oleh David E. P.
KITA
MEMILIKI INTERAKSI YANG TIDAK BISA DIHINDARI dengan segenap elemen
pembentuk kehidupan beserta seluruh makhluk yang hidup di bumi. Dalam
kata ‘interaksi’ tercermin hubungan yang saling memengaruhi,
timbal-balik, diakui atau tidak pasti terjadi. Intinya, hita halak Simalungun – kita orang Simalungun – tidak seorang pun yang bisa terbebas dari hukum saling memengaruhi dan membutuhkan ini selama hidup di atas Pertibi Simalungun – Pertiwi Simalungun.
Kalimat, “Aku adalah orang yang berhutang kepada Simalungun – Siparutang do ahu bani Simalungun”,
sering kita dengar. Namun pernahkah kita bertanya dari mana konsep atau
tradisi itu berasal? Sering pula kita bertanya pada diri sendiri,
kenapa, bagaimana bisa kita memiliki hutang atau tanggungjawab tersebut?
Sungkun-sungkun
– pertanyaan – itu pula yang mengantarkan saya bertemu dengan
penjelasan, jawaban dari para bijak, kenapa kita mesti berhutang pada bumi, pada sesama mahkluk di bumi. Dan bahkan terhadap hal-hal di luar dunia materi pun kita memiliki keterhubungan dan pengaruh timbal-balik.
Menarik apa yang dibahas dalam buku ini; Life
Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan
Cara Mengatasinya, Gramedia Pustaka Utama, hal 115 – 13, karya Spritualis, tokoh Pluralisme Lintas Agama, Nasionalis, Anand Krishna, penulis mendapati adanya lima (5) hutang alami yang kita warisi sejak awal – menurut tradisi Nusantara.
Sejak lama, sejak masa yang jauh sekali, para Oppung-Mpu, Ompu-Rishi – ia yang telah menyaksikan, bertatap muka dengan Sang Keberadaan, Ia Hyang Tunggal itu, sebenarnya mereka telah mengatakan, menyimpulkan bahwa setiap manusia sejatinya selalu memiliki lima hutang
yang mesti dibayar. Dari ke-5 hutang ini pula maka lahir-lah beragam
tradisi dan kearifan sebagai cermin kesadaran dan budaya suatu suku
bangsa – demikian juga berbagai tradisi yang ada di Pertibi Simalungun.
1. DEWA RINA
YAITU HUTANG TERHADAP DEWA. Makna ‘dewa’ di sini adalah kemuliaaan, kesadaran, pencerahan. Sementara itu makna kata “deva” itu berasal dari kata “divya” (sansekerta) yang berarti “yang mulia, yang terang, yang berasal dari cahaya atau mereka yang memiliki cahaya”.
Jadi, sesungguhnya hita – kita – berasal dari “sumber cahaya” itu sendiri. Sumber cahaya yang merupakan ‘awal mula semesta – Habonaron Do Bona’ yang terdiri dari materi dan non materi atau di antaranya, serta mahkluk-mahkluk yang mendiaminya. Habonaron – Dharma/Kebenaran adalah Bona – akar/sumber cahaya itu sendiri. Sumber cahaya – Savitra (sansekerta). Jadi kita manusia merupakan ‘anak-anak cahaya’. Semuanya! Janma (sankrit) berarti jiwa yang terlahir dalam balutan tubuh manusia. Dalam bahasa Simalungun disebut jolma.
Elemen alam seperti; tanah, air, angin, api dan juga ruang juga disebut dewa – debata/dewata. Kelima elemen alam inilah yang membentuk tubuh kita, manusia. Artinya, sifat-sifat elemen alam itu pun ada dalam diri kita yang semestinya tercermin dalam pikiran, ucapan dan perbuatan kita.
Misalnya,
api memiliki sifat membakar. Air memiliki sifat membersihkan,
melembabkan, membasahi. Angin begitu ringan, dapat menyusup kemana-mana,
menyejukkan. Tanah memiliki sifat penopang kehidupan, dari dalam
dirinya berbagai materi berdiam, darinya tetumbuhan bisa hidup. Yang
terakhir adalah elemen Ruang. Ruang bermakna kekosongan, tempat kita
bisa berada, mewujud – space.
Menyadari
kelima elemen ini ada dalam diri, maka semestinya hal ini membuat kita
mampu membakar semua keegoisan di dalam diri, sampah-sampah di dalam
diri. Marilah belajar membersihkan diri, pikiran dan ucapan. Mari
belajar untuk memberi, menolong sesama, tidak menjadi beban bagi siapa
pun bahkan terhadap alam. Jadilah ruang, artinya suka dan duka harus
diterima, tidak terikat, atau tercemar. Semua akan berlalu.
Menyadari
keberadaan kelima elemen ini, berarti menyakiti alam, lingkungan,
tumbuhan dan hewan (secara tidak sadar dan tidak bertanggung jawab) juga
bermakna telah menyakiti diri sendiri.
Membabat habis hutan-hutan di Simalungun tanpa rasa tanggungjawab
sosial, moril dan lingkungan berarti kita telah mencemari tanah lalu
air, tumbuhan, hewan (secara bersamaan) dan pada akhirnya hita halak Simalungun – kita suku Simalungun khususnya – akan terkena dampaknya.
Mengeksploitasi alam tanpa rasa tanggungjawab tentu akan mendatangkan
malapetaka. Inilah yang disebut hubungan sebab-akibat itu – sebuah
matematika alam yang sederhana. Nenek moyang kita telah menyadari
kebenaran universal ini, lalu dari Bangsa Barat kita belajar satu kata,
“Eco-system” yang bermaksa sama. Hmm…haruskah kita suku Simalungun
melupakan kearifan leluhur yang jauh-jauh hari telah menerapkannya? Menghormati mata air, hutan, sungai, flora dan fauna…
Hutang terhadap Debata/Dewa berarti juga kita harus belajar menyadari ‘kemuliaan’
yang ada dalam diri – kemanusiaan yang ada dalam diri, sifat-sifat
cahaya di dalam diri. Apakah perbuatan kita hanya berupa kesenangan diri
atau demi kemuliaan diri atau demi umat manusia? Kita sedang berada di
kesadaran mana… Kita harus mengurusi kesehatan diri, kebutuhan keluarga,
kepentingan suku, kelompok, dan negara kita dengan tepat dan bersamaan.
Inilah hutang yang terutama. Menyadari hutang ini dan membayarnya
berarti kita telah memuliakan Ia sebagai Sumber Cahaya, Habonaron Do
Bona – Dharma, Kebenaran Universal. Sebab kita adalah anak-anak cahaya.
Mengingkarinya berarti kita mengingkari kemuliaan diri sebagai manusia
yang memiliki jiwa yang mulia – Habonaron Do Bona.
2. PITRA RINA
HUTANG
TERHADAP LELUHUR ATAU HUTANG TERHADAP KELUARGA. Keluarga adalah
kontiniutas dari leluhur dan leluhur adalah keluarga. Keberadaan kita
tidak bisa dipisahkan dari leluhur kita, apa pun keyakinan dan
kepercayaan mereka. Hita halak Simalungun mewarisi memori, sifat-sifat
dan DNA dari leluhur – dari orangtua kita. Orangtua kita mewarisi dari
moyangnya.
Menjalankan,
melestarikan kearifan lokal, ajaran-ajaran leluhur yang universal
merupakan hutang kita yang kedua. Etah – marilah – menghormati orangtua,
budaya, tradisi, huta adat kita dll., ini adalah ajaran leluhur kita.
Menjaganya, merawatnya untuk kebutuhan hita halak Simalungun sebagai sipukkah huta
– keturunan leluhur yang pertama sekali membuka sebuah desa di tanah
Simalungun – merupakan hutang dan kewajiban kita yang kedua, demi
kesejahteraan bersama. Bukan untuk marga Simalungun tertentu saja atau
hanya untuk pendatang atau sekelompok orang saja. Bukan. Tetapi untuk
semua manusia yang hidup di atas pertibi Simalungun yang heterogen.
Melayani
keluarga, marga, suku dan negara mesti dilakukan dengan semangat
menyembah, bergotong-royong – inilah esensi kebudayaan kita.
Hidup
untuk saling asah, asuh, dan asih. Bentuk kehidupan ini hanya bisa
terjadi bila hutang yang pertama kita jalankan dengan baik. Yang kuat
menopang yang lemah, yang bijak mendidik yang bodoh. Inilah asas sistem
bermasyarakat kita halak Simalungun sebagai Sipukkah Huta. Oleh karena
itu kalaupun kita mempraktekkan demokrasi (yang sifatnya ‘netral’ itu),
maka kita harus mengikuti prinsip yang kita miliki sesuai dengan sila
ke-4 Pancasila. Di situlah letak ciri demokrasi kita; “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan”.
Artinya, kita tidak cocok dengan pandangan; yang kuatlah yang menang. Yang mayoritaslah yang menentukan. Bukan! Semua untuk semua.
Bukan pula, sama rata- sama rasa. Bukan!
Tetapi bentuk masyarakat kita berdasarkan budaya pencerahan – ajaran
spiritual yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Membayar hutang kita haruslah dengan semangat melayani, tanpa pamrih.
Agar kita tidak kecewa. Silahkan mengirimkan getaran kasih kepada
leluhur marga masing-masing, asal kita tahu saja, mereka pun di alam
sana masih membutuhkan kiriman energi kasih manusia yang hidup. Tak
perlu berlebihan dalam membuat hubungan dengan mereka atau memohon dan
meminta sesuatu yang akan membebani perjalanan leluhur dan kita. Meski
pun para leluhur akan dengan senang hati membantu keturunannya
menyangkut hubungan alam dan keturunannya. Semua hubungan ini mestinya
didasarkan sikap tanpa pamrih.
3. RISHI RINA
HUTANG
TERHADAP PARA BIJAK, atau kepada kebijaksanaan itu sendiri. Cara kita
membayar hutang, bekerja haruslah bijak. Cara menjalani hidup haruslah
bijak. Lakukan yang kamu inginkan, seperti orang lain inginkan pula. Pelunasan hutang yang satu ini menuntut kedewasaan setiap masa/waktu.
Hidup
di pertibi Simalungun dalam memenuhi kebutuhan diri atau keluarga
haruslah dengan bijak. Jangan mentang-mentang kita keturunan sipukkah huta
lalu mengorbankan hak orang lain atau malah sebaliknya. Sudah tahu
halak Simalungun sebagai sipukkah huta namun membiarkan dirinya tidak
berdaya di atas warisan nenek moyangnya. Ini pun tidak bijak. Kita tidak
bisa melupakan budaya serta tradisi kita juga. Keturunan sipukkah huta – suku Simalungun – yang berdomisili
di pertibi Simalungun mesti tidak mengabaikan nilai-nilai moral dan
kepantasan seperti yang sduah diajarkan leluhurnya yang bijak. Seperti
sikap korupsi dan mencuri yang bersifat manipulative – halak Simalungun
mesti menghindari ini.
Mengelola
kekayaan lingkungan dan kekayaan alam bukan untuk kepentingan suku
Simalungun saja, ini tidak bijak. Atau membiarkan dirinya tidak berdaya
di atas pertibi Simalungun ini juga tidak tepat. Mengabdi pada
masyarakat dan negara harus dengan cara bijak dan penuh kesadaran.
Budaya, hukum dan politik adalah alat untuk melayani masyarakat luas.
4. NARA RINA
HUTANG
TERHADAP SESAMA MANUSIA. Setiap titik perilaku yang kita lempar akan
berdampak pada kemanusiaan. Sebab manusia itu disatukan sifat
kemanusian, karena manusia diikat oleh satu energi yang sama. Kita hidup
dalam kolam energi yang sama – cahaya yang sama. Setiap prilaku kita
tentu akan berdampak bagi satu sama lain.
Melayani
sesama berarti tidak perlu dikait-kaitkan dengan sebuah marga, asal
kampong, suku dan agama. Ya, layanilah manusia seperti sebuah keluarga
dengan bijak. Budaya Simalungun itu begitu terbuka, apresiatif terhadap
keberagaman. Tidak ada istilah, satu kelompok manusia di atas yang
lainnya. Tidak! Semua manusia adalah sama, berasal dari sumber cahaya
yang sama.
5. BHUTA RINA
HUTANG
TERHADAP LINGKUNGAN. Bangsa Barat mengatakan hubungan ini sebagai
ekosistem. Keselarasan bermakna keharmonisan dengan alam. Tidak ada
manusia yang bisa hidup sendiri. Jika hutang pertama, Deva Rina
menyadarkan kita akan sifat 5 elemen dan kemuliaan yang ada di dalam
diri, maka dengan Bhuta Rina (hutang terhadap lingkungan) adalah sesuatu
yang ada di luar diri – tempat kita hidup, yang menopang kehidupan dan
kebutuhan hidup kita.
Tradisi
kita menentukan usia pohon yang bisa diambil, mengatur tanah ulayat
demi kebahagiaan bersama. Artinya lingkungan atau alam itu sama
derajatnya dengan keberadaan manusia itu sendiri, tidak dapat
dipisahkan. Alam atau lingkungan itu, flora dan faunanya adalah mahkluk
organis yang setara derajatnya dengan manusia. Flora dan fauna telah
menopang keberlangsungan hidup manusia yang ada di atas pertibi
Simalungun, maka sebagai rasa syukur hita halak Simalungun mesti
memelihara, menghormati tradisi ucapan syukur yang lahir dalam budaya
kita. Budaya Simalungun banyak sekali melahirkan tradisi yang
menggambarkan ucapan syukur terhadap alam.
Inilah penjelasan lima hutang yang kita miliki sebagai halak Simalungun atau manusia pada umumnya. Jadi
hubungan halak Simalungun dengan pertibi dan mahkluk lainnya merupakan
hubungan holistik – menyeluruh. Tidak horizontal dan vertikal saja!
Demikianlah
sekilas perjalanan kita untuk mengingat bahwa dari khasanah kita,
leluhur kita telah menemukan 5 hutang yang harus dibayar agar kita dapat
bahagia, bukan hanya sekedar kesenangan semata saja – saatnya memeriksa
setiap tradisi halak Simalungun. Oleh
karena itu pula para leluhur kita telah merancang berbagai tradisi
sebagai cara untuk membayar kelima hutang ini. Maka lahirlah
ritual-ritual sederhana sebagai pengingat agar setiap anak manusia
berprilaku sesuai dengan kemuliaan yang ada dalam dirinya.
Leluhur
Simalungun telah mencipta berbagai tradisi dan ritual demi keharmonisan
hidup manusia, lalu lahirlah tradisi ucapan syukur saat panen, ucapan
syukur di mata air, laut, gunung, pembuatan tugu leluhur, potong gigi,
penggantian lesung, adat perkawinan, hubungan kekerabatan, makan bersama
di suatu huta-kampung, ritual untuk bibit tanaman, ritual atas penuhnya
lumbung-lumbung padi, tradisi pemilihan pohon-pohon yang bisa ditebang
agar tidak sembarangan ditebang dll..
Intinya adalah bahwa ungkapan pembayaran hutang-hutang tersebut merupakan kesadaran diri sebagai halak Simalungun; sebagai ungkapan terimakasih, sikap berkarya tanpa pamrih, gotong royong
– ini pula lah ciri sebuah masyarakat yang tercerahkan. Kesemua
gambaran di atas sudah tercermin di dalam penjelasan Pancasila. Halani ai do – karena itulah – Aku orang yang berhutang kepada Simalungun. Siparutang do ahu bani Simalungun.
Diatetupa ma banta – terimakasih buat kita semua. (Sumber: http://www.davidpurba.com)
0 Comments