Info Terkini

10/recent/ticker-posts

MURIDNYA KELILING DUNIA KARENA SULING

Foto Simon Petrus Saragih.
Normasiah Saragih

"Masih ada ngak botou musik tradisional Simalungun seperti gonrang?" demikian Ibu Guru Normasiah Saragih, kelahiran 1960 bertanya.
Mengapa bertanya gitu kak?

"Soalnya murid-murid saya tuh, pemain flute malah sering bepergian ke luar negeri seperti ke Perancis. Mereka diminta naik pentas dengan membawakan musik-musik tradisional seperti Toba dan Karo. Setahu saya para pemain dari Simalungun belum pernah pergi seperti mereka," kota Normasiah, salah satu putri Taralamsyah yang juga guru di SMK Negeri 11 Medan, yang dulunya adalah Sekolah Menengah Musik (SMM).

Tidak menggebu-gebu berbicara soal ahap Simalungun bahkan tergolong hati-hati dan terkesan enggan karena takut salah. Namun keberangkatan para pemain suling didikannya di SMM itu mendorong dia bertanya. "Apa tidak ada lagi musik tradisional Simalungun?" kata Normasiah yang bersuamikan seorang marga Napitupulu dan baru saja kelahiran dua cucu kembar dari putri kandungnya, yang bersuamikan marga Hasibuan.

Soalnya eks muridnya itu adalah pemain flute yang diundang bukan untuk membawakan musik pop Toba atau Karo. "Mereka diundang malah untuk menampiljan musik-musik folklore, alias musik tradisional murni," kata Normasiah, yang tinggal di sebuah rumah yang tenang dan masuk kategori kelas menengah di kawasan Marendal, Medan itu.

Normasiah di awal pembicaraan terkesan tidak memperlihatkan antusiasme yang tinggi. "Siapa Simon Saragih?" demikian dia bahkan berbicara lewat telepon saat penulis bertanya arah ke rumahnya.

Begitu bertemu, Normasiah terenyuh dan merindukan secara implisit kebangkitan Simalungun. Lulusan D3 musik berkat bea siswa dari IKIP Yogyakarta, dan dilanjutkan dengan disertasi S1 di Unimed Medan ini, kemudian berbicara tentang upayanya demi kebangkitan Simalungun dengan pernah terlibat pengembangan budaya Simalungun.
"Saya pernah terlibat di majalah SAUHUR," katanya.

Dia pun bercerita tentang keterlibatannya yang juga pernah mencoba bertemu dengan orang-orang yang memberi kesan akan membangkitkan budaya Simalungun di kotanya. "Saya terlibat beberapa kali dalam perbicangan, termasuk soal pendirian tempat untuk lokasi pertemuan bagi pemerhati Simalungun di Medan ini."
Akan tetapi Normasiah secara implisit pula memunculkan sebuah tanya. "Kenapa iya, sepertinya orang batak Toba dan Karo tuh, lebih mudah mewujudkan sesuatu?"

Karo dan Toba di Medan memiliki paguyuban yang tergolong aktif dan lokasi pertemuan bagi para pemerhati etnisnya. "Di Jakarta, ada ngak botou, paguyuban seperti itu di kalangan Simalungun?"
Aku pun susah menjawabnya karena aku tidak punya bukti sebagai jawaban yang bisa membuat Normasiah senang.

"Hmmmmm..... ," hanya itu yang bisa kugumamkan pada botou ini.
Dalam hati, serupalah ternyata impian itu, impian tentang semangat dan ahap Simalungun. Normasiah pun secara implisit menuturkan betapa dia menginginkan sesuatu.
Dikatakan implisit, karena Normasiah itu orang yang low profile, tidak bicara meledak-ledak tetapi bahasa tubuhnya memperlihatkan sebuah kerinduan pada Simalungun.

Perbincangan pun melantur kemana-mana, termasuk seputar Taralamsyah. "Bapa itu ya, membuat saya takut bicara soal pelajaran musik yang saya dalami," katanya. Itu karena dia takut ada semacam opini dari bapaknya tentang apa yang dia dalami tentang musik.

Normasiah belajar flute dan piano dan teori-teorinya. Pernah suatu saat Normasiah berkunjung ke Jambi dan Taralamsyah bertanya apa saja yang dia pelajari di sekolah soal musik. Dari perbincangan itu langsung tertangkap kesan bahwa Normasiah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bapaknya. "Kepada saya pernah dia nyatakan bahwa apa yang saya dapat baru hal-hal dasar. Terus terang saya enggan berdiskusi pada bapak soal apa yang saya pelajari," katanya Normasiah.

Ini bukan karena Taralasyah kejam atau menakutkan. "Bapak itu menyenangkan. Ketika kita masih muda, hampir semua kita putrinya mengidolakan pasangan, 'semoga dapat seperti figur bapak,'" katanya.

Dia enggan karena merasa tidak mampu menandingi kemampuan musik bapaknya. Namun karena keengganannya dan juga karena memang Taralamsyah tidak pernah mencekoki putri-putrinya soal musik, maka pemahaman mereka tentang musik tidak begitu dalam saat aralamsyah masih hidup.

"Bapak itu juga tidak mendikte kita. Dia sabar, menerima hidup apa adanya dan tidak pernah memaksakan kehendaknya pada kita. Hal yang kita tahu ya, bapak itu tidur, lalu duduk merenung, berkarya. Itu saja hal yang kita lihat sehari-hari dan irama hidupnya monoton. Selain tidur, selebihnya kita hanya akan melihat dia duduk di mejanya."

Taralamsyah juga seorang bapak yang baik. "Jika liburan, kita dia bawa jalan-jalan, Makanya saya kenal daerah Haranggaol karena pernah kita dia bawa berlibur ke sana," kata Normasiah.
Tahu dari rekan

Normasiah baru semakin sadar tentang kehebatan ayahnya saat dia mengambil kuliah musik di Unimed. "Saat menyusun disertasi, saya sempat memilih tema musik klasik seperti karya Mozart untuk dianalisis. Akan tetapi rekan saya sesama guru di SMM almarhum Poltak Sinaga, dan almarhum Ben Pasaribu malah membuat saya beralih topik."

"Normasiah, kenapa mesti jauh-jauh ambil tema musik klasik untuk skripsimu? Karya ayah kamu, Taralamsyah, itu luar biasa bagus. Mengapa tidak menganalisis karyanya saja," demikian Normasiah mengenang saran Poltak dan Ben. "Padahal dua ahli musik ini bukan orang Simalungun lho, botou."

Jadilah Normasiah menyusun disertasi berjudul "ANALISIS LAGU ILAH LOSUNG DALAM TARI MANDUDA KARYA TARALAMSYAH SARAGIH" untuk meraih gelar S1 dari Unimed, Medan.

Bagaimana botou rasakan atau bagaimana penilaian botou tentang lagu-lagu dan karya lain Taralamsyah? "Justru dalam penyusunan disertasi inilah saya merasakan dan menyadari betul betapa Bapak punya pemahaman luar biasa soal musik. Saya tidak memiliki pemahaman tentang musik sedalam pemahaman Bapak."

"Benar-benar baru kemudian saya pahami, betapa karyanya memiliki rasa dan memiliki kelas," kata Normasiah, yang sebenarnya sudah mencium sendiri kehebatan Taralamsyah saat dia muda tetapi enggan dia dalami karena "ketakutan" akan kritikan yang tentu tidak mengherankan bagi Normasiah. "Padahal saya sudah belajar teori dan bapak belajar lebih banyak secara otodidak."

Dari situlah Normasiah mematrikan tanpa ragu, betapa Taralamsyah adalah geniusnya musik. "Bayangkan saya ya botou, hampir semua alat musik dia mainkan. Ketika saya pernah berkunjung ke Jambi, saya menyaksikan sendiri kursus musik yang diberikan Bapak pada murid-muridnya, termasuk jenis musik klasik yang indah tetapi rumit dan tidak mudah untuk didalami. Tapi bapak, ya mengajarkan hal itu."

Dia mencontohkan, jika seorang murid yang pernah mendapatkan kursus musik klasik, maka sertifikat pengesahan dari The Royal, adalah jaminan bagi kualitas bagi setiap murid yang belajar musik klasik. Taralamsyah memiliki murid yang bisa mendapatkan dengan mudah sertifikat dari The Royal, sebuah lembaga yang sampai sekarang menjadi acuan untuk pengesahan kemampuan seseorang tentang musik klasik.

Musik adalah kualitasnya Taralamsyah. Namun Kehidupan sosial adalah lahan lain yang menunjukkan kualitas Taralamsyah. "Ketika kecil, kita terbiasa dengan kedatangan saudara-saudari bapak dan demikian juga Mama.

Siti Mayun, kata Normasiah, adalah seorang istri yang memang punya devosi tinggi untuk melayani suami. "Mama bukan saja pintar berbahasa Simalungun. Mama juga pintar membuat makanan Simalungun, seperti Manuk Naniatur. Mama memang sudah sejak awal pernikahan menyatu dan membaur dengan kehidupan bapak termasuk menyatu dengan budaya Simalungun."

Keluarga ini tumbuh dan besar di lingkungan Muslim. "Namun bapak dan mama tidak pernah mejauh dari keluarga non-Muslin di setiap acara apapun. Misalkan, di satu acara adat, jika ada makanan non-parsubang, bapa mama tidak lantas menghindar. Demi adat dan demi keharmonisan sosial mereka tetap menghadirinya, bahkan bapak sering tampil sebagai tokoh adat."

Tentu Taralamsyah dan istri akan menyantap konsumsi untuk kelas parsubang. Tetapi luar biasa kesediaan mereka menghadiri dan menmgikuti acara adat.

DI akhir pembicaraan Normasiah menyatakan pesan. "Semoga tercapai ya botou, rencana konser Simalungun yang sedang kalian susun."

Oh Tuhan, aku ingin membuat botou Normasiah ini bangga pada saya dan tentu bangga pada Simalungun.
Tonggohon ma da botou hu.

Aku hanya bisa berguman demikian walau aku memiliki sebuah kekhawatiran, bahwa aku pun berpotensi memiliki persepsi seperti yang terbersit dari pertanyaaan di awal.
"Mengapa iya, Simalungun kayak kurang greget...."
Bois ma au............ He he he he..(Simon Saragih)
·

  • Simon Petrus Saragih Bassa nasiam tulisan na ganjang on. Komentari nasiam ganjang-jangang, Ulang holan "like". Ha ha ha..

    Komentar tidak dipungut biaya lho... ha ha ha ha

  • Arthy Domuriani Aku senang membaca tentang pendapat tante Oma mengenai opung Taralamsyah. Untuk tante Oma dan tante Eli ada foto kita menari di tvri medan saar itu kita masih kecil dan yg mengajarkan menari adalah opung Taralamstah. Hingga saat ini fotonya msh ada aku simpan. Tante Oma dan Tante Eli pasti ingat. Di tvri medan kita menarukan tari Mariah Subahuei.

    Arthy Domuriani Salam rindu buat tabte oma dan tante eli. Untuk di bulan oktober yg akn dtng acr pagelaran lagu dan tari simalungun ciptaan opung Taralamsyah saya ingin agr semua anak2nya opung Taralamsyah hadir disaat acr tsb.


  • Rossa Annie Osderia Sinaga Matektek iluhku....mambasa kerinduanni inang ai... "Semoga tercapai ya botou, rencana konser Simalungun yang sedang kalian susun.". Harapan besar yang sebenarnya wajar dan tidak dibesar2kan.... Akankah harapan itu akan menjadi nyata? Pandanganku jauh ke depan penuh harap dalam risauku... Tuhan tolong Ham hanami...

  • Simon Petrus Saragih Ma adong langkah maju Le?

  • Rossa Annie Osderia Sinaga domma namin tulang, tapi nanget ope....

  • Jaberkat Purba andohar saud ma, ase mulak loja ni lae Simon Petrus Saragih, on.
    aha na bois, sanina Rikanson Jutamardi Purba ?

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments