagaimana tercatat dalam Kadet Brastagi yang dikutip Arifin Pulungan dari Achter de Sinabung: schint toch de zon, terdiri dari satu grup kesatuan mortir, satu seksi (penembak) Vickers, 15 orang Barisan Pengawal. Sedangkan komandannya ialah Sersan Ritzer dari Peleton Mortir.
Tugas untuk melancarkan serangan tiba-tiba ke tangsi itu diembankan kepada Batalion XV di bawah pimpinan Kapten Nelang Sembiring. Formasi serangan terbagi atas tiga kompi: Kompi 1 dipimpin oleh Letnan I Oroh, Kompi 2 dipimpin oleh Letnan I Rimrim Ginting, Kompi 3 dipimpin oleh Letnan II Radja Sjahnan (kelak menjadi Wakil Gubernur Sumatera Utara, Ketua DPRD Sumatera Utara, dan pernah menjadi Plt. Gubernur Sumatera Utara, Plt. Duta Besar Indonesia serta Atase militer Indonesia untuk Pakistan).
Pada 28 Desember 1948, rombongan pasukan tiba di puncak Bukit Mardinding pukul 02.00 pagi. Untuk persiapan serangan, setiap kompi di sebar ke berbagai penjuru. Kompi 1 mengambil posisi sayap kanan, Kompi 2 di bagian tengah, Kompi 3 di sayap kiri, dan di atas bukit bersiaga pasukan mortir yang dipimpin Letnan Laban. Sementara itu, masing-masing kompi di bagi lagi dalam tiga seksi.
Direncanakan, serangan dilancarkan secara serentak untuk memberi efek kejut yang lebih besar. Setiap pasukan tidak diperkenankan melepaskan tembakan sebelum aba-aba tembakan dari komandan Kompi 1. Untuk memastikan itu semua, masing-masing kompi mengirimkan kurir yang melaporkan kesiapan kompinya. Waktu penyerangan ditentukan: pukul 13.00 siang.
Sebuah kisah menjelang berlangsungnya operasi penyerbuan ke pos militer Belanda di Desa Mardinding, tanah Karo. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran, Letnan Kadir Saragih menatap puncak bukit yang ada di desa tersebut. Cukup lama dia menatap bukit itu. Dengan tatapan takjub, Kadir berujar dengan lepas kepada kawan sekompinya.
“Alangkah indahnya puncak bukit itu. Suatu tempat perhentian yang menyenangkan,” ujar Kadir. Dia melanjutkan, “Kalau nanti ada diantara kita yang gugur ditembus peluru senjata Belanda, kita makamkan di atas bukit ini sebagai tugu kenang-kenangan, sebagai ‘benteng kemenangan.”
Ucapan Letnan Kadir tersebut tercatat dalam buku harian komandan resimennya, Letkol Djamin Gintings yang pada 1964 diterbitkan dalam memoar berjudul Bukit Kadir.
Letnan Kadir adalah Komandan Seksi 2 Kompi 1 Batalion XV yang ditugaskan dalam operasi dadakan menggempur kubu pertahanan Belanda di Mardinding.
Dalam kenangan Djamin Gintings, Letnan Kadir merupakan perwira muda berbadan tegap. Tingginya lebih kurang 160 cm. Menurut kawan-kawannya, Letnan Kadir memilki paras muka yang bisa menarik perhatian kaum Hawa.
“Tetapi sampai akhir hayatnya dia belum mempunyai kekasih selain daripada perjuangan,” tulis Djamin Gintings.
Dalam keadaan siap tempur, Letnan Kadir menampilkan perilaku yang aneh. Kepada Sersan Mayor Bantaryat Sinulingga, Kadir menyerahkan pedangnya. Sinulingga pun terheran-heran melihat tindakan komandannya.
“Tuan sendiri pakai senjata apa?" tanya Sinulingga.
“Saya bawa sebuah pentungan,” jawab Kadir. “Saya kira sudah cukup sekedar untuk menghajar mereka (tentara Belanda -red) agar mereka tahu kena pentungan tentara Indonesia,“ tukasnya.
Selain Kadir, seorang prajurit bernama Kopral Panamo memperlihatkan gelagat yang tidak kalah anehnya. Seperti Letnan Kadir, Kopral Panamo seorang prajurit anggota Kompi 1. Badannya gemuk pendek dan berkulit hitam.
Panamo dikenal suka melawak dan membuat kawannya-kawannya tertawa. Menurut Djamin Gintings, sejak agresi militer Belanda pertama, Panamo mengurusi bagian perbekalan makanan. Tidak heran bila Panamo selalu lapar dan doyan makan.
Menjelang penyerbuan, Kopral Panamo mengambil seutas rotan. Ketika rekannya bertanya untuk apa gerangan, Panamo mengatakan rotan itu akan digunakan sebagai tali ranselnya. Tetapi sembil tertawa, Panamo berseloroh, “Kalau nanti saya tewas tali ini untuk mengikat mayat saya.” Semua temannya-temannya termasuk Panamo sendiri tertawa lepas.
Jarak antara pasukan penyerang dengan pos tentara Belanda cukup dekat, sekitar 50 meter. Dalam amatan tim pengintai, tampak sekumpulan tentara Belanda sedang asyik bermain bola di tanah lapang dekat tangsi.
Mereka terlihat seperti mangsa empuk. Namun sebelum waktu yang ditentukan, tiba-tiba meletus sebuah tembakan dari seksi pasukan yang dipimpin Letnan Djohan.
Menurut Djamin Gintings, seksi Djohan sebenarnya tidak masuk ke dalam formasi penyerangan. Oleh karena itu, Letnan Djohan berikut seksinya diminta supaya jangan terlalu mendekati posisi musuh.
Tetapi mereka terus bergerak melalui kedai-kedai penduduk yang digunakan sebagai pelindung. Saat itulah beberapa tentara Belanda yang hendak buang air kecil di belakang warung mendapati keberadaan pasukan Letnan Djohan.
Sontak saja Letnan Djohan melepaskan dua tembakan. Seorang tentara Belanda tersungkur dan tewas sedangkan yang lainnya segera kabur menyelamatkan diri menuju pos dan tangsi mereka.
Tembakan tanpa perintah itulah yang memulai jalannya pertempuran. Selama setengah jam, pasukan TNI melepaskan bertubi-tubi tembakan yang membuat sekumpulan tentara Belanda kocar-kacir. Kendati demikian, pihak Belanda masih menangguhkan balasan.
Melihat tentara Belanda yang pasif, Komandan Seksi 2 dari Kompi 1, Letnan Kadir Saragih mengerahkan pasukannya untuk maju menyerbu pos tentara Belanda sambil berseru “Maju” dan “Merdeka.”
Pada saat yang sama, tentara Belanda keluar dari tangsi persembunyian. Sewaktu tembak-menembak berlangsung, terdengar deru tank dan panser Belanda yang langsung melepaskan peluru ke arah pasukan TNI. Terjangan tank dan panser itu diikuti dengan serangan mortir yang memuntahkan pelurunya berpuluh kali lipat ke Bukit Mardinding.
Tiba-tiba sebuah peluru menembus dada Kadir dan dia gugur seketika. Kopral Panamo yang kocak itu juga terkena tembakan di perutnya. Panamo sempat bertahan dari luka beratnya.
Tali rotan yang sudah dipersiapkannya ternyata berguna menjadi tambahan pengikat alat pemikul tandu ketika Panamo dibawa ke tempat yang lebih aman.
Di tengah jalan, Panamo kehausan. Teman-temannya memberi air minum. Namun setelah minum, Panamo meronta, “Perutku. Tolong pijak biar semua air keluar.” Dia kesakitan usai meminum air itu.
Ketika berada di pinggang bukit, Panamo tidak mampu lagi bertahan. Dia menghembuskan nafas terakhir setelah memekikkan “Merdeka”.
Di lembah bukit Mardinding itulah Kopral Panamo dimakamkan. Sementara Letnan Kadir dimakamkan di puncak bukit, sebagaimana permintaannya sebelum pertempuran berlangsung.
“Rupanya Belanda menunggu pasukan kita berada di posisi itu baru memulai tembakan balasan,” catat Djamin Gintings.
Pertempuran yang berlangsung selama berjam-jam itu berhenti pada pukul 17.00 sore. Pasukan TNI diperintahkan mundur ke perbukitan untuk menghindari tekanan panser dan tank Belanda.
Pada pukul 21.00 malam pasukan tiba di puncak bukit. Djamin Gintings kemudian memutuskan untuk melanjutkan pertempuran dengan menggunakan taktik perang gerilya.
Sebanyak 8 prajurit TNI gugur dalam pertempuran itu, termasuk Letnan Kadir Saragih yang dimakamkan di Bukit Mardinding. Sementara di pihak Belanda, menurut berita dari penduduk setempat yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Komando Daerah Militer II Bukit Barisan, disebutkan 8 orang yang tewas. Untuk mengenang keberanian Letnan Kadir, Letkol Djamin Gintings menamakan puncak Bukit Mardinding dengan nama Bukit Kadir dan lembahnya sebagai Lembah Panamo. Untuk mengenang keduanya, sang komandan resimen menuliskan untaian sajak.
"Di puncak bukit terletak pusara
Pahlawan kadir yang gagah perkasa
Sebagai tugu pahlawan bangsa
Mempertahankan tanah air Indonesia
Itulah……….Bukit Kadir"
"Di lembah bukit Panamo berkubur
Demi perjuangan ia tersungkur
Gugur sebagai pahlawan bertempur
Untuk kemerdekaan yang subur
Itulah……….. Lembah Panamo"
Foto: Letnan Muda Kadir Saragih sewaktu memegang seksi di Kabanjahe. (Repro buku "Bukit Kadir" karya Djamin Gintings). Sumber: Historia.
0 Comments