“HABONARON DO BONA!
1.Oppu-Oppu
2. Didihil
3. Dangsina
4. Tutuduh
5. Tutualang”
HABONARON NA GABE RUHUT NI GOLUH[1]
~ 5 Kebenaran Hakiki Yang Menjadi Tuntunan Hidup, Pedoman Prilaku
Silahkan pergi ke
kota suci di seluruh dunia untuk merasakan kehadiranNya. Ada yang pergi
ke Mekkah, ada yang pergi ke Jerusalem, ada yang pergi ke Benares,
Himalaya, Gandahar, Dataran Tinggi Dieng, Borobudur dan Prambanan dan
masih banyak tempat suci lainnya. Di tempat seperti itu ‘getaran’ kasih
akan terasa, demikian pendapat banyak orang yang memiliki hati yang
terbuka.
Pun bila kita ingin merasakan tuntunanNya, maka banyak pula ayat-ayat
Ia Hyang Tunggal bertebaran di mana-mana. Di Timur, di Barat, di
Selatan atau di Utara, bagi mereka insan yang memiliki kepekaan, maka
ayat itu juga akan kita temukan. Ya, di Simalungun pun kita akan
merasakannya. Di talun Habonaron – tanah Habonaron, Pertibi Simalungun –
Pertiwi Simalungun.
Nah, kali ini kita akan meresapi Simalungun dan pitutur luhur-nya. Habonaron Do Bona – Semuanya Bersumber dari Sang Kebenaran Hakiki. Sebuah falsafah hidup Suku Simalungun yang memiliki makna yang dalam.
Simalungun mendapat berkah dengan adanya Pitutur Luhur ini. “Habonaron Do Bona” merupakan sandi yang mesti diselami dengan hati yang terbuka, jika tidak kita hanya akan membentur ‘ego’ kita sendiri, ‘ego’ buatan, conditioning masyarakat yang mesti dilampaui jika ingin mengapresiasi maknanya.
Jika kita mau meluangkan waktu, dengan hati dan pikiran terbuka, maka
di Nusantara atau di berbagai daerah, ajaran LUHUR itu, dalam bentuk Pitutur Luhur
masih tetap abadi dan tersimpan rapi. Tidak perlu kaget dan bingung,
bagaimana bisa para Leluhur kita menyimpan ajaran rahasia tersebut.
Sesungguhnya banyak pitutur luhur yang merupakan percikan ‘ajaran
spiritual tingkat tinggi’ yang diabadikan dalam bentuk Pedoman Prilaku – the way of life. Dalam
bentuk kalimat yang begitu sederhana dan singkat. Namun rahasia besar
justru terkandung di dalamnya. Siapkah kita menyelaminya?
CIRI MEREKA YANG MENGARIFI DAN MENGAKRABI
FALSAFAH HABONARON DO BONA
Dalam bentuk Pedoman Prilaku,
Tuntunan Hidup, Wejangan Singkat, Ia Hyang Tunggal pun telah memberkahi
Tanoh Habonaron – Simalungun. Mari, dengan pikiran dan hati terbuka kita
selami ‘lima (5) ruhut ni goluh’
ini yang sejak lama telah menjiwai kehidupan pendahulu kita, leluhur
kita, yang masih relevan hingga di zaman modern ini.
1. OPPU OPPU (Marguru Na Bonar)
Marguru Na Bonar. Bermakna, Bergurulah
pada Kebenaran Hakiki, Kebenaran yang Memuliakan; Bergurulah pada
Seseorang yang Tercerahkan. Pitutur ini berlapis dan kompleks.
Banyak hal dapat dijadikan sebagai
“guru”. Kepada alam, dunia hewan, dunia tetumbuhan, pergaulan dengan
sesama manusia, pengalaman orang lain, kitab suci, guru di lembaga
pendidikan formal, guru agama atau pribadi tertentu yang memiliki
intelegensia dan tuah tertentu. Semua hal tersebut bisa dijadikan guru.
Karena kita mendapatkan hikmah, pengajaran, perbandingan, tuntunan,
contoh hidup, peringatan sehingga kita bisa memperbaharui diri kita.
Kata kuncinya ‘memperbaharui’ diri.
Tentu hubungan ini tidak statis, artinya ada upaya di dalam diri untuk melakukan ‘pemberdayaan diri’ sehingga kita menjadi pribadi yang lebih matang dan bahagia ‘tuk menggapai kemuliaan jiwa. Maka bergurulah kepada banyak hal.
Belajar atau berguru kepada banyak
hal, atau kepada orang tertentu bertujuan agar kita mendapat bimbingan,
petunjuk cara memberdayakan diri sehingga kita menjadi manusia yang
utuh. Manusia yang menyadari dirinya tidak terpisah dengan yang lain.
Menyakiti sesama berarti menyakiti kehidupan itu sendiri. Merusak alam
berarti akan merusak kehidupan manusia itu sendiri, karena adanya
hubungan timbal balik, ada hubungan saling memengaruhi yang tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Maka guru masa lampau, Tetua, Leluhur – Partuha,
sering menasehati, jika tidak ingin disakiti orang lain, maka jangan
menyakiti mereka. Ada pesan moral di sini yang menekankan saling
keterkaitan itu. Kacaukan hutan! Maka akan berpengaruh kepada kehidupan
manusia itu sendiri.
Marguru Na Bonar
menurut pemahaman penulis berarti, menghormati nilai-nilai universal.
Nilai yang dapat diterima semua orang, karena semua makhluk menginginkan
kebaikan yang sama pula. Misalnya, hal yang tidak diingini banyak
makhluk; meninggikan kelompok sendiri dan menindas atau menekan kelompok
lain, ini namanya egois. Egoisme bisa berlaku universal namun bukannilai universal. Melakukan kebaikan hanya bagi kelompok sendiri dan merendahkan kelompok orang lain, ini juga egois.
Marguru Na Bonar berarti melampaui keegoisan. Na Bonar
– yang tepat/universal – itu untuk semua mahkluk , perlu intelegensia
di sini. Tidak bisa ‘kebenaran’ itu diterjemahkan untuk diri sendiri
saja, ini namanya egois.
Marguru Na Bonar
bermakna melampaui keegoisan, memuliakan manusia dan menegakkan
kebenaran universal; sifatnya mempersatukan, meninggikan, memuliakan,
mengutuhkan, mendorong, memperbaiki, mengobati, memperbaharui sehingga
manusia memperoleh kebahagiaan – memuliakan manusia dan kemanusiaan.
Sehingga Marguru Na Bonar berarti mengaktifkan satu ‘fakultas’ di dalam diri manusia yang memampukan manusia memiliki ‘ketepatan berpikir, ketepatan berbicara, ketepatan bekerja, ketepatan melakukan hubungan sosial’. Artinya lagi, bila cara berpikir kita selalu mengacau, salah, egois maka belum Marguru Na Bonar. Bila berbicara selalu sembrono, selalu menyakiti orang lain, tidak bijak, berarti belum Marguru Na Bonar.
Bila bekerja selalu merugikan orang lain, bekerja hanya untuk kepentingan diri saja, maka berarti belum Marguru Na Bonar.
Bila kita memiliki hubungan sosial, pergaulan dengan orang-orang yang
cepat atau lambat dapat menggerogoti nurani, melemahkan pikiran sehat,
maka berarti belum Marguru Na Bonar. Belum.
Oh… berarti jika hanya berpengetahuan akan ‘kebenaran’ saja – teori, maka kita belum Marguru Na Bonar? Berguru yang tepat? Ya. Jawabannya, ya.
Nanti pada penjelasan berikut akan kita dapati kenapa. Kenapa Marguru Na Bonar ini sebagai langkah awal menuju kebahagiaan? Bagaimana mendapatkan makna tersirat dalam PituturLuhur: Marguru Na Bonar ini? Bagaimana?
Di sinilah kuncinya. Hukuman dan larangan tidak selalu efektif dalam
mendidik manusia. Manusia memiliki kecerdasan yang mesti diolah terlebih
dahulu.
Pada masa lampau, struktur huta (kampung/desa) tradisional senantiasa memiliki seorang Guru – Tetua/partuha.
Setiap huta memilikinya. Pada unit terkecil seperti sebuah ‘huta
berbenteng’ pada masa lampau sistem kekerabatan dalam suatu huta selalu
memiliki seorang Guru yang diperankan “Tondong” – keluarga pihak pemberi istri yang berfungsi, bertugas sebagai tempat bertanya, penasehat. Dari berbagai huta, jejaring huta secara bertingkat pun memiliki seorang guru, pembimbing.
Jadi pada masa lampau, seorang yang memiliki peran sebagai “Tondong”
di sebuah huta berbenteng, pasti memiliki Pedoman Prilaku sebagai
Tondong. Proses belajar dan mengajar itu merupakan satu paket. Artinya
si Tondong pun memiliki pedoman, kitab, guru yang mesti di pahaminya
sehingga perannya sebagai Tondong – Guru
– dalam huta itu bisa berjalan dengan baik. Sehingga huta itu beroleh
kemakmuran, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Fungsi Tondong pada
struktur masyarakat pada masa lampau adalah berperan sebagai Guru Huta –
Guru Kampung. Naibata na taridah – Tuhan yang mewujud, si pembimbing.
Marguru Na Bonar berarti, ada proses “pemberdayaan diri”
(makna kekinian) agar potensi manusia itu bisa dimaksimalkan lewat
proses berguru, magang, pedoman prilaku yang ditetapkan seorang Guru,
lewat tradisi dll..
Tujuannya untuk memanusiakan manusia itu sendiri, sehingga ada
kesadaran universal – harmoni, di dalam dirinya. Kesadaran itu akan
memungkinkannya untuk terhubung dengan entitas kehidupan yang lain.
Kesadaran ini pula yang akan membuat manusia menjadi lebih bijak,
sehingga kita bisa saling asah, asuh dan asih.
2. DIDIHIL (Maruhur Na Bonar)
Maruhur Na Bonar, penulis maknai sebagai kemampuan untuk ‘Berpikir dengan Tepat’. Cara pandang yang tepat.
Kenapa penulis terjemahkan demikian? Karena kata ‘maruhur’ di sini
bukan sekedar merenung, berpikir sembarang atau spontan semata. Maruhur Na Bonar berarti Berpikir Tepat. Berarti
ada kecerdasan yang lebih tinggi telah bekerja. Bukan karena
intelektualitas semata – pengetahuan semata. Tetapi karena
intelengensianya telah bekerja – memiliki pengalaman hidup yang membuat
kita lebih bijak dan bijaksana. Jadi tidak sekedar berpengetahuan saja.
Namun hakekat kebenaran itu telah menjadi bagian dari dirinya. Hasil
pengalaman hidupnya. Tidak munafik.
Makna Maruhur Na Bonar berarti memiliki kestabilan emosi (mental emosional) yang telah matang, telah terbangun dengan baik. Maruhur Na Bonar
berarti telah memiliki intelegensia seperti yang telah kita jelaskan di
atas, memiliki pengalaman hidup dalam menghidupi kebenaran universal.
Ada pengalaman pahit, susah, trauma dan lain-lain, namun ada pula
pengalaman suka cita. Dua pengalaman; baik dan buruk, keduanya diterima
sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa ditolak salah satunya. Baik dan
buruk diterima dengan lapang dada. Intelegensia lah yang membuat manusia
mampu menerima dua kenyataan hidup ini.
Maruhur Na Bonar
berarti memiliki cinta, memiliki kepedulian, memiliki semangat untuk
berbagi, semangat melayani, semangat kebersamaan. Jika tidak, hanya akan
sekedar memiliki otak yang tajam saja, namun tidak memiliki nurani.
Hanya setelah memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan lah maka kita bisa
berpikir dengan tepat.
Maruhur Na Bonar
lewat bimbingan seorang Guru yang mumpuni (tidak asbun saja) karena
hidupnya telah menjadi teladan, kitab yang hidup. Inilah kualitas
seorang Guru – Partuha, masa lampau. Kemampuan Marhur Na Bonar hanya bisa terjadi bila telah bertemu dengan seorang Guru Na Bonar – Guru yang Tercerahkan, Parhabonaron, Na Bonar.
3. DANGSINA (Marhata Na Bonar)
Marhata Na Bonar – Berbicara Dengan Tepat. Ketika berbicara, kita tidak mengabaikan etika, maka yang terjadi adalah rentetan masalah – menjadi pembuat masalah. Marhata Na Bonar – berbicara dengan tepat – hanya bisa terjadi jika kita sudah Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar. Ucapan adalah ekspresi paruhuran na bonar – budhi, ekspresi intelektualitas yang tepat dan intelegensia.
Tandanya… ketika kita hendak berbicara, nurani kita langsung
bekerja, intelegensia kita langsung menuntun. Ini ciri orang yang sudah Marguru Na Bonar – Berguru yang tepat, Maruhur Na Bonar – Berpikir dengan tepat.
Jika masih berbicara mengikuti emosi saja, tanpa pertimbangan, berarti belum Marhata NaBonar.
Perkataan adalah ‘buah’ dari intelektualitas dan intelegensia kita.
Banyak orang yang tidak memiliki intelektualitas (berpengetahuan seperti
sarjana) namun memiliki sopan santun dan kebijaksanaan. Dengan
pengetahuan yang terbatas dan sederhana pun bisa menjadi parhata na bonar – bertutur
kata dengan santun dan tepat. Bahwa intelegensia itu tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tinggi. Sebab, ada
kecenderungan berpendidikan yang tinggi akan memiliki ‘ego’ yang lebih
halus. Malah lebih berbahaya.
Perkataan adalah buah atau ekspresi
yang ada di dalam diri. Meskipun manusia bisa memanipulasi perkataannya
seolah ia sudah berkata yang benar namun ia bisa dinilai dari caranya
bertindak dan bergaul – bahasa tubuh juga tidak bisa berbohong. Jelas, kebohongan, kepalsuan tidak bisa ditutupi untuk selamanya.
4. TUTUDUH (Marhorja Na Bonar)
Marhorja Na Bonar – Bekerja/bertindak Dengan Tepat. Sekali
lagi, ucapan dan tindakan adalah ekspresi ‘kesadaran’ kita. Apa yang
ada di dalam diri itulah yang akan kita ekspresikan ke luar, apakah
lewat ucapan atau tindakan.
Bukti bahwa kita telah marguru na bonar – berguru yang tepat, maruhur na bonar – berpikir dengan tepat, marhata na bonar – berbicara dengan tepat – adalah kita akan marhorja na bonar – bertindak/bekerja dengan tepat.
Sudah bisa memilah mana tindakan yang tepat dan mana yang tidak. Mana
yang baik dan mana yang buruk. Ketepatan di sini berarti berguna bagi
diri sendiri dan orang lain, lingkungan dan semua mahkluk.
Tindakan yang tepat
berarti mengamalkan etika, aturan, pedoman prilaku, hukum yang berlaku
universal, kejujuran, keberanian dan lain-lain. Nyatanya pada banyak
situasi kita membutuhkan keberanian dan kekuatan mental untuk melakukan
suatu kebenaran universal meski akan dijauhi oleh orang-orang (kumpulan
orang) yang egois.
Saat ini kita membutuhkan kekuatan hasil berguru pada kebenaran hakiki, hasil paruhuran na bonar – pemahaman
yang tepat, perkataan yang tepat, untuk bisa melakukan tindakan yang
tepat. Ya, sebuah tindakan yang tepat membutuhkan keberanian,
integritas, komitmen yang sudah terbentuk dalam diri.
Masyarakat yang dipenuhi manusia yang tanggung dalam proses pembelajaran, proses marguru na bonar hanya
akan menciptakan masyarakat yang sakit dan munafik saja. Hal ini bisa
terlihat dalam kondisi sosial masyarakat itu sendiri. Yang terbentuk
hanyalah sebuah masyarakat yang berisik, penuh konflik laten, munafik
dan kebohongan massal. Ibarat badan tanpa jiwa. Ini diakibatkan proses
pedoman pertama hingga ke empat tidak terjadi secara baik dan tepat.
Sehingga kita menyebutnya masyarakat yang sakit! Bad Company. Pergaulan yang buruk.
5. TUTUALANG (Marsaor Na Bonar)
Marsaor Na Bonar – Bergaul Dengan Tepat. Maka ada anjuran Tetua – Partuha,
bergaul lah dengan orang bijaksana, bergaul lah dengan orang yang
tepat. Jangan asal bergaul jika tak ingin celaka. Kata kunci: Pergaulan yang tepat!
Seberapa kuatkah kita
mempertahankan kewarasan diri bila lingkungan kita dipenuhi oleh para
pecandu narkoba, misalnya? Seberapa kuat dan lamakah kita bisa tetap
waras dan sadar bila berada di dalam kumpulan orang yang senang
berbohong, munafik, egois, dan fanatik dengan cara pandang mereka saja?
Jawabannya, pasti tidak lama! Karena cepat atau lambat lingkungan akan
memengaruhi kita. Maka cepat-cepat lah memilih sebuah lingkungan kecil
yang bisa menjadi benteng terhadap pengaruh lingkungan yang tidak
menyehatkan itu.
Maka pilihlah guru yang tepat. Guru di sini kita maknai apa pun yang
bisa menginspirasi kita sehingga memiliki kekuatan untuk mempertahankan
kewarasan diri.
Marsaor Na Bonar – bergaul dengan tepat, kita tandai sebagai lingkungan yang tepat. Lingkungan yang menjadi support grup kita, agar kita saling asah (saling memperkaya), asuh (saling mengajari) dan asih (saling mengasihi) demi
memuliakan manusia itu sendiri. Bila ketiga hal ini – asah, asuh dan
asih – tidak ada dalam kelompok kita maka penyakit lama manusia akan
segera tumbuh subur berupa: arogansi, kepicikan, rasisme, konflik, kemunafikan dll..
Dalam bahasa Buddha Gotama, ini namanya Sangha. Kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama untuk Marguru Na Bonar, Maruhur Na Bonar, Marhata Na Bonar, Marhorja Na Bonar pakon Marsaor Na Bonar, on ma goranni – inilah namanya – Pitutur Luhur Habonaron Do Bona – Pitutur Luhur Kebenaran Hakiki dari Suku Simalungun.
Saya tidak pernah ragu, bahwa masyarakat pendahulu Suku Simalungun
telah mencapai keadaban dan peradaban yang tinggi. Hal ini bisa dilacak
dari banyaknya pitutur luhur yang tersimpan dalam berbagai tradisi lisan
dan tulisan yang masih ada.
Demikianlah penafsiran saya akan topik kita; Simalungun dan Pitutur Luhur Habonaron Na Gabe Ruhut Ni Goluh – Pitutur Luhur Akan Kebenaran Hakiki Yang Menjadi Tuntunan Prilaku, Pedoman Hidup.
Menurut saya, 5 Pedoman Prilaku, Tuntunan Hidup ini lah yang
merupakan penjabaran sejati Falsafah Habonaron Do Bona yang sering kita
dengung-dengungkan itu.
HABONARON DO BONA: Oppu-Oppu, Didihil, Dangsina, Tutuduh, Tutualang.
Semoga bermanfaat. Diatetupa ma – Terimakasih.
(David Ezsar Purba, S.Sos., aktif sebagai voluntir di kegiatan Yayasan Anand Ashram dan salah satu Penggagas Rayantara Vision)
(Sumber: http://www.davidpurba.com)
0 Comments