BERITASIMALUNGUN.COM, Raya-Banyak pihak mencurigai Komisioner KPU Simalungun telah sengaja melakukan pembiaran soal putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Amran Sinaga terbukti bersalah diputus pada 22 September 2014.
Bahkan Komisioner KPU Simalungun perlu dilakukan pemeriksaan karena tidak melakukan secara cermat verifikasi administrasi paslon wakil bupati Simalungun Amran Sinaga yang sudah divonis 4 tahun penjara tahun 2014 lalu.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Margarito
K mengatakan, KPU Simalungun tidak bisa serta merta mencoret JR
Saragih dan Amran Sinaga sebagai pasangan calon bupati-wakil bupati. Dia
menegaskan, yang patut disalahkan terkait polemik ini justru KPU
Simalungun.
Alasannya, putusan kasasi Mahkamah Agung
yang menyatakan Amran Sinaga terbukti bersalah diputus pada 22
September 2014. Artinya, tanggal itu jauh hari sebelum penetapan
pasangan calon.
Dikatakan Margarito, jika KPU melakukan
klarifikasi secara benar terkait persyaratan pasangan calon, maka vonis
terhadap Amran yang sudah berkekuatan hukum tetap itu bisa diketahui
saat pilkada masih tahapan pencalonan.
Sesuai ketentuan pasal 50 angka (5) UU
Nomor 1 Tahun 2014 tentang pilkada, partai pengusung bisa mengajukan
calon wakil bupati pengganti Amran. Sedang JR Saragih tetap sebagai
calon bupati.
“KPU yang salah, mestinya cermat melakukan
klarifikasi. Andai klarifikasi persyaratan cermat, yang bersangkutan
(Amran Sinaga, red) oleh partai pengusungnya bisa diganti. Jadi hanya
satu yang jatuh (kena kasus hukum, red), bukan dua-duanya (JR Saragih
dan Amran, red),” terang Margarito Kamis kepada JPNN kemarin(7/12).
Pasal 50 ayat (5) UU Nomor 1 Tahun 2014
berbunyi, “Dalam hal Calon Bupati dan Calon Walikota diajukan oleh
Partai Politik atau gabungan Partai Politik berhalangan tetap sampai
dengan tahap penelitian kelengkapan persyaratan, Partai Politik atau
gabungan Partai Politik diberi kesempatan untuk mengajukan Calon Bupati
dan Calon Walikota pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak
pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota
diterima.”
Bahkan, setelah ditetapkan sebagai calon
pun, partai pengusung bisa mengganti jika yang bersangkutan berhalangan
tetap. Menurut Margarito, “berhalangan tetap” ini seperti meninggal
dunia atau kena kasus hukum sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai
calon.
Ini diatur di UU Pilkada, Pasal 54 ayat
(1), “Dalam hal calon berhalangan tetap sejak penetapan calon sampai
pada saat dimulainya hari Kampanye, Partai Politik atau gabungan Partai
Politik yang calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan calon
pengganti paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak calon berhalangan
tetap.”
Karena itu, Margarito berulang kali
mengatakan, Amran yang divonis bersalah oleh MA pada September 2014 bisa
lolos tahapan pilkada hingga tiga hari jelang pemungutan suara,
merupakan keteledoran KPU.
“Keteledoran KPU ini tidak bisa dibebankan
kepada calon bupati. Tidak boleh hak politiknya dikorbankan. Calon yang
kena kasus hukum itu sejajar dengan yang meninggal dunia, masak iya
pasangannya ikut dicoret?,” cetus Margarito, yang kerap menjadi saksi
ahli dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, Margarito mengatakan, tidak
tertutup kemungkinan ada pihak yang sengaja “pura-pura tidak tahu”
adanya putusan MA pada September 2014. “Sengaja dibiarkan dulu, begitu
jelang pemungutan suara baru diungkap untuk menjegal pasangan tersebut.
Padahal tidak bisa, ini jelas kesalahan KPU karena putusan MA sudah lama
keluar, jauh hari sebelum penetapan calon,” beber Margarito.
Dia menyarankan JR Saragih untuk
secepatnya mengadukan masalah ini ke Bawaslu. “Laporkan saja ke Bawaslu
dan minta agar pilkada ditunda,” pungkas Margarito. (JPPN)
0 Comments