Pamatangsiantar, BS-Perjuangan panjang menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) kini memasuki babak yang semakin menentukan. Gelombang suara rakyat yang menyerukan keadilan bagi Tanah Batak terus menggema, kali ini disuarakan kembali oleh aktivis lingkungan Togu Simorangkir, sosok yang tak pernah gentar membela hutan dan kehidupan di sekitarnya.
Puncaknya akan dilakukan aksi damai di Kantor Gubernur Sumatera Utara pasa 10 November 2025 mendatang. Dalam unggahan terbarunya di media sosial, Togu Simorangkir menegaskan bahwa perjuangan #TutupTPL bukan sekadar soal lingkungan, tetapi juga soal martabat manusia dan iman.
Ia menyentil keras komentar-komentar kasar yang dilontarkan sejumlah pihak (TikTokers-Sinaga aja02) terhadap Ephorus HKBP, pimpinan tertinggi gereja terbesar di Tanah Batak, yang dengan lantang menyerukan penutupan TPL.
“Kalau aku kalian caci maki dan hina, aku tidak ambil pusing karena aku itu orang biasa. Tapi kalau ke Ephorus HKBP kalian kasar, mencaci maki dan berkata kotor, menurutku ada yang salah dalam diri kalian,” tulis Togu Simorangkir.
Togu juga menyerukan agar para pejuang lingkungan tidak ikut memperkuat kebencian dengan menyebarkan unggahan yang menghina Ephorus. “Biarkan saja. Ephorus HKBP pun sudah memaafkan mereka sebelum mereka meminta maaf,” katanya.
Pernyataan Togu Simorangkir mencerminkan kerendahan hati dan kedewasaan moral dalam sebuah perjuangan besar. Ia menegaskan rasa hormatnya terhadap sikap gereja yang berani bersuara melawan ketidakadilan lingkungan.
“Aku yang bukan jemaat HKBP saja bangga dengan suara kenabian Ephorus HKBP. Kalian, ruas HKBP yang enam juta orang itu, seharusnya lebih bangga dengan Ompui,” tambahnya.
Gerakan Moral dan Ekologis yang Tak Bisa Dibungkam
Bagi banyak orang, suara Togu Simorangkir dan Ephorus HKBP bukan hanya teriakan emosional, melainkan panggilan moral agar negara tidak lagi berpihak pada perusahaan yang merusak alam. Keberadaan TPL selama puluhan tahun telah meninggalkan jejak panjang: konflik lahan, rusaknya ekosistem hutan, hilangnya sumber air, hingga penderitaan masyarakat adat.
Kini, suara “Merawat Tano Batak” berubah menjadi seruan kebangsaan: hentikan kerusakan, hentikan eksploitasi, dan kembalikan hutan kepada rakyat.
“Kami akan hadir di Kantor Gubernur Sumatera Utara pada 10 November 2025,” tegas Togu. “Panjang umur perjuangan!”.
Tanggal itu bukan sekadar agenda pertemuan, melainkan momentum sejarah. Saat rakyat, gereja, dan pejuang lingkungan bersatu, tak ada kekuatan apa pun yang bisa menutup telinga terhadap kebenaran.
Toba Tak Butuh Luka Lagi
Tanah Batak bukan milik korporasi, ia milik anak cucu yang harus diwarisi dalam keadaan hidup dan lestari. Setiap pohon yang tumbang adalah nafas yang hilang; setiap hektar hutan yang habis adalah doa yang tak sampai.
Gerakan #TutupTPL kini bukan sekadar slogan, melainkan panggilan nurani seluruh rakyat Sumatera Utara untuk menegakkan keadilan ekologis.
Sudah saatnya pemerintah tidak lagi menutup mata. Desakan rakyat harus dijawab dengan tindakan nyata: cabut izin TPL, pulihkan hutan, dan kembalikan hak masyarakat adat.
Karena perjuangan ini bukan milik Togu saja. Ini perjuangan semua orang yang masih percaya bahwa tanah, air, dan udara adalah anugerah Tuhan, bukan komoditas korporasi. #TutupTPL #SelamatkanTanahBatak #TobaTanpaLuka #ToguSimorangkir #HKBPBersuara.(BS-AsenkLeeSaragih)



0 Komentar