Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Vonis Ahok Cerminkan Trial by Mob

Terdakwa dugaan kasus penistaan agama, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama usai berdiskusi dengan penasehat hukum dalam sidang ke 22, dengan agenda pembacaan putusan (vonis) di pengadilan Jakarta Utara, Auditorium Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan, 9 Mei 2017. (BeritaSatu Photo/Joanito De Saojoao)
BeritaSimalungun.com, Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi menilai Majelis Hakim Pengadilan (PN) Jakarta Utara menerapkan standar dalam memutuskan kasus penodaan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurut Hendardi, vonis 2 tahun penjara yang dijatuhkan hakim mencerminkan adanya trial by mob, di mana putusan pengadilan akibat adanya tekanan massa.

"Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki. Tapi di sisi lain, hakim ahistoris dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat," ujar Hendardi di Jakarta, Selasa (9/5/2017).

Menurut Hedardi, politisasi identitas dan peristiwa hukum telah dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi. Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek nonhukum inilah, kata dia, yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob.

"Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Ahok," tandas dia.

Trial by mob, kata dia, sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law dan membahayakan demokrasi dan negara hukum Indoneesia. Pasalnya, sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum.

"Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus (induk) Pasal 156a adalah UU No 1/PNPS/1965, yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses nonyudisial sebelum seseorang diproses secara hukum," jelas dia.

Lebih lanjut, Hendardi mengatakan, trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas in dubio pro reo dalam memutuskan kasus Ahok. Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. "Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah," tegas dia.

Selain itu, kata dia, vonis terhadap Ahok di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan jaksa penuntut umum. "Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU," ungkap dia.

Namun demikian, tututnya, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Menurut dia, kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan jaksa.

"Vonis 2 tahun penjara untuk Ahok merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Ahok," kata dia.


"Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP," tandas Hendardi. (SP)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments