Ini Pernyataan Ahok yang Dianggap Jaksa Nodai Agama
BeritaSimalungun.com, Jakarta-Gubernur nonaktif DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) didakwa melakukan penodaan agama karena
penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51 dalam sambutan di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu. Ahok disebut sengaja menempatkan Surat Al-Maidah untuk kepentingan
pilkada DKI.
"Bahwa, meskipun kunjungan tidak ada hubungannya
dengan pelaksanaan pilgub DKI Jakarta, akan tetapi oleh karena terdakwa
terdaftar sebagai salah satu cagub, maka ketika terdakwa memberikan sambutan
dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda pemilihan
Gubernur DKI dengan mengaitkan Surat Al-Maidah ayat 51," ujar jaksa
penuntut umum Ali Mukartono saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri
Jakarta Utara di eks gedung PN Jakpus, Jl Gajah Mada, Jakpus, Selasa
(13/12/2016).
Perbuatan Ahok yang disebut jaksa menodai agama ini terjadi
saat Ahok berkunjung ke tempat pelelangan ikan (TPI) Pulau Pramuka di Pulau
Panggang, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Saat itu Ahok datang dalam rangka panen ikan kerapu dengan
didampingi sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta, Bupati Kepulauan Seribu, Kepala
Dinas Kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan, serta para nelayan, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama.
“Pada saat terdakwa mengadakan kunjungan kerja tersebut,
terdakwa telah tercatat sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta, yang
pemilihannya akan dilaksanakan pada Februari 2017," imbuh jaksa.
Dalam sambutan di depan warga, Ahok dianggap sengaja memasukkan kalimat terkait pemilihan gubernur. Saat itu Ahok sudah terdaftar sebagai cagub DKI.
Dalam sambutan di depan warga, Ahok dianggap sengaja memasukkan kalimat terkait pemilihan gubernur. Saat itu Ahok sudah terdaftar sebagai cagub DKI.
Berikut cuplikan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu yang
disebut jaksa menodai kitab suci Alquran:
“Ini kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi, kalau program ini kita jalankan baik, saya yakin bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi nggak usah pikiran, 'Ah, nanti kalau nggak terpilih, pasti Ahok programnya bubar.' Enggak, saya sampai Oktober 2017.
Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu ya. Jadi kalau bapak-ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.
“Ini kan dimajuin, jadi kalau saya tidak terpilih pun, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi, kalau program ini kita jalankan baik, saya yakin bapak ibu masih sempat panen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Jadi cerita ini supaya bapak ibu semangat, jadi nggak usah pikiran, 'Ah, nanti kalau nggak terpilih, pasti Ahok programnya bubar.' Enggak, saya sampai Oktober 2017.
Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu ya. Jadi kalau bapak-ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.
Karena ini kan
panggilan pribadi bapak-ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak-ibu enggak usah
merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa milih Ahok, enggak suka sama
Ahok nih, tapi programnya gua ga terima ga enak dong, jadi utang budi,
janganbapak ibu punya perasaan ga enak, nanti mati pelan- pelan loh kena
stroke."
“Bahwa dengan perkataan terdakwa tersebut seolah-olah Surat
Al-Maidah 51 telah dipergunakan oleh orang lain untuk membohongi atau membodohi
masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, padahal terdakwa sendiri yang
mendudukkan atau menempatkan Surat Al-Maidah 51 sebagai alat atau sarana untuk
membohongi dan membodohi dalam proses pemilihan kepala daerah," tutur
jaksa.
Kandungan Surat Al-Maidah ayat 51 sambung jaksa dalam dakwaaannya, tidak ada hubungannya dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini didasarkan pada pengalaman Ahok saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung.
Kandungan Surat Al-Maidah ayat 51 sambung jaksa dalam dakwaaannya, tidak ada hubungannya dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini didasarkan pada pengalaman Ahok saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Bangka Belitung.
“Saat itu terdakwa mendapatkan selebaran-selebaran yang pada
pokoknya berisi larangan memilih pemimpin nonmuslim, yang antara lain mengacu
pada Surat Al-Maidah ayat 51 yang diduga dilakukan lawan-lawan politik
terdakwa," imbuh jaksa.
Ini Nota Keberatan
Ahok
Nota Keberatan Basuki
Tjahaja Purnama
Terhadap Surat Dakwaan
No.Reg.Perkara
Perkara: PDM – 147/JKT.UT/12.2016
13 Desember 2016
Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang
saya muliakan, Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, Penasihat Hukum dan Para Hadirin
yang saya hormati,
Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih kepada
Majelis Hakim atas kesempatan, yang diberikan kepada Saya. Berkaitan dengan
persoalan yang terjadi saat ini, di mana saya diajukan di hadapan sidang, jelas
apa yang saya utarakan di Kepulauan Seribu, bukan dimaksudkan untuk menafsirkan
Surat Al-Maidah 51 apalagi berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk
menghina para Ulama.
Namun ucapan itu, saya maksudkan, untuk para oknum
politisi, yang memanfaatkan Surat Al-Maidah 51, secara tidak benar karena tidak
mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada.
Ada pandangan yang mengatakan, bahwa hanya orang tersebut
dan Tuhan lah, yang mengetahui apa yang menjadi niat pada saat orang tersebut
mengatakan atau melakukan sesuatu. Dalam kesempatan ini di dalam sidang yang
sangat Mulia ini, saya ingin menjelaskan apa yang menjadi niat saya pada saat
saya berbicara di Kepulauan Seribu tersebut.
Dalam hal ini, bisa jadi tutur bahasa saya, yang bisa
memberikan persepsi, atau tafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang saya
niatkan, atau dengan apa yang saya maksudkan pada saat saya berbicara di
Kepulauan Seribu.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Ijinkan saya untuk membacakan salah satu Sub-judul dari
buku saya, yang berjudul “Berlindung Dibalik ayat suci” ditulis pada tahun
2008. Saya harap dengan membaca tulisan di buku tersebut, niat saya yang
sesungguhnya bisa dipahami dengan lebih jelas, isinya sebagai berikut, saya
kutip:
Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi
anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai
mengikuti Pemilu, kampanye pemilihan Bupati, bahkan sampai Gubernur, ada ayat
yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat, dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak
kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.
Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elit, karena
tidak bisa bersaing dengan visi misi program, dan integritas pribadinya. Mereka
berusaha berlindung dibalik ayat-ayat suci itu, agar rakyat dengan konsep
“seiman” memilihnya.
Dari oknum elit yang berlindung dibalik ayat suci agama
Islam, mereka menggunakan surat Almaidah 51. Isinya, melarang rakyat,
menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan,
jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin.
Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum
yang seiman.
Padahal, setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata
ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang ingin membunuh
Nabi besar Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan
Yahudi di tempat itu.
Jadi, jelas, bukan dalam rangka memilih kepala
pemerintahan, karena di NKRI, kepala pemerintahan, bukanlah kepala agama/Imam
kepala. Bagaimana dengan oknum elit yang berlindung, dibalik ayat suci agama
Kristen? Mereka menggunakan ayat disurat Galatia 6:10. Isinya, selama kita
masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman.
Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang
beragama Hindu, atau yang beragama Budha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya,
pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain,
apalagi yang ras nya lain.
Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku,
agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah
yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis,
atau binatang!
Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan
tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan hitungan
suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya, sumber daya manusia dan
ekonomi yang kita sia-siakan.
Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak
Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi. Apalagi di Papua. Hal yang
sama, seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang.
Kondisi inilah yang memicu kita, tidak mendapatkan pemimpin
yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang buruk, dari
yang terburuk, karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk
memilih yang se-SARA saja.Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang
sesama manusia).
Demikian kutipan dari buku yang saya tulis tersebut.
Majelis Hakim yang saya muliakan. Dalam kehidupan pribadi,
saya banyak berinteraksi dengan teman-teman saya yang beragama Islam, termasuk
dengan keluarga angkat saya Almarhum Haji Andi Baso Amier yang merupakan
keluarga muslim yang taat.
Selain belajar dari keluarga angkat saya, saya juga belajar
dari guru-guru saya, yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD Negeri, sampai
dengan kelas 3 SMP Negeri. Sehingga sejak kecil sampai saat sekarang, saya tahu
harus menghormati Ayat-Ayat suci Alquran. Jadi saya tidak habis pikir, mengapa
saya bisa dituduh sebagai penista Agama Islam.
Saya lahir dari pasangan keluarga non-muslim, Bapak Indra
Tjahaja Purnama dan Ibu Buniarti Ningsih (Tjoeng Kim Nam dan Bun Nen Caw),
tetapi saya juga diangkat sebagai anak, oleh keluarga Islam asal Bugis, bernama
Bapak Haji Andi Baso Amier , dan Ibu Hajjah Misribu binti Acca. Ayah angkat
saya, Andi Baso Amier adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970,
beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, Almarhum Jenderal TNI (Purn.)
Muhammad Jusuf.
Ayah saya dengan ayah angkat saya, bersumpah untuk menjadi
saudara sampai akhir hayatnya. Kecintaan kedua orangtua angkat saya kepada
saya, sangat berbekas, pada diri saya, sampai dengan hari ini. Bahkan uang
pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya, dibayar oleh kakak angkat saya,
Haji Analta Amir.
Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih, apabila
saya tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkat saya yang
Islamnya sangat taat.
Saya sangat sedih, saya dituduh menista agama Islam,
karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan saya menista orang tua angkat
dan saudara-saudara angkat saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan juga
sangat sayang kepada saya.
Itu sebabnya ketika Ibu angkat saya meninggal, saya ikut
seperti anak kandung, mengantar dan mengangkat keranda beliau, dari ambulans
sampai ke pinggir liang lahat, tempat peristirahatan terakhirnya, di Taman
Pemakaman umum Karet Bivak.
Sampai sekarang, saya rutin berziarah ke makam Ibu
angkat, di Karet Bivak. Bahkan saya tidak mengenakan sepatu atau sendal saat
berziarah, untuk menghargai keyakinan dan tradisi orang tua dan saudara angkat saya itu.
Yang membuat saya juga selalu mengingat almarhumah Ibu
angkat saya, adalah peristiwa, pada saat saya maju, sebagai calon wakil
Gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Pada hari pencoblosan, walaupun Ibu angkat
saya, sedang sakit berat dalam perjalanan ke rumah sakit, dengan menggunakan
mobil kakak angkat saya Haji Analta, ibu angkat saya, sengaja, meminta
mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih saya.
Padahal kondisinya sudah begitu kritis. Dari tempat
pemungutan suara, barulah beliau langsung, menuju ke rumah sakit, untuk
perawatan lebih lanjut di ICU.
Setelah dirawat selama 6 (enam) hari, Ibu berdoa dan berkata kepada saya dan masih terus saya ingat dan masih akan saya ingat, kata beliau: “SAYA TIDAK RELA MATI, SEBELUM KAMU MENJADI GUBERNUR. ANAKKU, JADILAH GUBERNUR YANG MELAYANI RAKYAT KECIL.”
Ternyata Tuhan mengabulkan doa Ibu angkat saya. Beliau berpulang
tanggal 16 Oktober 2014, setelah ada kepastian Bapak Jokowi menjadi Presiden,
dan saya juga sudah dipastikan menjadi Gubernur, menggantikan Bapak Jokowi.
Pesan dari Ibu angkat saya selalu saya camkan , dalam menjalankan tugas saya,
sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Sebelum menjadi pejabat, secara pribadi, saya sudah sering
menyumbang untuk pembangunan mesjid di Belitung Timur, dan kebiasaan ini, tetap
saya teruskan saat saya menjabat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Belitung
Timur, dan kemudian sebagai Bupati Belitung Timur.
Saya sudah menerapkan banyak
program membangun Masjid, Mushollah dan Surau, dan bahkan merencanakan
membangun Pesantren, dengan beberapa Kyai dari Jawa Timur. Saya pun menyisihkan
penghasilan saya, sejak menjadi pejabat publik minimal 2,5% untuk disedekahkan
yang di dalam Islam, dikenal sebagai pembayaran Zakat, termasuk menyerahkan
hewan Qurban atau bantuan daging di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Saya juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan, termasuk untuk
menggaji guru-guru mengaji, dan menghajikan Penjaga Masjid/Musholla (Marbot
atau Muadzin) dan Penjaga Makam.
Hal-hal yang telah saya lakukan di Belitung
Timur, saat menjabat sebagai Bupati, saya teruskan ketika tidak menjadi Bupati
lagi, sampai menjadi anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Bangka Belitung,
sebagai Wakil Gubernur dan juga, sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini pun
tetap saya lakukan.
Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya juga membuat
banyak kebijakan, diantaranya kebijakan agar di bulan Suci Ramadhan, para PNS
dan honorer, bisa pulang lebih awal, dari aturan lama jam 15.00 WIB saya ubah
menjadi jam 14.00 WIB, agar umat Muslim dapat berbuka puasa bersama keluarga di
rumah, sholat magrib berjamaah, dan bisa tarawih bersama keluarganya. Saya juga
ingin melihat Balaikota mempunyai Masjid yang megah untuk PNS, sehingga bisa
melaksanakan ibadahnya, ketika bekerja di Balaikota. Karena itu, Pemda
membangun Masjid Fatahillah di Balaikota.
Di semua rumah susun (rusun) yang dibangun PEMDA, juga dibangun Masjid. Bahkan di Daan Mogot, salah satu rusun yang terbesar, kami telah membangun Masjid besar, dengan bangunan seluas 20.000 m2, agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rusun Daan Mogot.
Kami jadikan masjid tersebut sebagai salah satu Masjid Raya
di Jakarta. Kami akan terus, membangun Masjid Raya/besar, di setiap rusun, kami
akan terus membantu perluasan Masjid yang ada, dengan cara PEMDA akan membeli
lahan yang ada di sekitar Masjid, sebagaimana beberapa kali telah saya
sampaikan dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam maupun Pengurus
Dewan Masjid Indonesia di Balaikota. Para Marbot dan penjaga makam juga PEMDA
Umrohkan.
Kami juga membuat kebijakan bagi PNS, menjadi pendamping Haji kloter
DKI Jakarta. Saya berharap bisa melaksanakan amanah orang tua dan orang tua
angkat saya untuk melanjutkan tugas saya sebagai Gubernur di periode yang akan
datang, sehingga cita-cita saya untuk memakmurkan umat Islam di Jakarta dapat
terwujud.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Saya berani mencalonkan diri sebagai Gubernur, sesuai
dengan amanah yang saya terima dari almarhum Gus Dur, bahwa Gubernur itu bukan
pemimpin tetapi pembantu atau pelayan masyarakat.
Itu sebabnya, dalam pidato
saya setelah pidato almarhum Gus Dur pada tahun 2007, saya juga mengatakan
bahwa menjadi calon Gubernur, sebetulnya saya melamar untuk menjadi pembantu
atau pelayan rakyat.
Apalagi, saya melihat adanya fakta, bahwa ada cukup banyak
partai berbasis Islam, seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Solo juga
mendukung calon Gubernur, Bupati, Walikota non-Islam di daerahnya.
Untuk itu, saya mohon ijin kepada Majelis Hakim, untuk
memutar video Gus Dur yang meminta masyarakat memilih Ahok sebagai Gubernur
saat Pilkada Bangka Belitung tahun 2007, yang berdurasi sekitar 9 (Sembilan)
menit.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Saya ini hasil didikan orang tua saya, orang tua angkat
saya, Ulama Islam di lingkungan saya, termasuk Ulama Besar yang sangat saya
hormati, yaitu Almarhum Kyai Haji Abdurahman Wahid. Yang selalu berpesan,
menjadi pejabat publik sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat.
Sebagai
pribadi yang tumbuh besar di lingkungan umat Islam, tidaklah mungkin saya
mempunyai niat untuk melakukan penistaan Agama Islam dan menghina para Ulama,
karena sama saja, saya tidak menghargai, orang-orang yang saya hormati dan saya
sangat sayangi.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Apa yang saya sampaikan di atas, adalah kenyataan yang
sungguh-sungguh terjadi. Dan saya juga berharap penjelasan saya ini, bisa
membuktikan tidak ada niat saya, untuk melakukan penistaan terhadap Umat Islam,
dan penghinaan terhadap para Ulama.
Atas dasar hal tersebut, bersama ini saya
mohon, agar Majelis Hakim yang Mulia, dapat mempertimbangkan Nota Keberatan
saya ini, dan selanjutnya memutuskan, menyatakan dakwaan Saudara Jaksa Penuntut
Umum tidak dapat diterima, atau batal demi hukum. sehingga saya dapat kembali,
melayani warga Jakarta dan membangun kota Jakarta.
Majelis Hakim yang Mulia, terima kasih atas perhatiannya.
Kepada Jaksa Penuntut Umum, serta Penasehat Hukum, saya
juga ucapkan terima kasih.
Jakarta, 13 Desember 2016
Hormat saya,
Hormat saya,
Basuki Tjahaja Purnama
Sidang Ahok Sarat Kepentingan Politik
Kuasa hukum Ahok, Sirra Prayuna mengatakan kasus yang
menjerat kliennya sarat kepentingan politik dan diduga dimanfaatkan pihak-pihak
yang tidak senang dengan Ahok sejak dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta pada
2014. Dia menduga ada beberapa oknum yang khawatir apabila Ahok kembali
terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2017.
"Tekanan massa begitu kuat. Tujuan utama untuk
memangkas Ahok dari kompetisi Pilgub DKI 2017," ujarnya di PN Jakarta
Utara, di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Sirra juga mengaku heran karena proses hukum terhadap
kliennya hingga disidangkan di pengadilan berlangsung cepat. Hanya dalam waktu
tiga hari, berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan.
"Apa yang sebenarnya terjadi di balik ini. Apakah
lembaga tidak mau berlama-lama memegang bola panas karena massa?"
ungkapnya.
Dalam sidang perdana, jaksa penuntut umum (JPU) telah
membacakan dakwaan terhadap terdakwa Ahok. Calon gubernur DKI Jakarta itu
didakwa telah menghina ulama dan umat Islam terkait penyampaian surat Al Maidah
Ayat 51 di depan warga Kepulauan Seribu.
Ahok juga telah membacakan nota keberatan atas dakwaan yang
disampaikan JPU dan menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah berniat melecehkan
agama Islam atau ayat suci Alquran. (*)
Saksikan videonya di sini:
Anselmus Bata/Bayu Marhaenjati/AB
Sumber: Beritasatu.com & Detik.com
0 Comments