Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak (kedua dari kiri). |
Penulis : Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
Penggagas KoRaSSS (Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera)
Sahna br Damanik bersama Oliver Narado Saragih anaknya menikmati Becak Siantar. |
Siantar, hetanews.com- Judul tulisan ini hampir tak berbeda dari nama
angkutan kota (angkot) yang ada di daerah ini. Tapi, judul itu
sekaligus juga doa masyarakat Siantar agar kota ini jaya dan semakin
jaya ke depan. Persoalannya, dalam bidang-bidang apakah Siantar bisa
jaya atau unggul dibandingkan dengan daerah lain?
Pada tulisan sebelumnya, mengacu pada sektor ekonomi yang
berkontribusi paling besar dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto), ternyata ada tiga sektor besar yakni industri besar dan
sedang (kontribusi 2010 sebesar 38,18 persen), perdagangan, hotel, dan
restoran (22,77 persen), serta selanjutnya jasa.
Kita sudah mencatat,
kondisi spasial Siantar kurang memungkinkan dikembangkannya sektor
industri lebih masif, melainkan mungkin lebih baik dialihkan ke arah
sektor pariwisata (atau paling tidak, penunjang pariwisata) dan –sudah
pasti– sektor pendidikan.
Siantar, kota pendidikan
Ada argumentasi umum dan historis mengapa Siantar perlu dikembalikan sebagai kota pendidikan. Gunnar Myrdal
(peraih nobel Ekonomi tahun 1974) pernah menyatakan, migrasi vertikal
tingkat sosial masyarakat paling cepat dilakukan melalui pendidikan.
Sinyalemen Myrdal ini sebenarnya sudah sangat merasuk dalam sanubari
orang Siantar.
Orangtua-orangtua rela makan ikan asin asal pendidikan anaknya baik dan tinggi. Tidaklah begitu saja ungkapan “anakkonhi do hamoraon di au”
muncul. Fokus keluarga adalah pada pendidikan anak-anaknya. Coba
kunjungi rumah-rumah keluarga di daerah ini, periksa foto-foto yang ada
di ruang tamunya.
Hampir dapat dipastikan, foto-foto yang dipajang tak
akan meleset dari foto-foto wisuda anak-anaknya. Cerita ibu-ibu, tentu
selain gosip ala infotainment, adalah soal sekolah anaknya. Cerita tentang Unair, UB, UGM, Undip, ITB, Unpad, IPB, UI, STAN, USU, dll. hampir selalu menjadi trending topic dalam pembicaran mereka.
Bahkan ada anekdot menyangkut
universitas-universitas/institut-institut ternama itu. Seorang ibu
bertanya kepada ibu satunya lagi, di perguruan tinggi mana saja
anak-anaknya saat ini. Sebelumnya, ibu yang bertanya tadi dengan bangga
memamerkan secara rinci anaknya keberapa di perguruan tinggi mana,
jurusan apa, dan semester berapa.
Tak mau kalah, si ibu yang ditanya
menyatakan bahwa anaknya yang pertama di UGM, kedua di Undip, ketiga di
IPB, keempat di UI, dan kelima –perempuan satu-satunya– di USU. Ketika
mulai ditanya lagi anak keberapa, jurusan apa, dan semester berapa, si
ibu yang ditanya tadi jadi gelagapan.
Terpaksa dia mengakui dengan jujur
bahwa anak-anaknya bukan kuliah, melainkan jualan air mineral botolan
dan snack (makanan ringan) di kampus-kampus tersebut.
Anekdot lain, ada beberapa lulusan SLTA dari Siantar yang dikirim
orangtuanya melanjutkan pendidikan ke Bandung dengan fasilitas lengkap.
Sebuah rumah di Bandung sengaja dikontrak bersama-sama dengan teman.
Saking lengkapnya, bahkan ada pula orangtua yang menyediakan kendaraan
roda empat buat anaknya. Tapi karena kebetulan kelompok ini daya
juangnya kurang, maka ada di antaranya yang drop-out dan malas
kuliah.
Tapi demi menyenangkan orangtua dan tetangga di kampung, ketika
ditanya kampus mereka di mana, mereka jawab ITB. Rupanya bukan kuliah,
melainkan Icalan Teh Botol alias jualan teh botol. ITB juga ‘kan singkatannya?
Karakter berdaya juang tinggi itu pun ternyata sudah mulai pudar.
Padahal Siantar pernah menghasilkan tokoh-tokoh nasional dan
internasional seperti Adam Malik (mantan wapres), Jenderal TB Simatupang
(tokoh militer dan tokoh PGI), Lo Lieh (bintang film laga Hongkong era
70-an), Sudirman (tokoh bulutangkis, sehingga ada Piala Sudirman),
Syamsul Anwar (juara tinju OPBF), Arifin Siregar (mantan Gubernur BI),
Cosmas Batubara, Bungaran Saragih, TB Silalahi, Aberson Marle Sihaloho,
Anton Sihombing, Edy Ramli Sitanggang, Azis Siagian (gitaris band
Boomerang), dan banyak lagi, dengan fasilitas yang minim.
Melejitnya orang-orang tersebut (sering dijuluki atau mendapuk diri
sebagai “Siantar man”) didorong oleh karakter yang terbuka, lugas, ngotot,
ingin selalu nomor satu, dan berdaya juang tinggi.
Rupanya daya juang
tinggi itu yang perlu terus dipelihara dan digelorakan. Gabungan aspek
karakter “Siantar man” dan pendidikan yang baik/tinggi tentunya
merupakan modal besar untuk menciptakan sumber daya manusia
unggul/kompetitif. Itulah sebenarnya yang khas Siantar, sehingga
seharusnya menjadi perhatian serius Walikota Siantar.
Sekolah dan universitas unggulan
Mungkin tidak harus menjadi universitas negeri supaya pendidikan
tinggi di daerah ini bisa maju. Tren yang ada justru perlu adanya
kekhususan program studi (prodi) sesuai kebutuhan pasar dan kekhasan
daerah. Binus (Universitas Bina Nusantara), UMN (universitas Multimedia
Nusantara), Universitas Podomoro, dll. menerapkan kekhususan itu. Binus
fokus dalam bidang TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), UMN fokus
dalam bidang multimedia, dan Universitas Podomoro fokus dalam bidang entrepreneurship (kewirausahaan).
Universitas HKBP Nommensen (UHN) dan Universitas Simalungun (USI)
melalui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)-nya, masing-masing
bisa lebih fokus dalam penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang
andal.
Mungkin perlu dicari formula sehingga bisa mengungguli Unimed,
UNJ, atau UPI Bandung. Apa yang baru-baru ini dilakukan UHN yakni
penandatanganan piagam saling pengertian (memorandum of understanding)
dengan Chung Yuan Christian University (CYCU) Taiwan dalam rangka
beasiswa lulusan UHN ke universitas tersebut adalah sebuah terobosan
jitu.
Ketika Siantar dikepung perkebunan dan daerah pertanian, Fakultas
Pertanian USI seharusnya bisa mengambil peran besar dalam ilmu dan
teknologi perkebunan kelapa sawit, karet, teh, kopi, kakao, jeruk, padi,
cabai, kentang, dan tanaman hortikultura lainnya.
Jangan seperti yang
terjadi selama ini, USI tidak dapat memasok lulusan andal untuk bekerja
di PT Unilever Tbk yang sudah berinvestasi triliunan rupiah di KEK
(Kawasan Ekonomi Khusus) Sei Mangkei. Ada rantai yang putus antara arah
pengembangan universitas (USI) dengan dunia industri atau sektor riil.
Ternyata tidak link and match.
Ada PKPS (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit) Marihat, tapi peran Fakultas Pertanian USI di sana hampir
tidak ada. Ada penangkaran benih kentang Granola di Kecamatan Raya dan
Kecamatan Purba yang dikelola LSM atau penangkar individual, tapi USI
tidak proaktif menyambutnya.
Di Siantar ini ada SMA yang banyak lulusannya dapat menembus PTN-PTN
ternama, contoh: SMA Swasta RK Budi Mulia, SMAN 2, dll. Tadinya SMAN 4
digadang-gadang jadi SMAN unggulan, tapi Pemko Siantar tampaknya
setengah hati mengupayakannya.
Dari kenyataan historis bahwa Siantar
pernah menjadi kota pendidikan, karakter masyarakatnya sebagaimana
disebutkan terdahulu, dan potensi-potensi yang belum dibongkar dan
dikembangkan masih banyak, sebenarnya predikat kota pendidikan dapat
diraih kembali.
Meski PT tidak dibawah kendali langsung Dinas Pendidikan, tapi Pemko
Siantar dapat proaktif memfasilitasi pengembangan PT-PT yang ada di
Siantar.
Yang dibutuhkan adalah political will yang kuat dari Pemko dan kemudian dilanjutkan dengan political actions
yang jelas dan terukur. “Andai aku Walikota Siantar,” kata Penulis,
“aku akan serius sekali mengembalikan Siantar sebagai kota pendidikan.”
Dengan begitu, Siantar yang jaya dapat diraih. <Bersambung>
Keluarga Sipoldas dan Jambi Saat Berkunjung ke Kebun Binatang Siantar 2013 Lalu. FT Asenk Lee Saragih. |
Keluarga Sipoldas dan Jambi Saat Berkunjung ke Kebun Binatang Siantar 2013 Lalu. FT Asenk Lee Saragih. |
0 Comments