Info Terkini

10/recent/ticker-posts

RIP: Muchtar Pakpahan



Oleh : Pdt Gomar Gultom MTh. 

Duka mendalam atas berpulangnya Bang Muchtar Pakpahan, seorang tokoh perburuhan yang sangat vokal. 

Pertama sekali kenal Bang Muchtar, ketika saya masih menjalani masa vikariat sebagai calon pendeta, 1984. Beliau dosen di FH Universitas HKBP Nommensen, Medan, ketika itu, dan menjadi Kepala Unit Bantuan Hukum  di Universitas tersebut. Selama itu, dan tahun-tahun sesudahnya kami, bersama rekan-rekan lain, membentuk dan membesarkan KSPPM, sebuah LSM yang bergerak dalam pendampingan pemberdayaan masyarakat desa.  

Di KSPPM perjalanan kebersamaan kami sangat intens. Jarak usia yang terpaut jauh di antara kami, beliau lebih senior 6 tahun dari saya, tak pernah jadi penghalang dalam keakraban kami. Bukan hanya itu, di sini kami saling mengakrabkan diri bersama keluarga masing-masing, sehingga isteri dan anak-anak kami pun saling mengenal dan akrab satu sama lain. 

Satu hal yang sangat menonjol darinya adalah kegelisahannya atas berbagai bentuk ketidak-adilan. Dan untuk itu beliau tak pernah bisa diam. Beliau juga sangat reseh atas segala kemapanan. Olehnya tak pernah bisa bertahan lama dalam institusi dimana beliau terhisab, entah beliau mundur atau dimundurkan. Di UHN dan UKI beliau mengalaminya. Bahkan di KSPPM, yang dia ikut membidaninya pun, bahkan sangat aktif menbesarkannya, dia akhirnya keluar. 

Itulah Muchtar, sosok yang selalu bergerak bebas dan tak pernah bisa dikekang oleh yang namanya birokrasi, kebiasaan dan kemapanan. Apalagi bila itu bersangkut paut dengan ketidak-adilan. 

Satu hal yang juga sangat kental dalam dirinya, yang saya kira berkaitan dengan langkah-langkah mundur dan dimundurkan sebagaimana saya sebutkan di atas adalah kurang taktisnya beliau berjuang, setidaknya itu yang saya amati dalam beberapa kasus yang kami sama-sama terlibat. Saya berulangkali mengingatkannya akan hal ini. “Bukan begitu caranya, Bang!”, seingat saya adalah kalimat yang paling sering saya katakan padanya.

Dia pun pernah dibui beberapa kali oleh rejim Suharto. Seingat saya, beliau dipenjara sedikitnya tiga kali. Bahkan pernah diancam hukuman mati karena dianggap subversif.

Lepas dari itu, dia adalah orang yang sangat tulus, terlalu polos malah. Dan dia selalu menyediakan diri, di tengah keterbatasannya, untuk membantu sesama yang butuh pertolongan. Saya ingat persis, di suatu malam di sekitar 1992, dia datang ke rumah saya di Tarutung, hanya untuk menyampaikan sesuatu yang sangat krusial menyangkut HKBP. Dia datang jauh-jauh meninggalkan keluarga di Jakarta, padahal saya tahu persis beliau sedang mengalami kesulitan banyak ketika itu. 

Bang Muchtar, kehidupannya sangat berwarna. Kemudian hari terjun di dunia perburuhan dan kemudian politik. Di kedua dunia ini kami tak banyak bersentuhan. Namun oleh karena perhatiannya yang tak pernah surut atas kehidupan bergereja, dalam berbagsi kesempatan kami masih  bertemu, pun dalam upaya pemajuan kebatakan.

Sejak 2018 lalu beliau harus berjuang nenghadapi duri dalam dagingnya: cancer nasofaring. Harus menjalani beberapa kali operasi dan perawatan di RS. Tapi itu tak membuatnya surut dalam berjuang. Terakhir saya jumpa beliau di rumah Dr Binsar Pakpahan, anak sulungnya, yang kini menjadi sobat dan kolega saya, di awal 2020, persis menjelang pandemi. Di tengah keletihan tubuhnya, kami banyak berbincang tentang masalah di UKI saat itu. 

Kini sosok yang tak kenal nenyerah itu sudah menyelesaikan perjuangannya. Namun dia meninggalkan jejak- jejak yang sangat banyak dan dalam. Dan itu akan tetap hidup dalam memori saya.

Bela rasa dan doa saya untuk Kak Rosintan Marpaung, dan buat Pdt Dr Binsar Jonathan Pakpahan. 

Satu hal yang menggembirakan saya, baru bulan lalu saya meminta kesediaann Binsar untuk bergabung dengan KSPPM, dan dia dengan sukacita menerimanya.(Penulis Adalah Ketua PGI)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments