Rosihan Anwar |
BERITASIMALUNGUN.COM-Sosok Rosihan Anwar tidak hanya dikenal sebagai tokoh pers nasional,
namun lebih dari itu, Rosihan adalah seorang wartawan sekaligus pelaku
sejarah yang pernah merasakan sentuhan berbagai zaman. Rosihan menjadi
saksi sekaligus pelaku sejarah pada zaman kolonial Belanda, pendudukan
Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi.
Rosihan
bukanlah figur wartawan biasa, dia adalah sastrawan, sejarawan bahkan
budayawan. Ia hidup menggeluti dunia jurnalistik semenjak masa
perjuangan bangsa ini melawan penjajah.
Lahir sebagai anak
keempat dari sepuluh bersaudara hasil pernikahan Anwar Maharaja Sutan
dan Siti Harfiah, di Solok 10 Mei 1922, Rosihan mewarisi darah Padang.
Ayahnya seorang demang di Padang, Pantai Barat Sumatera.
Rosihan muda
menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang, kemudian
melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Kemudian dari sana ia
kerap mengikuti pelatihan di dalam maupun luar negeri, termasuk di
Universitas Yale dan Sekolah Jurnalistik di Universitas Coloumbia, New
York Amerika Serikat.
Debut Rosihan di dunia jurnalistik saat ia
berusia 20 tahun. Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh
pemerintah konolial Belanda di Bukit Duri, Batavia atau kini Jakarta.
Awalnya ia menjadi reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat tahun 1947-1957 dan Pedoman (1948-1961).
Peraih
Bintang Mahaputra III bersama Jacob Oetama ini pernah menjabat sebagai
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di tahun 1965 hingga 1974.
Namun sebelumnya, di tahun 1961, koran Pedoman milik Rosihan
dibredel oleh penguasa hingga akhirnya di tutup setahun setelah ia
mendapat penghargaan Bintang Mahaputera III dari Presiden Soeharto.
Selain menggeluti dunia jurnalistik, Rosihan juga berkarya di bidang sastra dan budaya. Julukan "a footnote of history"
melekat pada dirinya. Sepanjang hayatnya lebih dari 20 buku dan ratusan
artikel telah ditulisnya. Rosihan juga gemar menulis puisi. Puisi
ciptaannya banyak dimuat di surat kabar Asia Raya, Merdeka dan majalah mingguan politik dan budaya, Siasat.
Salah satu puisinya yang dikenal masyarakat luas adalah puisi tentang melawan korupsi.
"Aku
tidak malu jadi orang Indonesia, biar orang bilang apa saja, biar,
biar. Indonesia negara paling korup di dunia. Indonesia Negara gagal,
Indonesia negara lemah. Indonesia melanggar HAM," salah satu petikan
puisi Rosihan.
Ia pun pernah berkecimpung di dunia film. Ia
mendirikan perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950 bersama
Usmar Ismail. Berkecimpung di dunia film, Rosihan juga pernah mencicipi
dunia aktor sebagai figuran dalam film Darah dan Doa dan sempat menjadi produser film Terimalah Laguku.
Perjuangannya
untuk memperjuangkan kebebasan pers begitu gigih. Bahkan Harmoko, salah
seorang tokoh pers, menyebut Rosihan sebagai "benteng kebebasan pers".
Karena dikenal sebagai wartawan multitalenta, Rosihan merupakan pejuang
dan seorang wartawan yang generalis. Ia pernah menjadi wartawan perang
hingga menjadi wartawan film.
Perjalanan hidup seorang Rosihan
Anwar, menyaksikan pasang surut sejarah, menempanya menjadi sosok yang
kritis sebagai seorang wartawan yang memiliki pandangan luas dan
segudang pengalaman.
Ia seorang figur wartawan yang berani
menyuarakan kebenaran dan mempunyai pendirian teguh walaupun di tengah
ancaman. Sosok wartawan yang produktif dan menjunjung tinggi idealisme.
Pada
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Rosihan
kerap dimintai masukan dan saran untuk pembangunan bangsa.
Rosihan
Anwar mengembuskan nafas terakhir pada hari Kamis, 14 April 2011 di
rumah sakit MMC Jakarta dalam usia 89 tahun karena terkena gangguan
jantung. Meninggalnya suami dari Siti Zuraidah ini seolah mengubur
dokumen-dokumen sejarah, karena selama ini Rosihan merupakan dokumen
hidup sejarah. Ia memiliki banyak memori rekaman-rekaman sejarah
perjalanan bangsa ini.
Pantaslah kemudian Rosihan disebut legenda
pers tanah air. Semangatnya tidak pernah pudar untuk memajukan pers
nasional dan tak kenal kompromi untuk memperjuangkan kebebasan
berekspresi dan kemerdekaan pers nasional.
Bahkan ketika tidak memiliki
media pun, Rosihan tetap konsisten menceritakan fakta dan kondisi bangsa
pada buku memoarnya yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Sebelum Prahara. Muhammad Iqbal
Panitia HPN 2016
0 Comments