Info Terkini

10/recent/ticker-posts

AIH… NGERI KALI LAH KAMI WAKTU ITU


* Kisah Tuan Ramahadin Lewat Penuturan Putrinya
“Aih, ngerilah kami kalau ingat masa kecil itu. Kami sama sekali tidak bisa berhubungan dengan warga sedesa dan harus mengungsi ke lembah-lembah di harangan dekat desa kami. Saudara yang ingin menolong pun tidak berani karena takut dicap antek-antek kerajaan pro-Belanda.”

Demikian penuturan Siti Morentina Damanik, kelahiran Sidamanik, 5 Desember 1937. Dia adalah putri dari Ramahadin Damanik, Raja Sidamanik, kelahiran 19 Januari 1900 dan wafat pada 19 Januari 1956 lalu di Pematang siantar.

Ramahadin tidak dieksekusi di awal revolusi sosial yang berkecamuk tahun 1946. Ramahadin selamat karena diamankan putranya Djariaman Damanik yang saat itu anggota CPM (tentara). Akan tetapi kisah keluarga ini tidak kalah mengharukan.

` Saragih Ras, kepala gerombolan dan eksekutor ningrat maupun elite Simalungun, adalah pihak yang langsung memimpin perburuan Ramahadin ke Sidamanik. “Hanya saja gerombolan melihat lembah dan laut. Mereka tidak bias melihat jalan menuju desa tempat kami tinggal,” demikian kata Siti Morentina.

Para gerombolan terkena ilusi sehingga berjam-jam kebingungan mencari jalan menuju rumah Ramahadin. “Akhirnya gerombolan kemalaman dan memilih balik saja tetapi merencanakan untuk datang esok harinya,” kata Siti Morentina.

Tidak bisa dijelaskan secara logika mengapa Saragih Ras gagal menuju rumah Ramahadin. Akan tetapi hal itu telah membantu keselamatan Ramahadin. Kisah soal kebingungan menemukan jalan merupakan sebuah cerita legenda di Simalungun zaman dulu, lepas dari benar tidaknya semua itu. Akan tetapi alasan itulah yang terdengar saat Saragih Ras gagal menuju rumah Ramahadin.

Pada saat gerombolan Saragih Ras mengurungkan niat, Djariaman datang menjemput ayahnya. Ini karena Djariaman mendengar para raja Raya, Panei, dan raja-raja di lokasi lain sudah dieksekusi. “Tinggallah kami sementara, Inang dan kami kakak beradik termasuk abang saya Sarman Damanik SH,” kata Siti Morentina.
Tuan Padi Raja termasuk pihak yang turut membantu penyelamatan Ramahadin karena jaringannya yang masih ada di Markas Agung. Karena itu mereka selamat dari eksekusi tahap awal, yang telah menewaskan Raja Raya, Jan Kaduk pada Maret 1946.

Akan tetapi periode 1945-1951 adalah puncak kegentingan RI yang relatif berlangsung lama. Musuh negara bukan lagi Jepang dan Belanda semata tetapi juga laskar-laskar revolusi yang ingin menghabisi para raja dan sejumlah elite. Hal ini semakin memanas dengan kedatangan kembali Belanda pada 1947.

Keadaan di Siantar kacau balau dengan kehadiran pasukan Belanda. Rakyat dan kerajaan pun serba bingung. Ada ancaman atas kedatangan kembali Belanda, dan ada acaman dari laskar revolusi yang juga telah mengorbankan rakyat tak berdosa karena salah bidik, maupun karena ada unsur dendam.

Di tahun 1947 ini, keadaan anarkis menimpa negara termasuk wilayah para raja Simalungun. Para raja kembali mengamankan diri atau diamankan sebisa mungkin, baik oleh para tentara yang tidak setuju cara revolusioner mapun jaringan-jaringan para kerajaan yang punya relasi di TKR.

Djariaman termasuk yang mengamankan kembali ayahnya Ramahadin. Sejumlah raja seperti Tuan Mogang termasuk yang diamankan dengan lokasi di RS Umum Pematang Siantar. Hanya saja Tuan Mogang tampak seperti ketakutan dan merasa tidak nyaman diempatkan di Rumah Sakit Umum Pematang Siantar.

“Saya sebenarnya sudah menahani Tuan Mogang. Ijon ma hita, amanan do ijon, tapi ai ma, lang rah ia,” kata Ramahadin menuturkan kepada putra-putrinya kisah tentang Tuan Mogang.

“Lang Oppung, lao ma lah au mangalop anak-anak,” demikian jawab Tuan Mogang kepada Ramahadin.
Tuan Mogang pun akhirnya keluar dari rumah sakit dengan menyeberangi Bah Bolon, dekat RS Umum Pematang Siantar. Di dalam perjalanan Tuang Mogang tertangkap para laskar yang memang berkeliaran mengawasi jalur-jalur utama.

Tuan Mogang pun dieksekusi pada Agustus 1947. “Anggo sabar nean bana, mungkin boi do selamat,” kata Ramahadin, yang selamat dari aksi revolusi.

Ramahadin pun sebenarnya sama seperti Tuan Mogang. Dia khawatir dengan keadaan anak-anak dan istrinya, yang sempat ditinggal sementara saat Ramahadin diamankan. Ketika dia diamankan, anak-anak dan istrinya tinggal di kampung.

Kepada putranya yang tentara, ada dua orang, termasuk Djariaman, Ramahadin mengatakan tidak mau tinggal sendirian dan ingin balik ke kampung demi anak-anak dan istri. Karena itu Djariaman datang dalam situasi yang tidak aman untuk menjemput ibu dan adek-adeknya.

Jadilah mereka tinggal bersama di rumah sakit. Akan tetapi Siti Morentina sempat mengalami kepahitan hidup sebelum dijemput Abangnya Djariaman. Saat berada di kampung di situlah mereka merasakan kepedihan. “Kami hidup tanpa perlengkapan apa pun seperti biasanya, termasuk tanpa sabun mandi. Saat keadaan aman, setiap kali bapak pulang dari Siantar selalu membawa semua keperluan,” kata Siti Morentina.

“Kami mengungsi di luar desa di Sidamanik. Kami masih ingat celotehan warga tentang kami. Tidak ada satu pun yang sudi menolong. Bahkan kami sempat merasa ngeri ketika para warga berkata, bahwa semua unsur-unsur kerajaan akan dihabisi sampai ke akar-akarnya.”

Ada keluarga dekat yang simpati dan turut prihatin serta ingin menolong saat pengungsian itu. Akan tetapi sanak saudara pun tidak kuasa membantu. “Ada tutur makkela. Dia tahu kalau Inang punya kebiasaan makan sirih. Makkela ini paham jika Inang pasti kehabisan sirih. Lalu makkela mencari cara. Dia diam-diam meletakkan sirih saat tak ada orang melihat di sebuah lokasi dekat kami mengungsi.”

“Namun secara umum nenar-benar tidak ada yang mau menolong kami. Aih, ngeri kalilah kami waktu itu,” kata Siti Morentina, putri dari Inim Saragih Turnip, istri Tuan Ramahadin.

Untuk mendapatkan beras, kami harus memetik cabe, pisang untuk dijual ke pekan. Dari kehidupan yang sebelumnya relatif enak, saat pengungsian itu kami terisolasi total. Di mata rakyat sekitar, mereka seperti berstatus persona non-grata. Status dikucilkan itu memerihkan.

“Padahal bapak itu sangat baik sebenarnya pada rakyat. Saya merasakan itu sebelum revolusi. Sebaliknya rakyat pun menyukai bapa,” kata Siti Morentina.

Saat di pengungsian, kami sering terkaget-kaget dan hidup seperti menantikan ajal saja rasanya. “Setiap kali kapal terbang Belanda muncul, kami langsung bersembunyi ke lembah agar tidak terlihat,” lanjut Siti Morentina.

"Begitulah kami, hidup dalam ketakutan, untung ada Inang sebagai penguat. Hingga suatu hari kami dikejutkan dengan kedatangan pasukan. Kami kira pasukan Belanda ternyata Abang rupanya yang datang,” kata Siti mengenang kedatangan Djariaman untuk menyelamatkan mereka.

Mereka pun dibawa ke Pematang Siantar. Hal ini membuat mereka kerap bertemu Ramahadin yang diamankan di RSU. Keluarga sering datang menjenguk sekaligus membawa makanan. Namun kunjungan ke rumah sakit bukan hal menyenangkan. Di dalamnya banyak ningrat yang diamamkan dengan konsumsi tidak memadai.

“Saat kita lewat sejumlah penghuni menengadahkan selimut untuk menampung nasi yang kita beri. Ini karena piring pun tidak ada. Kita berilah makanan di selimut dan mereka langsung memakan lahap sangkin laparnya. Kasian.”

Akhirnya, syukurlah keadaan aman juga. Ramahadim pun luput dari eksekusi dan baru meninggal pada tahun 1956. “Kita pun menetaplah di Pematang Siantar, dan kemudian kami anak-anak bapa melanjutkan sekolah.”

Namun demikian di saat keadaan aman, tradisi melayani rakyat dilanjutkan. “Kita sering mengadakan acara untuk kumpul saat pesta dan makan bersama sedesa.” Sama seperti banyak keluarga ningrat lain yang selamat dan memaafkan, keluarga Ramahadin pun melakukan itu. Mereka memaafkan.(Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments