BeritaSimalungun.com, Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi menilai
Majelis Hakim Pengadilan (PN) Jakarta Utara menerapkan standar dalam
memutuskan kasus penodaan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok. Menurut Hendardi, vonis 2 tahun penjara yang dijatuhkan hakim
mencerminkan adanya trial by mob, di mana putusan pengadilan akibat adanya tekanan massa.
"Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang
diakibatkan oleh ucapan Basuki. Tapi di sisi lain, hakim ahistoris
dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan
pelaporannya oleh kelompok masyarakat," ujar Hendardi di Jakarta, Selasa
(9/5/2017).
Menurut Hedardi, politisasi identitas dan peristiwa hukum telah
dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah
kontestasi. Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek nonhukum
inilah, kata dia, yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas
adanya trial by mob.
"Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak
hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Ahok," tandas dia.
Trial by mob, kata dia, sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law
dan membahayakan demokrasi dan negara hukum Indoneesia. Pasalnya,
sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan
berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari
prinsip-prinsip negara hukum.
"Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus
(induk) Pasal 156a adalah UU No 1/PNPS/1965, yang menuntut adanya
peringatan dan proses-proses nonyudisial sebelum seseorang diproses
secara hukum," jelas dia.
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas in dubio pro reo
dalam memutuskan kasus Ahok. Asas ini memandu hakim, jika ada
keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan
pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. "Lebih baik membebaskan
1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak
bersalah," tegas dia.
Selain itu, kata dia, vonis terhadap Ahok di luar kelaziman, karena
hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan jaksa penuntut umum.
"Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan
merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan
dakwaan yang termaktub dalam UU," ungkap dia.
Namun demikian, tututnya, kemerdekaan hakim semestinya haruslah
sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Menurut dia, kualitas
peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang
masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki
atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan
jaksa.
"Vonis 2 tahun penjara untuk Ahok merupakan kasus penodaan agama
ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme
demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati.
Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah
tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak
pemenjaraan Ahok," kata dia.
"Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan
sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun.
Bahkan dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998.
Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal
156a KUHP," tandas Hendardi. (SP)
0 Comments