Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Melodi Simalungun Telah Lari

Semangat janah sehat homa ham inang Menna Saragih Boru Purba, ase boi pangguruan nami tarlobih na laho mambahen Pagelaran " Jambar ni Loja" on.Foto FB Jhon E Saragih

TARALAMSYAH, STATE OF THE ARTS 

"Lagu-lagu pop Simalungun sekarang, adalah lagu-lagu yang tinggal bahasanya saja masih Simalungun. Kekhasan melodi Simalungun sudah nihil, dan melodinya tidak lagi berbeda bahkan sudah membaur dengan melodi non-Simalungun. Melodi Simalungun sudah lari dan turut arus non-Simalungun." -- Menna Purba Sigumonrong....

KETIKA latihan tari, lekukan jemari saya tidak seperti yang dia inginkan. Dia pun langsung membengkokkan jemari saya sehingga cocok dan terlihat pas untuk tampilan seorang penari.
Demikian penuturan Arthy Saragih Sumbayak, kelahiran 1963. Dia pernah dilatih tari secara langsung oleh Taralamsyah. Saat itu dia berusia di bawah 10 tahun. Dia dilatih bahkan dihardik di hadapan ayah ibunya.

Djawalim Saragih Sumbayak, ayahnya, dan Menna Purba Sigumonrong, ibundanya, tidak keberatan pada disiplin Taralamsyah yang diterapkan tegas. “Karena kita memang paham kualitas Taralamsyah,” kata Menna yang berusia 87 tahun saat wawancara di tahun 2014.

“Terasa tegas tetapi sekarang saya melihat sisi positifnya,. Itu bagus untuk saya. Kini saya adalah seorang pelatih tari yang sangat beruntung pernah dia latih,” kata Arthy yang memanggil Taralamsyah, Oppung (kakek). Ini karena Taralamsyah adalah Tulang (paman) Menna, ibunya Arthy.

Karya Taralamsyah adalah “state of the art". Ini merujuk pada kagungan sebuah melodi, dengan teknik yang rumit, jelimet dan memang membuatnya susah diikuti.

Taralamsyah lebih banyak dikenal sebagai komposer lagu. Itulah kenangan yang paling menonjol darinya. Akan tetapi dia paham tari, hingga paham adat Simalungun. Taralamsyah bisa berang jika segala sesuatu terkait detail-detail tari, lagu, adat melenceng walaupun itu hanya pelencengan sedikit.

Begitulah Taralamsyah. Itulah karakternya. Sedikit pun dia tidak berkompromi soal penodaan sebuah karya. “Jika urutan tari salah sedikit saja di tengah latihan, maka dia akan paksakan agar semuanya diulangi dari awal lagi,” kata Menna.

Menna pun mengalami hal itu saat latihan musik bersamanya di grup Orkes Nalaingan. Di orkes ini Menna menjadi salah satu penyanyi dan Taralamsyah memegang instrumen akordion. “Sedikit saja dia mendengar nada suara atau nada musik yang sumbang, dia akan memberi kode dengan merusak sekalian suara akordion lalu dia berhenti untuk memberi kode adanya kesalahan. Dia memang disiplin soal keseriusan dalam berlatih,” kata Menna.

Ada sedikit persoalan bagi beberapa seniman, apalagi khalayak, soal karakternya terkait kualitas itu. Karena Taralamsyah itu jeli dan peka, maka mereka yang membawakannya tidak persis seperti yang dia inginkan maka dia akan marah. “Kau pikir ini lagu gereja?” demikian pernah Taralamsyah menghardik salah satu personel Orkes Nalaingan yang salah mengikuti melodi. Lagu-lagu gereja di Simalungun memang pada umumnya lebih sederhana dibandingkan dengan karya-karya Taralamsyah.

Maksud Taralamsyah, melodi asli Simalungun itu pada dasarnya tidak mudah. Liukan melodi, hentakan lagu dan perubahan not demi not melompat rumit. Otak dan mulut kadang menjadi sering tidak mudah padu saat menyanyikan lagu karyanya.

Menurut Menna, ada kemiripan melodi Simalungun dan lagu rakyat Mandarin.
Mungkin ini pengaruh musik China daratan yang sejak dulu memang sudah memiliki banyak hubungan dengan Sumatera dan juga Simalungun. “Akan tetapi melodi khas Simalungun itu memiliki liukan yang memunculkan bunyi khas Simalungun. Salah sedikit saja akan mudah membuat melodi Simalungun terjerembab dan berubah ke melodi lagu rakyat China,” kata Menna.

