Ahok berswafoto dan disambut gembira pegawai LP Cipinang saat ahok ditahan usai sidang vonis 2 tahun penjara Oleh PN Jakarta Utara, Selasa 9 Mei 2017. IST |
Surat dari EMMY HAFILD ini brings tear to my heart....
BeritaSimalungun.com-Hari ini, setelah putusan hakim untuk
kasus Ahok, ingatan saya kembali ke tahun 71, pada saat selesai Pemilu pertama
di masa Orde Baru. Ayah saya, waktu itu masih bekerja di PTP V, Sumatera Utara,
diangkut oleh tentara dari rumah tidak tahu dibawa kemana.
Ayah saya pendukung
PSII dan hanya ayah dan ibu saya yang memilih PSII di kompleks perumahan
perkebunan dimana kami tinggal. Ayah tidak mau masuk Golkar, seperti saran
pimpinannya.
Selama berminggu-minggu kami mencari ayah kami dimana,
akhirnya berkat bantuan Prof Maryam Darus, yang kebetulan famili ibu saya, ayah
saya ditemukan dan dipindahkan ke penjara di Binjai.
Ayah saya dituduh menipu
tanpa ada proses peradilan. Ayah saya minta agar diproses peradilankan, tapi
tidak pernah terjadi. Akhirnya 6 bulan kemudian, Ayah saya dilepaskan begitu
saja tanpa ada proses hukum.
Tahun 1984, kejadian yang sama berulang pada mertua saya,
alm Let.Jen. (Purn) H.R.Dharsono. Setelah kejadian bom BCA dan Tanj. Priuk,
mertua saya memang ditarget oleh rejim Suharto, karena kelantangan beliau
memprotes kebijakan Orde Baru dan Suharto.
Suatu hari mertua saya hilang, tidak
diketahui dimana , ditemukan oleh suami saya di Rutan Militer Guntur. Kemudian
terjadilah rekayasa persidangan selama setahun.
Mertua saya dituduh ikut
merestui pengeboman karena dituduh mengetahui dan tidak melaporkan adanya orang-orang
ingin ngebom beberapa titik di Jakarta.
Kemudian beliau dihukum 7 tahun
penjara. Beliau meninggal tahun 1996, dan tidak diijinkan dimakamkan di Makam
Pahlawan. Sesudah reformasi, mertua saya direhabilitasi namanya dan diberi
bintang Mahaputera oleh Presiden Habibie tapi tidak diterima oleh keluarga.
Lalu ditawarkan agar makamnya dipindahkan ke makam pahlawan, tapi keluarga juga
menolak. Mertua saya adalah pahlawan, berjuang dalam kemerdekaan RI.
Hari ini, Ahok dihukum 2 tahun langsung masuk penjara,
suatu putusan hakim yang lebih berat dari tuntutan jaksa. Hati saya remuk
redam, teringat kembali pengalaman hidup saya menghadapi ayah dan mertua yang
dihukum karena politik.
Kemudian, Gubernur yang saya kagumi, juga mengalami hal
yang sama, untuk tindakan yang bahkan dalam tuntutan jaksa tidak terbukti.
Kebetulan ke-3 orang yang saya kagumi ini punya kesamaan.
Mereka adalah orang yang apa adanya, lebih memikirkan orang lain daripada
dirinya sendiri, lurus, dan bersih dari korupsi, dan sangat cinta kepada
negerinya.
Ketiganya adalah orang-orang baik, yang tidak pernah mengambil
keuntungan untuk dirinya sendiri. Ketiganya adalah pribadi yang cenderung hitam
putih, tidak bisa kompromi pada hal-hal yang prinsip, dan lurus ikut aturan,
tetapi selalu mencari terobosan atas kesulitan yang ada. Ini adalah orang-orang
yang langka di negeri ini.
Kalau Ayah dan mertua diperlakukan tidak adil oleh rejim
Suharto, saya bisa mengerti. Rejim Suharto adalah rejim yang otoriter, semua
perlawanan dan kritik diberangus.
Oleh karena itulah, saya ikut dalam gerakan
reformasi untuk mendirikan demokrasi di negeri ini. Mencari keadilan adalah
selalu motivasi saya, dan saya selalu terusik, dalam kehidupan pribadi,
dimasyarakat atau dalam pekerjaan saya, apabila terjadi ketidak adilan di
hadapan saya.
Sembilan belas tahun setelah reformasi, ternyata keadilan
itu masih sangat jauh. Ternyata kekuatan gerombolan massa yang menggoreng issue
sektarian mampu mendikte hukum dan politik di negeri ini.
Kasus Ahok adalah
kasus kriminalisasi demi Pilkada yang didukung oleh kelompok kepentingan yang
terusik dengan kebijakan Ahok.
Kasus hukum yang sangat dipaksakan, oleh Wapres
(berkas perkara harus selesai dalam 2 minggu ) karena tekanan massa, melanggar
aturan Kapolri sendiri yang tidak boleh memproses kasus hukum Kandidat Pilkada.
Anehnya, Presiden pun tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan semena-mena ini,
atas pidato-pidato pimpinan gerombolan yang didominasi dengan
perkataan-perkataan kotor dan menghina yang tidak bisa diterima orang beradab,
diucapkan oleh orang-orang yang mengaku ulama agama mayoritas.
Ahok kalah dalam Pilkada karena issue agama, sudah sangat
sulit diterima. Kemudian dihukum atas suatu tindakan yang menurut Jaksa tidak
terbukti? Itu tidak bisa diterima oleh akal sehat manapun. Lalu langsung masuk
penjara seperti penjahat narkoba? Itu lebih aneh lagi.
Seumur hidup saya, saya terlibat langsung dalam gerakan
demokrasi di negeri ini. Umur saya sudah hampir 60 tahun, saya sebenarnya sudah
ingin istirahat, membangun rumah sederhana di Labuhan Bajo yang indah,
menikmati masa tua sambil membantu masyarakat sekitar.
Tapi rasa keadilan saya
sangat terusik, ternyata perjuangan masih panjang. Kita tidak boleh putus asa,
saya masih menginginkan keadilan terjadi sebelum saya menutup mata di hadirat
Illahi.
Seorang Gubernur yang baik, yang kinerjanya diakui 76% warganya,
dikalahkan oleh issu agama dan dijatuhkan habis lewat issu agama juga.
Orang
baik dihukum secara tidak adil. Ahok, ibarat sudah dijatuhkan, ditimpuk pula
lagi dengan tangga.
Ternyata, perjuangan masih panjang. Bangsaku, jangan tunduk
pada kekuatan gerombolan yang mengatasnamakan agama, didukung oleh dana
konglomerat hitam yang selalu mengambil untung untuk dirinya sendiri, tidak
pernah puas dengan kekayaannya.
Hari ini adalah dimulainya perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan kelompok yang mengaku mewakili agama mayoritas negeri ini,
memaksakan kehendaknya atas hukum di negeri ini.
Tarik nafas panjang, mulai berlari marathon untuk mencapai keadilan hukum di negeri ini.
Kita mungkin tidak lagi bisa melihat Ahok menerima warga di
Balai Kota, tapi Ahok ada dimana-mana. Sungai yang bersih, jalanan yang bersih
dari sampah, anak kampung yang bisa sekolah, rumah sakit daerah yang megah,
RPTRA-RPTRA... PBB yang dibebaskan, lingkar Semanggi, dia ada dimana-mana. Pak
Ahok, kami tetap bersama Anda. (Emmy Hafild)
0 Comments