Info Terkini

10/recent/ticker-posts

PERSIAPAN PESTA PERNIKAHAN ADAT BATAK

Pernikahan, Taradisda Girsang (Tara), putri pasangan abang kami Jahmada Girsang dan Upik Ulina br Sinaga, menikah dengan Andreas Alfiano Nover Endof (Nover) Itu terjadi pada 30 Januari 2016 lalu. Mereka martumpol di Geraja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Salemba, dan mendapat pemberkatan pernikahan di Gereja Katolik, Pulo Mas, Jakarta. Foto St Jannerson Girsang.
BERITASIMALUNGUN.COM-Suku Batak, sama dengan suku-suku lainnya memiliki budaya "pesta", meski dalam pelaksanaannya beragam. Tidak ada suku di Indonesia ini yang tidak memiliki budaya atau kebiasaan pesta. Pesta, khususnya pernikahan adalah syukuran, suasana senang karena mendapat berkat dari Tuhan. (Baca Juga: PESTA PERNIKAHAN CAMPURAN)

Sayangnya, meski sudah melakukan pesta berkali-kali, tetap saja muncul stress kalau mengadakan pesta adat Batak. Rumit, katanya. Padahal, sebenarnya begitu sederhana.

Kalau pesta dilaksanakan dengan adat Simalungun dengan agama Kristen misalnya harus melalui proses: pajabu parsahapan, martumpol/maralop, Tonggo Raja, untuk mempersiapkan PUNCAK ACARANYA yakni: Pamasu-masuon dan Horja Adat.

Itu memang sudah SOPnya. Kalau tidak,berarti bukan adat. Mungkin perlu penyederhanaan, tetapi harus tidak kehilangan makna. Maknanya adalah: Marsihaholongan, saling peduli satu dengan yang lain, gotong royong atau saling membantu, bukan saling mempermalukan satu sama lain.

Parsahapan (keputusan-keputusan) setiap proses harus terdokumentasi, menghindari keputusan yang berulang. Pemilik pesta harus memonitornya setiap saat. Belakangan saya menyaksikan dokumentasi ini sudah semakin baik.

Satu hal yang perlu disadari, pelaksanaan tahapan itu membutuhkan tim yang terdiri dari orang-orang, biaya dan penentuan waktu. Bukan sim salabim, langsung jadi!.

Pesta adat pernikahan adalah latihan kerja sama, saling membantu diantara keluarga, teman. Kemudian menikmati hasilnya secara bersama-sama.

Pesta yang berakhir dengan suka cita menunjukkan kerukunan diantara keluarga besar dan jejaring si empunya pesta.

Pesta adat pernikahan adalah juga latihan bagi pengantin untuk menyaksikan bentuk sebuah kerja bersama, saling mengasihi diantara keluarga, saling berbagi. Bukan asal hura-hura!.

Jangan sampai anak-anak kita mendengar suara-suara saling menjelekkan atau menghakimi satu dengan yang lain diantara keluarga atau teman, menjelang atau sesudah pesta.

Jadi, pesta adalah latihan bagi semua untuk menahan emosi, amarah, serta belajar memotivasi setiap orang untuk bekerja sama, kerendahan hati, serta pengorbanan menuju kehidupan yang lebih baik. . .

Hal yang sering terjadi adalah:
1. Tuan rumah, pemilik pesta, sama sekali tidak perduli dengan aturan atau kebiasaan yang sudah berjalan, baik dalam proses dari awal hingga akhir. Sudah tidak tau, bertanya pula kepada orang yang tidak paham adat. Dalam setiap pesta, selalu ada yang sok tau, padahal tidak tau apa-apa!. Jadi perlu seorang yang "sangat berpengalaman" mengendalikan semua komentar.

2. Tuan rumahnya tidak banyak dikenal orang dan jarang menghadiri pesta. Undangan disebar 1000 yang hadir cuma kakek neneknya. Itupun tidak semua. Karena usia seorang yang menikahkan anak, sudah pasti di atas 40 tahun, seharusnya sudah punya teman sedikitnya 400 orang. Tidak wajar kalau target undangannya seharusnya terpenuhi. Tidak banyak kursi yang disediakan kosong.

3. Mengabaikan peran sanina (dongan tubu), Boru, Tondong (hula-hula). Ada orang yang hanya bertemufamilinya saat melakukan pesta. Kemudian tidak menyusun Dalihan Na Tolunya dengan baik sesuai dengan sejarah nenek moyangnya. Susunannya sering tidak permanen. Tondong berubah-ubah, sanina berubah-ubah, boru juga begitu. Adat Simalungunun mengharuskan setiap orang mengenal dengan baik Tondong, Sanina/Pariaban. Borunya. 

4. Menyusun Daftar Pengundang. Pengundang harus mengikuti dalihan na tolu. Kalau di Simalungun Suhut--orang yang melaksanakan pesta (pemilik pesta) kemudian diikuti dengan sanina/pariban, tondong, boru, serta rekan sejawat yang dimasukkan dalam unsur-unsur tadi. Penempatannya harus berurut, dan harus teratur. Masalahnya: ada yang seharusnya masuk dalam pengundang, tetapi tidak masuk. Akhirnya: suka cita berubah jadi duka cita.

5. Menyusun daftar undangan. Orang-orang yang diundang juga harus mengikuti Dalihan Natolu ditambah dengan teman sejawat atau ale-ale dalam bahasa Batak Toba. Tidak dilakukan asal-asalanan.

6. Pelaksaanaan Pesta tanpa proses yang tertulis. Dokumen ini sangat penting untuk mengontrol waktu, dan keakuratan pelaksanaan tahapan di hari H. Sejak awal, seharusnya sudah mampu diprediksi waktu pelaksanaan setiap tahapan. Seperti sudah disinggungdi atas: perlu pelaksana, alat yang diperlukan dan memperhatikan waktu, sehingga acara benar-benar berjalan dengan baik.

7. Campur tangan pihak lain. Walau sudah terdokumentasi dengan baik, kalau yang hadir, terutama darikeluarga inti tidak mempercayakan pelaksanaan pesta kepada wakil pihak paranak dan par boru (protokol/parhata/parsahap), tetap juga tidak berjalan dengan baik. Seringkali dalam acara di hari H, muncul pendapat baru dari keluarga dengan berbagai motif, berbeda dengan keputusan-kepuusan yang sudah disepakati.

8. Kata-kata sambutan yang banyak dan isinya hanya "songon na didok ni na parjolo", diulang-ulang. Ini sangat membosankan, dan perlu dibatasi.

9. Kuncinya ada di Protokol. Protokol acara/pesta darikedua belah pihak sering tidak profesional. Meski sudah diatur sedemikian rupa, kalau protokolnya tidak handal,. maka pesta tetap tidak aakan dapat berlangsung dengan baik. Perdebatan-perdebatan dalam pelaksanaan pesta seharusnya tidak ada lagi, karena semua sudah dirancang dan didokumentasikan dengan baik, tinggal melaksanakan yang sudah disepakati.

Sebagai orang yang sudah beberapa kali melaksanakan pesta perkawinan, saya merasakan pesta adat adalah salah satu wadah mengikat keluarga besar dan memelihara hubungan diantara keluarga besar, memelihara kerja sama dan saling tergantung satu dengan yang lain. Pesta tidak mampu dilaksanakan sendiri oleh pemilik pesta!.

Pengalaman mempersiapkan dan melaksanakan pesta pernikahan sangat baik bagi anak-anak, orang tua, serta keluarga besar. Di sana mereka bisa mengenal keluarga besar dengan struktur yang lengkap, memelihara hubungan diantara keluarga besar. 

Oleh sebab itu, para orang tua seharusnya makin menyadari pentingnya adat ini dipelajari dan tentunya juga diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pertanyaan kita adalah, sampai generasi ke berapa nanti adat Batak ini masih dihormati dan dilaksanakan dengan baik oleh pemiliknya. Semuanya tergantung pemilik adat itu sendiri. (St Jannerson Girsang)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments