Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Sidang Majelis Pendeta GKPS, Sebuah Pergumulan Bersama Menuju Tahun Kemandirian Bertheologia

ILUSTRASI-BUNGA DAN PANORAMA DANAU TOBA. Foto FB Defri Judika.

Oleh: Pdt Defri Judika Purba
 
Beritasimalungun-Tiga hari ini saya mengikuti sidang majelis pendeta GKPS, di toledo inn, pulau samosir. Sidang ini adalah pertemuan rutin yang dilaksanakan sekali setahun dan diikuti semua pendeta aktif dan pensiun yang melayani di GKPS.

Sesuai dengan tujuannya, sidang ini adalah wadah untuk membicarakan semua dinamika pelayanan yang terjadi di GKPS. 

Dinamika disini menyangkut tentang persoalan yang terjadi di setiap jemaat dan resort serta tantangan yang dihadapi dalam kehidupan bergereja saat ini. Setiap dinamika tersebut dikaji, diperdebatkan dan digumuli bersama dalam semangat peningkatan pelayanan yang lebih meningkat dan bermutu di tengah-tengah jemaat.

Sidang majelis pendeta tahun ini terasa berat dari sisi materi rapat dibanding tahun sebelumnya, minimal bagi saya pribadi. Kenapa berat? karena sidang kali ini mendiskusikan tentang hal yang mendasar dalam kehidupan bergereja. 

Hal yang mendasar disini menyangkut tentang apa yang diimani gereja ini (baca:GKPS), serta bagimana gereja ini dengan perangkat di dalamnya mencoba menyeragamkan gerak dan derap pelayanan dengan benar, tepat, lincah dan menjawab jaman.

Baiklah saya menyederhanakan apa yang saya tulis di atas dengan beberapa contoh dinamika pelayanan yang terjadi.

Kasus pertama. Terjadi kebingungan di antara jemaat -sebagian pendeta juga- kalau ada di jemaat yang meninggal karena bunuh diri, apakah yang meninggal tersebut dapat di agenda i oleh gereja?

Sebagian ada yang menolak, sebagian lagi ada yang memperbolehkan. Satu argumen menyatakan: agenda penguburan itu bukan dalam fungsi dogmatis tetapi dalam fungsi pastoral (kepada orang yang hidup/keluarga), sementara argumen yang lain menyatakan: orang yang meninggal karena bunuh diri tidak patut untuk menerima agenda penguburan karena dianggap sudah menyia-nyiakan anugrah Allah.

Bagaimanakah seharusnya dan sebenarnya?
Kasus kedua. Apakah diperbolehkan anak-anak dan orang yang dikenai siasat gereja menerima anggur dan roti dalam perjanjian kudus? 

Praktek selama ini, tidak memperbolehkan itu terjadi. Apa argumen dan landasan theologisnya? Sebagian berpendapat, perjamuan kudus kepada anak-anak tidak diperkenankan karena perjamuan kudus itu harus disertai dengan pemahaman dan pengakuan akan kesadaran diri di hadapan Allah, sementara dari sisi perkembangan anak (motorik-sensorik-intelegensia) tidak memungkinkan itu terjadi. 

Nah, timbul lagi pertanyaan sanggahan, kenapa anak bisa menerima baptisan sementara dia belum bisa mengerti itu juga?

Pada kasus orang yang kena hukum siasat gereja yang tidak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus, ada argumen menyatakan: Penangguhan itu diberlakukan agar orang tersebut bisa menyadari dosa pelanggarannya. 

Argumen ini pun disanggah: Bukankah anugrah Tuhan itu diberikan kepada semua orang berdosa dan mengganggap dirinya tidak layak di hadapan Tuhan? Bukankah larangan tersebut secara tidak langsung bisa membuat pemahaman ada orang yang merasa berhak dan tidak berhak untuk mengikuti perjamuan kudus di tengah-tengah jemaat?

Bagaimanakah seharusnya dan sebenarnya?

Kasus ketiga. Peranan kehadiran pelayan di tengah-tengah jemaat bagaimanakah seharusnya? Apakah syamas itu adalah jenjang untuk bisa menjadi sintua? 

Kalau demikian bukankah itu secara tidak langsung membuat hirarki dalam kehidupan berjemaat? Padahal kita mencoba menjauhkan hierarki itu dalam kehidupan bergereja. 

Kalau demikian, bukankah lebih baik jabatan syamas itu adakah jabatan tahbisan? Artinya kalau seseorang itu diangkat menjadi syamas, maka jabatan itu akan melekat padanya seterusnya, tanpa dia harus menjadi sintua. Yang membedakan jabatan itu semua hanya pada masalah tugas dan fungsi masing- masing.

Bagaimanakah seharusnya dan sebenarnya?

Kasus ke empat. Bagaimanakah menghadirkan konsep pelayanan yang benar-benar bisa menjawab jaman? Apakah dengan sistem kepengurusan saat ini (Jemaat-Resort-Pusat) bisa menghadirkan pelayanan yang dibutuhkan oleh jemaat? 

Apakah kehadiran pelayan di satu resort dengan berbagai jumlah jemaat yang berbeda bisa benar-benar maksimal melayani? Apakah tidak memungkinkan pembentukan resort khusus yang tidak didasarkan berdasarkan jumlah jemaat melainkan kepala rumah tangga saja?

Bagaimanakah seharusnya dan sebenarnya?

Kasus kelima. Bagaimanakah kedudukan pimpinan pusat yang sebenarnya dan sebaiknya? Apakah dengan sistem yang saat ini (dwi tunggal-kolektif-kolegial) masih relevan dan dibutuhkan?

Sistem saat ini "kuasa" itu seolah begitu besar kepada pimpinan pusat dan berpotensi untuk disalahgunakan, entah siapa pun pimpinan pusat nya. Bukankah lebih baik ada sharing kuasa dengan pemberdayaan distrik, misalnya?

Bagaimanakah seharusnya dan sebenarnya?

Masih banyak kasus yang bisa ditambahkan sebenarnya. Tetapi untuk tulisan singkat ini, saya membatasi hanya itu saja.

Nah, dengan berbagai kasus pelayanan yang saya sebutkan di atas, bagaimanakah jawaban yang seharusnya dan sebenarnya?

Hal inilah yang begitu memberatkan menurut saya pribadi sesuai yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Tidak mudah untuk menjawabnya apalagi kalau didasarkan pada landasan theologi yang benar.

Karena itulah, saya pribadi yang mengikuti persidangan ini benar-benar belum bisa sampai pada bagaimana seharusnya dan sebenarnya. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh beberapa teman yang lain.

Saya melihat persidangan begitu alot dengan berbagai taburan ide dan gagasan yang brilian. Hal ini terutama terjadi ketika mengkaji tata dasar dan tata laksana yang sedang digumuli.

Apa itu Tata dasar dan tata laksana?

(Tata dasar adalah istilah yang menggantikan Tata gereja dan Tata laksana adalah istilah yang menggantikan ad/art yang selama ini kita kenal)

Apakah Tata gereja dan Ad/art kita sudah berubah?

BELUM BERUBAH tetapi akan diubah dan berubah. Kenapa perlu diubah dan berubah? Jawabannya adalah: Untuk menjawab semua beberapa kasus yang saya angkat di awal tulisan ini. 

Tata gereja dan Ad/ART kita selama ini dirasa tidak cukup untuk bisa menjawab pertanyaan seperti kasus yang saya angkat di atas. Perubahan jaman dan dinamika pelayanan yang begitu cepat dan beragam menuntut gereja pun harus memberi tanggapan yang cepat, benar dan mendasar secara teologis.

Seperti itulah dinamika persidangan kali ini saya amati. Ibarat memasak makanan, makanan yang dimasak kali ini adalah rendang daging lembu. Untuk memasaknya membutuhkan ketelatenan, kecermatan dan waktu yang begitu lama. Tidak boleh terburu-buru. Beda misalnya dengan memasak telur dadar. Prosesnya sangat cepat dan instan.

Atau ibarat membangun rumah, waktu selama tiga hari ini adalah waktu untuk meletakkan dasar bangunan "theologia" itu dengan hati-hati. Semua berkontribusi dengan ilmu dan pengalaman masing-masing. 

Ada kalanya dasar yang sudah dipasang dibongkar lagi karena kurang tepat. Dipasang dibongkar, dipasang kemudian dibongkar lagi. Prosesnya sungguh melelahkan bahkan kadang menjemukan dan membosankan. 

Walau demikian proses ini harus tetap sabar dijalani agar rumah yang kita tempati ini (baca:GKPS] adalah rumah yang aman dan nyaman untuk ditempati oleh semua warganya. semua orang yang ada di dalamnya memiliki hidup yang tertib, disiplin dan berpijak pada dasar yang kuat.

Rumah yang dibangun begitu kuat sehingga tidak mudah roboh serta yang paling utama mampu menjawab perkembangan jaman.

Tulisan ini pun ibarat makanan yang belum siap untuk dihidangkan dan kita nikmati bersama. masih dibutuhkan peranan dari kita semua untuk meraciknya menjadi makanan yang benar-benar sesuai dengan lidah dan kondisi kita masing-masing. ketika kita semua berperan serta maka makanan yang kita masak bersama pun (baca: Theologia] benar-benar menjadi milik kita bersama. Selamat bergumul. Bahapal Raya, 18 Januari 2019.(*)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments