![]() |
RES Fobia (Istimewa) |
BeritaSimalungun.com, Jakarta- Komisi Yudisial
(KY) harus segera turun tangan memeriksa majelis hakim yang menangani
perkara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena
putusan majelis hakim tersebut sangat janggal dan tidak sesuai
konstruksi hukum positif yang ada di Indonesia.
Demikian dikatakan pengamat hukum dan kebijakan publik dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, RES Fobia kepada Beritasatu.com, Selasa (9/5/2017).
Dikatakan, putusan hakim yang memvonis Ahok melampaui tuntutan jaksa
saja sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan konstruksi hukum
dan persidangan pada umumnya yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini,
ia berpendapat, hakim mengabaikan berbagai keterangan ahli dan saksi di
persidangan yang tidak melihat adanya pelanggaran pasal 156a. Hal
itulah, mengapa jaksa penuntut umum hanya menerapkan pasal 156.
RES juga menegaskan, jika memang hakim mengacu pada pasal 156a, maka
seharusnya majelis hakim tidak boleh sama sekali mengaibakan UU No 1
PNPS Tahun 1965 sebagai akar atau induk dari pasar tersebut di mana UU
itu mensyaratkan adanya proses peringatan dan proses non yudisial
lainnya sebelum masuk pada proses hukum di pengadilan.
Demikian, ada kontruksi berpikir dan logika hukum majelis hakim yang
tidak simetris. Di mana di satu pihak majelis hakim menilai Ahok
melanggar pasar 156a namun di pihak lain, majelis mengabaikan UU No 1
PNPS Tahun 1995. " Ini ada inkonsistensi majelis hakim," tandasnya.
Malah, ujarnya, majelis hakim dalam perkara ini cenderung bertindak
sebagai perpanjangan tangan massa yang sudah memvonis Ahok bersalah
sebelum persidangan.
"Ini berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia. Apalagi, dalam
pertimbangannya, hakim juga memasukan unsur kegaduhan di masyarakat yang
dilihat dari banyaknya aksi demo. Kalau itu dijadikan alasan,
seharusnya hakim juga mempertimbangkan silent majority yang terganggu oleh aksi massa yang terus berulang-ulang," tandasnya.
Selain itu, eksekusi penahanan Ahok yang dilakukan pada hari yang
sama seusai sidang juga menjadi tanda tanya besar sebab kasus ini belum
berkuatan hukum tetap (inkracht) mengingat terdakwa dan penasihat hukumnya langsung menyatakan banding.
RES Fobia menyatakan, eksekusi sebelum ada kekuatan hukum tetap ini
telah merampas hak asasi terdakwa untuk membela diri. Hal ini
menunjukkan bahwa majelis hakim benar-benar berada di bawah tekanan
massa yang terus berdemo sebelum dan selama persidangan berlangsung.
Walaupun majelis hakim menyebutkan bahwa mereka tidak dalam tekanan
tetapi jika melihat konstruksi putusan yang dibuat oleh majelis hakim
jelas sekali majelis hakim berada di bawah tekanan massa atau
setidak-tidaknya takut terhadap amukan massa.
"Apakah dengan melihat banyaknya aksi demo itu lantas hakim
beranggapan bahwa yang demo itu sudah pasti benar? Kalau konstruksi
berpikir seperti ini diterapkan sangat merusak hukum dan rasa keadilan
itu sendiri. Artinya, kebenaran itu ditentukan hanya dengan banyaknya
orang yang demo. Ini berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia,"
tandas Alumni Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNS) ini.
Bukankah penegak hukum selalu memegang prinsip lebih baik membebaskan
1.000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak
bersalah.
Karena itu, ia berharap, MK segera turun tangan memeriksa majelis
hakim untuk memastikan bahwa majelis hakim bekerja sesuai koridor hukum
yang ada. "Jangan sampai masyarakat kehilangan rasa kepercayaan terhadap
pengadilan sebagai tempat mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki di
bumi Indonesia," tandasnya.
Ia menegaskan, KY tidak perlu menunggu ada laporan dulu baru
bertindak tetapi KY bisa proaktif memeriksa majelis hakim untuk menjaga
marwah hakim sebagai pengadil dan pemberi rasa keadilan bagi warga
negara. Jika MK membiarkan hal ini, maka ini akan menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum di Indonesia. (BS)
Sumber: Paulus Nitbani/PCN
BeritaSatu.com
0 Comments