Melodi lagu China daratan terlalu banyak liukan sementara Simalungun lebih simpel. Melodi Simalungun terdengar lebih indah karena liukan tidak terlalu banyak. Namun demikian karya Taralamsyah tetap tergolong jelimet. Hal ini membuat banyak orang Simalungun hingga pemusiknya sekalipun sulit membawakan lagu karya.

Taralamsyah. Ini terkecuali karyanya diubah dengan aransemen lebih sederhana meski masih tetap enak didengar. Akan tetapi jika Taralamsyah masih hidup, “Dia pasti tidak suka akan hal itu.”
Maka tidak heran, tidak banyak orang yang bisa mengikuti pola Taralamsyah. “Tidak banyak etnis Simalungun yang bisa sabar melatih diri mengikuti melodi karya Taralamsyah,” kata Menna. Akan tetap hal itu sebenarnya lebih disebabkan sikap enggan untuk memaksakan diri berlatih.

Pahit katanya, orang kebanyakan tidak mau repot dan tidak mau berlelah-lelah sedikit. Inilah salah satu yang membuat Taralamsyah sangat kecewa pada etnisnya. Karyanya, yang menjadi bagian dari cagar musik asli Simalungun , tidak bisa diikuti oleh etnisnya. Bahkan kemudian dia menerjemahkan itu sebagai ketidaksediaan Simalungun mempertahankan kualitas asli budayanya.

Inilah yang membuat Taralamsyah pernah mengeluarkan kalimat, “Seng ihargai Simalungun, budaya Simalungun.” Artinya, “Simalungun itu tidak menghargai budayanya sendiri.”

Ketidaksediaan untuk sedikit repot, dan ketidaksiapan untuk sedikit lelah, telah membuat melodi pop Simalungun sekarang tak lagi unik. "Kini lagu pop Simalungung hanya bahasanya yang masih SImalungun. Melodi Simalungun telah ikut arus, misalnya ke arus melodi Toba. Perginya Taralamsyah telah pergi pula kekhasan melodi itu. Kita ikut arus sudah," kata Menna.

Padahal menurut Menna, sebuah pertunjukan besar dan berkualitas serta mampu meninggalkan kesan berarti adalah hasil dari upaya keras. Pertunjukan besar dan kekhasan sebuah melodi etnis, katakanlah etnis Simalungun, seperti pernah dibuktikan di masa lalu, adalah konsistensinya pada melodi sendiri.

Menna benar. Ketersohoran dan kelestarian serta kelanggengan sebuah opera Barat misalnya, justru terjadi akibat karakter musik dan koreografi di opera itu yang lebih rumit bahkan amat sulit. Begitu sulitnya sehingga hanya orang-orang yang bertalenta luar biasa yang bisa membawakannya.

Taralamsyah ingin Simalungun yang sebenarnya memiliki seni state of the art itu bertahan dengan kualitas. Karakter seperti ini turun ke anak-anak asuh Taralamsyah. Bahkan karakter seperti itu tetap dipegang kuat oleh putra kandungnya, Edy Taralamsyah.

Mereka adalah orang-orang yang ketat memelihara kulitas, entah itu berat untuk pelatihan. “Jika hanya untuk sebuah pertunjukan abal-abal, lebih bagus saya tidak usah bekerja pada sebuah pagelaran Simalungun,” kata Edy Taralamsyah terkait sebuah rencana pagelaran kolosal Simalungun.

Namun demikian jangan salah tangkap dengan Taralamsyah. Di dalam latihan dia keras dan tegas. Di luar latihan dia adalah pribadi yang lembut, baik, bersahaja dan amat penolong. “Lepas latihan, dia seperti sebuah pribadi yang lain, seorang yang perhatian dan sangat solider pada nasib kawan-kawannya,” demikian Menna.

Hanya saat latihan dia seperti lupa segalanya karena sangat fokus pada kualitas. Dia memang terbenam total pada karya dan kualitas karya. Dia menjadi seperti unik, dan seperti seorang yang tersendiri soal seni. Di luar itu, Taralamsyah adalah milik semua, yang membuat semua rekannya turut menangis saat Talalamsyah harus pindah ke Jambi. Ini karena kepribadiannya yang di atas rata-rata dalam hubungan sosial.(Oleh Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments