Kisah seniman besar Batak Simalungun, Taralamsyah Saragih (1918-1993), kini "dihidupkan" dan dihadirkan lagi ke tengah-tengah masyarakat dalam buku karya Simon Saragih (Wartawan Senior Kompas) |
BeritaSimalungun.com, Pematangsiantar-Untuk mengenang seniman besar Simalungun Taralamsyah Saragih,
Garingging Production akan menggelar acara “Taralamsyah Night” yang
berisikan pagelaran lagu-lagu karya Taralamsyah Saragih.
Direncanakan“Taralamsyah Night” akan dilaksanakan di Pematangsiantar.
Demikian dikatakan Jahenson Saragih Direktur Garingging Production
kepada SS Rabu (3/8/2016).
Jahenson Saragih mengatakan dari sekian
banyak lagu-lagu Simalungun karya Taralamsyah Saragih cukup fenomenal
nuansa khas Simalungun nampak terdengar pada lagu-lagu Simalungun
ciptaan Taralamsyah Saragih.
Kaum muda Simalungun diharapkan dapat lebih
mengapresiasi lagu-lagu Taralamsyah Saragih untuk itulah kami
berinisiatif melakukan acara ini ujarnya.
Dikatakan Jahenson
Saragih Taralamsyah Saragih lahir di lingkungan Rumah bolon (Istana) di
Pamatang Raya – Simalungun, Tanggal 18 Agustus 1918. Menikah saat
berusia 26 tahun dengan Siti Mayun br Regar pada Sabtu 25 November 1944,
dan dianugrahi 3 orang putra dan 9 putri. Perjalanan hidup Taralamsyah
Saragih sungguh menarik untuk direnungkan .
Jahenson menjelaskan dari
berbagai sumber dirinya mengetahui bahwa Ketika revolusi berdarah
meletus Tahun 1943, Taralamsyah Saragih berusia 28 tahun, masa dimana ia
memasuki fase produktif dan sedang dalam memiliki gairah yang tinggi
menjalani aktivitas kesenian di Kota Pematangsiantar.
Dan karena ia anak
Raja, nyawanya terancam, sebab revolusi itu memang gerakan revolusioner
melawan dan menghabisi sultan dan raja-raja. Taralamsyah berhasil lolos
karena mengungsi ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan seterusnya
berlayar ke Aceh.
Kita bisa membayangkan kemelut jiwanya di tanah
rantau sebagai pengungsi, bergetar membayangkan ia bersama beberapa
sanak saudara mengarungi Samudera Hindia yang ganas dalam pelayaran dari
Padang menuju Aceh.
Sementara di tanah kelahiran, sanak saudara yang
lain tewas dibantai pasukan revolusi, termasuk salah seorang abangnya.
Pedih memang.
Revolusi atau perang, memang selalu berakhir dengan
tragedinya yang kompleks. Ia tidak hanya merenggut nyawa, tapi lebih
dari itu: kejayaan suatu tamadun (puak), akan turut hancur dan runtuh.
Ikon-ikon kebudayaan ikut lenyap, warisan-warisan peradaban bernilai
tinggi turut raib, dan zaman kemudian menyisakan generasi traumatis yang
menghindar dari nilai-nilai budaya kebangsawanan, termasuk tautan
historis di dalamnya, yang dipaksa terbelenggu dalam lupa.
Pada
masa itu jualah sastrawan ternama Indonesia, Amir Hamzah, menemui
ajalnya di tangan ‘rakyat revolusioner’ itu. Hanya saja, Amir Hamzah
sudah terlebih dahulu memahat prasasti lewat karya-karya, sehingga
kenangan atasnya lebih bersinar.
Tapi tokoh-tokoh seniman di Simalungun
seolah tak ada yang tersisa. Tak terperikan memang rasa sakit
membayangkan tragedi itu, sehingga banyak orang tak ingin membahasnya
lagi. Masa lalu biarlah jadi masal lalu.
Setelah situasi politik di
Sumatera Timur kembali normal, Taralamsyah kembali ke Medan. Di Aceh,
dia sempat meninggalkan jejak sebagai seniman sejati.
Di tanah Kutaraja
itu, dia memberikan pelatihan musik kepada tentara. Dan kegiatan
berkesenian itu terus berlangsung setelah ia berada di Medan.
Demikianlah, ia mengabdikan jiwa-raga dan seluruh kehidupannya untuk
kesenian, terutama mencipta tortor (tarian), lagu-lagu Simalungun,
sebagian lagu Karo dan tari-tarian Melayu. Setiap orang tentu tahu Tari
Serampang Dua Belas yang diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, dan
konon, Taralamsyah Saragih bersahabat karib dengan Sauti, pencipta Tari
Serampang 12 itu.
Kita tidak tahu ‘dendam apa’ yang menyebabkan
Taralamsyah pergi dan berlalu meninggalkan Simalungun. Apakah ia
meninggalkan tanah kelahiran karena alasan ekonomi?
Saya kurang percaya
tentang itu, sebab di Medan, ia terbilang populer dan rutin mentas, juga
menjadi salah satu dosen di Universitas Sumatera Utara (USU). Ketika
orang-orang Simalungun asyik menikmati tari-tarian dan lagu-lagu
gubahannya, tiada yang tahu bahwa sesungguhnya ia telah hijrah ke Jambi,
dan dan di tanah Melayu itulah dia wafat dan dimakamkan.
Kadang-kadang, saya geram membayangkan, betapa tercerai-berainya kita.
Raja Siantar Sangnaualuh diasingkan ke Tanah Melayu, Bengkalis, Riau,
dan juga menjadi pahlawan yang dihormati di negeri itu.
Tentang ini,
saya kadang-kadang rindu melihat Raja Sangnaualuh dari kacamata rakyat
Bengkalis, yang sayangnya, hingga saat ini tak saya dapatkan
referensinya. Tapi berdasarkan bincang-bincang beberapa tahun silam,
budayawan Riau Hasan Junus berkata, Raja Sangnaualuh sangat terhormat di
mata rakyat Bengkalis, bahkan sebagian mengganggapnya orang Melayu.
Kita tidak tahu, seberapa banyak sesungguhnya tokoh-tokoh bangsawan dan
terpelajar Simalungun berdiaspora ke berbagai negeri, baik akibat
situasi politik maupun karena kenginannya, seperti Taralamsyah yang
memilih mengakhiri segalanya di Jambi.
Penguasaan beliau
terhadap seni musik, khususnya gual Simalungun, sulit kita temukan
tandingnya pada saat ini. Saat sebelum Revolusi Sosial 1946, Taralamsyah
Saragih pernah menjelaskan bahwa sangat banyak jenis musik khas
Simalungun yang dahulu mereka pelajari, namun saat Revolusi Sosial
tersebut, sekian banyak peralatan musik Simalungun yang kini tidak kita
temukan lagi, turut terbakar di dalam istana kerajaan Raya.
Dalam
ranah tari Simalungun, banyak jenis tari lahir dari koreografinya.
Sebut saja tari Sitalasari (1946), Pamuhun, Simodak odak, Haro-haro
(1952), Sombah ( merupakan penyelarasan tortour Sombah yang telah lahir
dari akar leluhur, 1953), Runten Tolo (1954), Nasiaran (1955), Makail,
Manduda (1957), Haroan Bolon (1959), Uou (1960), Tembakan (1964), Panak
Boru Napitu (1966), Erpangir (1968) serta banyak lagi tari dan
sendratari yang ia ciptakan dari tangan dinginnya.
Taralamsyah
Saragih telah banyak menciptakan lagu Simalungun, sebut saja: Lagu Eta
Mangalop Boru, Parmaluan, Hiranan, Inggou Parlajang, Tarluda, Parsonduk
Dua, Padan Na So Suhun, Tading Maetek, Pamuhunan, Paima Na So Saud,
Sihala Sitaromtom, Sanggulung Balunbalun, Ririd Panonggor, Marsalop Ari,
Mungutni Namatua, Pindah-Pindah, Inggou Mariah, Uhur Marsirahutan,
Poldung Sirotap Padan, Bujur Jehan, Simodak Odak (ciptaan bersama dengan
Tuan Jan Kaduk Saragih), serta yang lainnya.
Ada pula beberapa
lagu tradisi Simalungun yang ia gubah kembali, seperti Parsirangan ,
Doding Manduda (ilah tradisi dari Ilah I Losung), Ilah Nasiholan,
Marsigumbangi dan Na Majetter (ilah tradisi dari Ilah Bolon).
Terus
menghidupkan kesenian dan berkarya, begitu mungkin yang ditekadkan
Taralamsyah Saragih dalam mengisi kehidupan. Walaupun hujan duit belum
dan tak akan pernah ia rasakan, tapi Sang Bangsawan ini telah melahirkan
banyak karya yang belum pernah dimasukkan dalam Hak Kekayaan
Intelektual itu.
Tepat pada hari Senin tanggal 1 Maret 1993 di
Jambi, Tuan Taralamsyah Saragih Garingging menghembuskan nafas terakhir,
disaat sedang menyusun dan ingin merampungkan Kamus Simalungun yang ia
susun dari tahun 1960-an dan hingga kini belum diterbitkan.(*)
Sumber: Suara Simalungun Edisi 691
0 Comments