Simalungun, salah satu kabupaten di
Sumatra Utara mengganyut kehidupan di Danau Toba. Akar tradisi berusaha
dijaga. Setiap perayaan diawali dengan mamuhun, meminta ijin pada
keturunan raja untuk melaksanakan adat.
Demban atau sirih menjadi medio saling menghormati. Demban sise, pemberian uang di bawah sirih dengan kelipatan 12, sebagai tanda sembah penghormatan. Selain itu, pemberian ayam serta beras, bekal pelaksanaan adat. Perayaan lalu berlanjut ke makam tujuh Raja simalungun, Raja Siantar, Pane, Tanah Jawa, Purba, Dolok Silou, Silimakuta, dan makam Raja Raya, Saragih Garingging.
Masyarakat Batak dan Simalungun menjunjung tinggi leluhur, ucap syukur senantiasa dipanjatkan. Tak terkececuali menghadapi kematian, tradisi terus melekat. Ikat kepala putih atau parsa sebagai tanda syukur anggota keluarga terkasih telah diberikan umur panjang oleh Sang Khalik. Sementara irama musik menghentak dipercaya mengantarkan jiwa dengan tenang ke nirwana.
Bukan hanya prosesi kematian, kebersamaan juga tercipta saat makan bersama. Usai pulang dari makam, keturunan raja dan tetua adat saling memberikan dayok nabinatur. Makanan tradisi, ayam masak dicampur perasan kulit kayu, jahe, dan cabai rawit jadi penutup mamuhun.
Harapan baru dalam bulir-bulir padi yang menguning. Tradisi Simalungun mengenal marsiolop ari artinya memberi waktu membantu di ladang lain, begitu pula sebaliknya. Rasa kebersamaan inilah yang jadi asal mula pesta rondang bittang. Diawali dengan meranggir, yaitu kegiatan pembersihan diri, hati, dan pikiran di mata air, tempat dahulu raja dan permaisuri mandi.
Dalam balutan adat Simalungun, asa untuk mendapatkan jodoh di benak muda mudi menggantung pada rangkaian pesta rondang bintang. Mata air dan jeruk purut simbol pembersihan diri yang juga melambangkan pengusiran segala kotoran dari badan dan pikiran.
Ulos yang disebut hiou disampirkan sarat dengan ornamen. Secara legenda ulos dianggap salah satu dari tiga sumber kehangatan manusia selain api dan matahari. Awalnya, tutup kepala juga berasal dari ulos yang belakangan berganti dengan tengkuluk batik. Sampiran jam emas serta pedang pusaka melambangkan harkat dalam adat. Meranggir pun ditutup dengan marrundang.
Hari yang dinantikan pun tiba, pesta rondang bintang. Marharoan adalah bentuk kebersamaan dalam tradisi Simalungun, termasuk bersama mempersiapkan pesta rondang bintang. Tanda penghormatan, berbagai hasil panen yang terbaik, akan dipersembahkan pada pemerintah daerah dan tetua adat.
Rondang berarti terang benderang, melebihi terang yang biasa. Biasanya rondang bintang dilakukan malam hari saat bulan purnama dan bintang juga bersinar terang.
Bupati Simalungun menyambut wakil pemerintah pusat sebagai tanda penghormatan terhadap hirarki pemerintahan. Pesta dimulai dengan pawai dari 31 kecamatan yang berusaha memberikan yang terbaik. Ciri khas dan kelebihan masing-masing daerah dipertontonkan. Dari mulai hasil bumi, hasil tangkapan dari danau dan kolam, sampai mobil hias berbentuk ikan serta kapal. Dan tentunya musik khas masing-masing daerah hingga drum band anak-anak.
Semua gembira, semua terlihat bahagia, hingga akhirnya hujan pun turun dengan derasnya. Walau hujan dipercaya membawa berkah tersendiri, kontingen kecamatan yang tengah berdefile menjadi kocar kacir.
Butir-butiran air pun reda, terganti semangat yang datang kembali dari pasangan muda-mudi yang sedari pagi telah membersiapkan diri dengan melakukan merangir.
Datang berpasang-pasangan melewati para tetua adat dan perwakilan pemerintah. Di tengah derasnya arus informasi, bagi para muda-mudi ini acara rondang bittang punya makna tersendiri. Kesempatan saling mengenal satu sama lain sekaligus melestarikan tradisi. Makna mendalam juga dirasakan bapak purba yang dipertemukan dengan pasangan hidupnya saat pesta rondang bittang.
Panen tiba, suka cita diwujudkan para gadis desa dengan menumbuk padi bersama. Jika mengacu pada situasi sekarang, inilah cara ngeceng gadis-gadis Simalungun pada zaman dahulu. Berharap mendapatkan lelaki pujaan hati. Tetapi jauh sebelum itu, acara menumbuk padi di losung adalah cara Raja Simalungun memilih selir.
Kedatangan nenek moyang Suku Simalungun terbagi dalam dua gelombang, yaitu Simalungun Proto dari India Selatan dan Pegunungan Assam menyusuri Myanmar, Thaailand, Malaka, kemudian Sumatra Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja Dinasti Damanik. Sama seperti kepercayaan nenek moyang lain, Suku Simalungun dahulu percaya pada dewa yang disebut naibata yang dilambangkan dengan tiga warna, yaitu putih, merah, serta hitam dan kini mendominasi ornamen Suku Simalaungun dari pakaian sampai hiasan rumah.
Gelombang kedua adalah Simalungun Deutro dari suku-suku di sekitar Simalungun yang belakangan berkembang menjadi empat marga asli Simalungun yang populer dengan akronim Sisadapur, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Raja-raja Simalungun dikenal banyak memiliki istri dan selir, seperti di rumah bolon Raja Purba yang diisi dengan 12 selir.
Melalui pesta rondang bittang, sejarah dan tradisi Simalungun diperkenalkan kembali pada generasi muda, termasuk di antaranya tarian yang sudah hampir punah, yaitu tari topeng atau toping-toping dikombinasikan dengan tari huda-huda. Gerakan tarian dan bentuk tarian menyerupai huda atau kuda dalam bahasa Simalungun. Tarian yang sarat sejarah dan makna untuk saling membantu serta menghibur orang yang tengah dirundung duka. Untuk lebih meningkatkan semangat dan memberi makna lebih mendalam, tarian ini pun diperlombakan.
Kemeriahan pesta rondang bittang telah berlalu, tapi pelestarian seni tradisi tak boleh berhenti.(source : liputan6sctv | potret sctv)
0 Comments