INDEKS BERITA
13:45
SIMALUNGUN | Beginilah kalau pemborong tidak profesional. Proyek
jalan rabat beton TA 2014 masih belum dikerjakan, tapi pemborongnya
menutup jalan warga Dusun IV Nagori Karang Bangun Kecamatan Siantar
Kabupaten Simalungun dengan bertruk-truk batu kerikil.
Warga yang setiap hari menggunakan jalan desa itu untuk beraktivitas, tentu saja berang. Warga bernama HM Sinaga, Kamis (20/3/2014) mendatangi pemborong yang kebetulan sedang menurunkan batu krikil dari truk berbadan besar.
Ketika ditanya kenapa jalan ditutup gundukan batu kerikil sehingga tidak dapat dilalui warga dan angkutan desa, padahal pembangunan belum dikerjakan? Pekerja yang menurunkan menjawab anteng; “Ini proyek pemerintah pak, itu pemborongnya,” tunjuk seorang yang menurunkan batu kerikil itu.
Mendapat pertanyaan dari warga, pemborong mengaku bermarga Nainggolan itu menjawab kalau batu kerikil itu untuk membangun jalan. Ketika ditanya kenapa harus ditumpuk di tengah ruas jalan dan tidak dipinggir karena angkutan desa dan becak barang warga tak bisa lintas? Marga Nainggolan itu malah berkelit, nanti akan dipinggirkan.
Tapi kenyataannya, hingga mereka meninggalkan lokasi, batu kerikil itu masih dibiarkan menumpuk di tengah ruas jalan Dusun IV Nagori Karang Bangun itu.
Lebih menjengkelkan lagi, pemborong itu malah mengaku kalau dirinya anggota salah satu LSM. Hal ini terucap ketika warga yang memprotes tersebut memperkenalkan diri sebagai wartawan. “Sama-sama orang pasarannya kita lae, saya juga LSM,” ujar marga Nainggolan itu.
HM Sinaga sengaja mendatangi pemborong di lokasi karena warga lainnya keberatan batu kerikil diletakkan menggunung di tengah jalan.
“Saya tadi ditelepon warga yang juga kesal melihat ulah pemborong tadi. Kok tak pakai akal sehat, batu diletakkan hingga menututp ruas jalan. Padahal proyek ini belum dikerjakan. Ditaruh dipinggir jalan kan lebih baik, agar warga tidak terganggung lewat. Kami di desa ini juga cari makan, butuh jalan ini untuk dilalui. Kecuali kalau jalan sudah mulai dikerjakan, mungkin tak ada masalah. Kami juga maklum,” tegas HM Sinaga.
Sementara Ketua Umum DPP LSM Macan Habonaron Jansen Napitu dan Direktur Eksekutif LSM Toppan RI menyesalkan sikap pemborong yang dianggap tak tahu peraturan itu.
Kedua aktivis yang dikenal vokal itu mengatakan, setiap proyek yang didanai pemerintah tidak boleh dikerjakan asal-asal, semua ada peraturannnya atau juklak dan juknisnya.
Seperti yang di Dusun IV Karang Bangun itu misalnya, kalau pekerjaan belum dimulai, maka sangat salah kalau material bangunan seperti batu kerikil diletakkan di tengah ruas jalan yang dilalui warga, sehingga jalan sulit dilalui.
“Jalan warga sampai-sampai tertutup dan tak dapat dilalui kenderaan roda empat. Ini seharusnya tak perlu terjadi kalau pemborongnya profesional. Yang dirugikan di sini adalah masyarakat, kecuali kalau pekerjaan sudah dimulai, pasang papan proyek dan buat pengumuman perihak adanya gangguan jalan, ini baru sah,” tandas Jansen senada dengan Jamansen.(DNA | herman maris)
LSM Pemborong Jalan Tutup Jalan Warga Karang Bangun
Written By GKPS JAMBI on Friday, 21 March 2014 | 13:45

Warga yang setiap hari menggunakan jalan desa itu untuk beraktivitas, tentu saja berang. Warga bernama HM Sinaga, Kamis (20/3/2014) mendatangi pemborong yang kebetulan sedang menurunkan batu krikil dari truk berbadan besar.
Ketika ditanya kenapa jalan ditutup gundukan batu kerikil sehingga tidak dapat dilalui warga dan angkutan desa, padahal pembangunan belum dikerjakan? Pekerja yang menurunkan menjawab anteng; “Ini proyek pemerintah pak, itu pemborongnya,” tunjuk seorang yang menurunkan batu kerikil itu.
Mendapat pertanyaan dari warga, pemborong mengaku bermarga Nainggolan itu menjawab kalau batu kerikil itu untuk membangun jalan. Ketika ditanya kenapa harus ditumpuk di tengah ruas jalan dan tidak dipinggir karena angkutan desa dan becak barang warga tak bisa lintas? Marga Nainggolan itu malah berkelit, nanti akan dipinggirkan.
Tapi kenyataannya, hingga mereka meninggalkan lokasi, batu kerikil itu masih dibiarkan menumpuk di tengah ruas jalan Dusun IV Nagori Karang Bangun itu.
Lebih menjengkelkan lagi, pemborong itu malah mengaku kalau dirinya anggota salah satu LSM. Hal ini terucap ketika warga yang memprotes tersebut memperkenalkan diri sebagai wartawan. “Sama-sama orang pasarannya kita lae, saya juga LSM,” ujar marga Nainggolan itu.
HM Sinaga sengaja mendatangi pemborong di lokasi karena warga lainnya keberatan batu kerikil diletakkan menggunung di tengah jalan.
“Saya tadi ditelepon warga yang juga kesal melihat ulah pemborong tadi. Kok tak pakai akal sehat, batu diletakkan hingga menututp ruas jalan. Padahal proyek ini belum dikerjakan. Ditaruh dipinggir jalan kan lebih baik, agar warga tidak terganggung lewat. Kami di desa ini juga cari makan, butuh jalan ini untuk dilalui. Kecuali kalau jalan sudah mulai dikerjakan, mungkin tak ada masalah. Kami juga maklum,” tegas HM Sinaga.
Sementara Ketua Umum DPP LSM Macan Habonaron Jansen Napitu dan Direktur Eksekutif LSM Toppan RI menyesalkan sikap pemborong yang dianggap tak tahu peraturan itu.
Kedua aktivis yang dikenal vokal itu mengatakan, setiap proyek yang didanai pemerintah tidak boleh dikerjakan asal-asal, semua ada peraturannnya atau juklak dan juknisnya.
Seperti yang di Dusun IV Karang Bangun itu misalnya, kalau pekerjaan belum dimulai, maka sangat salah kalau material bangunan seperti batu kerikil diletakkan di tengah ruas jalan yang dilalui warga, sehingga jalan sulit dilalui.
“Jalan warga sampai-sampai tertutup dan tak dapat dilalui kenderaan roda empat. Ini seharusnya tak perlu terjadi kalau pemborongnya profesional. Yang dirugikan di sini adalah masyarakat, kecuali kalau pekerjaan sudah dimulai, pasang papan proyek dan buat pengumuman perihak adanya gangguan jalan, ini baru sah,” tandas Jansen senada dengan Jamansen.(DNA | herman maris)
Label:
INFRASTRUKTUR
13:42
SIMALUNGUN | Ribuan ton kayu kualitas ekspor berhasil diamankan
petugas kepolisian dari kawasan hutan Kecamatan Dolok Silou Kabupaten
Simalungun. Untuk memastikan letak perambahan kayu, polisi akan
menghadirkan saksi ahli dari ITB.
Hal itu dikatakan Kapolres Simalungun, AKBP Andi S Taufik, Kamis (20/3). Kayu-kayu sembarang keras dan meranti itu berhasil diamankan personil Kompi II Detasemen B Brimob Siantar, dari kawasan hutan lindung di Desa (Nagori) Jagur dan desa Urug, Kecamatan Dolok Silau, Simalungun, Sumatera Utara.
Juga turut diamankan 21 pekerja yang diduga sebagai perambah kayu dari kawasan hutan lindung tersebut. Para pekerja ini kepada polisi mengaku, mereka disuruh pejabat PNS di Pemkab Simalungun yang dikenal sebagai mantan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) daerah itu. Oknum pejabat bernama Jan Wanner Saragih itu kini masih menduduki jabatan penting sebagai Kadis Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Simalungun. Dijelaskan, sekali seminggu Jan Wanner Saragih selalu datang ke lokasi penebangan kayu itu.
Kasat Reskrim Polres Simalungun, AKP Wilson Pasaribu mengatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap 21 pekerja yang diamankan, nama Jan Wanner Saragih sangat kerap disebut-sebut sebagai orang yang menyuruh mereka.
AKP Wilson Pasaribu juga menjelaskan, Jan Wanner juga disebut sebagai orang yang berperarn mencari pekerja untuk ditempatkan di kawasan hutan itu.
Kawasan yang dijadikan sasaran penebangan, diduga kuat sebagai kawasan hutan lindung persisnya berada di kawasan hutan Sianak-anak, Register 4 – 9 SM, Simalungun, Sumatera Utara. Penggerebekan dilakukan Rabu (19/3) sekira pukul 15.00 Wib.
Ada empat titik dijadikan camp para pekerja untuk menumpuk kayu yang ditebang. Juga disita 5 unit alat berat berupa buldozer dan traktor serta 2 unit truk dan 4 unit sepeda motor.
Dari lokasi terlihat, puluhan hektar hutan telah habis ditebangi. Ditemukan tumpukan kayu berdiameter rata-rata 50 cm, dengan panjang 15 meter masih berletakan di lokasi hutan.
Sumino (34) warga tinjoan yang bekerja sebagai operator alat berat juga membenarkan kalau mereka bekerja untuk Jan Wanner Saragih.
Panggil Saksi Ahli
Untuk mengungkap kasus perambahan hutan lindung di Desa Jagur dan Desa Urug Dolok Kecamatan Dolok Silau, Simalungun, Sumatera Utara, penyidik Polres Simalungun akan memanggil dan memeriksa saksi ahli dari Institut Tekhnologi Bandung (ITB).
Hal itu disampaikan Kapolres Simalungun, AKBP Andi S Taufik setelah memimpin penggrebekan perambahan hutan lindung di Dolok Silau, dengan mengamankan ribuan ton kayu, Kamis (20/3). “Tersangka yang diamankan langsung diperiksa,” katanya.
Dari pemeriksaan itu, Polres Simalungun akan mengejar otak pelaku dari perambahan kawasan hutan lindung tersebut. Untuk mewujudkan itu, salah satunya dengan meminta keterangan dari ahli.
"Tersangka yang kita amankan langsung diproses, kita akan kejar terus otak pelaku. Untuk proses penyidikan polres akan memanggil saksi ahli lingkungan dari ITB,”jelasnya. (DNA | herman maris)
Polisi Amankan Ribuan Ton Kayu dari Dolok Silou, Mantan Kadishut Simalungun Diduga Terlibat

Hal itu dikatakan Kapolres Simalungun, AKBP Andi S Taufik, Kamis (20/3). Kayu-kayu sembarang keras dan meranti itu berhasil diamankan personil Kompi II Detasemen B Brimob Siantar, dari kawasan hutan lindung di Desa (Nagori) Jagur dan desa Urug, Kecamatan Dolok Silau, Simalungun, Sumatera Utara.
Juga turut diamankan 21 pekerja yang diduga sebagai perambah kayu dari kawasan hutan lindung tersebut. Para pekerja ini kepada polisi mengaku, mereka disuruh pejabat PNS di Pemkab Simalungun yang dikenal sebagai mantan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) daerah itu. Oknum pejabat bernama Jan Wanner Saragih itu kini masih menduduki jabatan penting sebagai Kadis Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Simalungun. Dijelaskan, sekali seminggu Jan Wanner Saragih selalu datang ke lokasi penebangan kayu itu.
Kasat Reskrim Polres Simalungun, AKP Wilson Pasaribu mengatakan, dari hasil pemeriksaan terhadap 21 pekerja yang diamankan, nama Jan Wanner Saragih sangat kerap disebut-sebut sebagai orang yang menyuruh mereka.
AKP Wilson Pasaribu juga menjelaskan, Jan Wanner juga disebut sebagai orang yang berperarn mencari pekerja untuk ditempatkan di kawasan hutan itu.
Kawasan yang dijadikan sasaran penebangan, diduga kuat sebagai kawasan hutan lindung persisnya berada di kawasan hutan Sianak-anak, Register 4 – 9 SM, Simalungun, Sumatera Utara. Penggerebekan dilakukan Rabu (19/3) sekira pukul 15.00 Wib.
Ada empat titik dijadikan camp para pekerja untuk menumpuk kayu yang ditebang. Juga disita 5 unit alat berat berupa buldozer dan traktor serta 2 unit truk dan 4 unit sepeda motor.
Dari lokasi terlihat, puluhan hektar hutan telah habis ditebangi. Ditemukan tumpukan kayu berdiameter rata-rata 50 cm, dengan panjang 15 meter masih berletakan di lokasi hutan.
Sumino (34) warga tinjoan yang bekerja sebagai operator alat berat juga membenarkan kalau mereka bekerja untuk Jan Wanner Saragih.
Panggil Saksi Ahli
Untuk mengungkap kasus perambahan hutan lindung di Desa Jagur dan Desa Urug Dolok Kecamatan Dolok Silau, Simalungun, Sumatera Utara, penyidik Polres Simalungun akan memanggil dan memeriksa saksi ahli dari Institut Tekhnologi Bandung (ITB).
Hal itu disampaikan Kapolres Simalungun, AKBP Andi S Taufik setelah memimpin penggrebekan perambahan hutan lindung di Dolok Silau, dengan mengamankan ribuan ton kayu, Kamis (20/3). “Tersangka yang diamankan langsung diperiksa,” katanya.
Dari pemeriksaan itu, Polres Simalungun akan mengejar otak pelaku dari perambahan kawasan hutan lindung tersebut. Untuk mewujudkan itu, salah satunya dengan meminta keterangan dari ahli.
"Tersangka yang kita amankan langsung diproses, kita akan kejar terus otak pelaku. Untuk proses penyidikan polres akan memanggil saksi ahli lingkungan dari ITB,”jelasnya. (DNA | herman maris)
Label:
KRIMINAL
13:39
“Harapannya rencana program dan program kegiatan pembangunan dapat mencapai sasaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. (MSC)
Perbaikan Sarana Jalan di Simalungun Masih Terabaikan
![]() |
Pengendara melewati jalan rusak di Kecamatan Dolok Pardamean. Rencananya tahun ini akan dimulai perbaikan yang anggarannya berasal dari Pemprovsu. |
RAYA – Untuk program pembangunan di tahun 2015, Pemkab Simalungun memberikan perhatian serius terjadap perbaikan jalan.
Itu disampaiakan Sekda Simalungun Drs Gideon Purba, saat menghadiri
Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dan Rapat Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Tahun Anggaran (TA) 2015 di aula Griya Hapoltakan,
Pematang Raya.
Drs Gidion mengatakan, pembangunan infrastruktur transportasi
berperan strategis dalam pertumbuhan ekonomi, dan harus menjadi
perhatian karena membutuhkan dana besar untuk memelihara dan memperbaiki
jalan kabupaten sepanjang 2.600 kilometer.
“Kita harapkan sumbangsih pemikiran dan perhatian lebih melalui
dialog yang membangun pada saat pembahasan rencana dan program,”
harapnya.
Sebelumnya Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Simalungun Wilson Manihuruk menyebutkan, musrenbang berlangsung selama
tiga hari untuk membahas dan menyepakati prioritas pembangunan dan
program kegiatan tahun 2015.
Dia menambahkan, penyusunan perencanaan pembangunan dilakukan melalui
tahapan musrembang tingkat desa/kelurahan, kecamatan, satuan kerja
perangkat daerah sampai RKPD.
“Harapannya rencana program dan program kegiatan pembangunan dapat mencapai sasaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya. (MSC)
Label:
INFRASTRUKTUR
13:36
Sementara plt BKD Jamesrin Saragih, tidak bersedia menanggapi informasi tentang dugaan praktik pungli terhadap honorer K2.
Honorer K2 Simalungun Dipungli Rp30 Juta
![]() |
ilustrasi |
SIMALUNGUN – Informasi tak sedap mencuat dalam
proses pemberkasan honorer kategori dua (K2) yang lulus di Pemkab
Simalungun. Ada dugaan, mereka yang lulus diminta upeti masing-masing
sebesar Rp30 juta.
Sekretaris Jenderal Forum Honorer Indonesia (FHI) Eko Imam Suryanto
mengatakan, permintaan itu diduga dilakukan masing-masing Unit Pelaksana
Teknis Dinas Daerah (UPTD), tempat di mana honorer K2 itu selama ini
bekerja.
“Setiap kepala UPTD meminta K2 yang lulus agar menyetorkan uang 30
juta untuk pemberkasan. Kata mereka atasan BKD, kadikjar yang menyuruh,”
ujar Eko, dalam pernyataan tertulisnya bersama Ketua Serikat Guru Honor
Simalungun Hotman Sagala, kepada koran ini baru-baru ini.
Eko mengatakan, sebagian honorer K2 yang lulus itu takut dan terpaksa
menyerahkan uang. “Atas nama FHI Pusat kami meminta Bapak Bupati
Simalungun mengklarifikasi hal ini,” ujar Eko.
Masalah lain yang muncul di Simalungun, sebagian besar honorer K2
yang lulus masih berusia muda. Sementara, yang sudah tua malah banyak
yang tidak lulus.
Sekadar diketahui, jumlah honorer K2 di Simalungun yang lulus
sebanyak 514 orang. Jika dikalikan Rp30 juta, maka ketemu angka Rp15,42
miliar.
Masih terkait dengan masalah seputar kelulusan honorer K2. Di
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, puluhan honorer K2 yang telah
dinyatakan lulus CPNS menyatakan mengundurkan diri sebagai tenaga
honorer.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pangkep Tajuddin Laode, seperti
diberitakan JPNN (grup koran ini) mengungkapkan, mereka mengundurkan
diri karena takut akan dipidanakan lantaran melakukan pemalsuan dokumen
demi mendapat predikat honorer K2.
Terpisah, Pelaksana tugas (plt) Kadisdik Simalungun Wasin Sinaga
ketika dikonfirmasi, mengaku belum dapat memastikan informasi itu.
Namun, dia menegaskan kepada seluruh pegawai di jajaran Disdik agar
tidak coba-coba memanfaatkan kesempatan itu.
Wasin juga mengimbau para Honor K2 agar tidak tergiur janji-janji
orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab pengumuman kelulusan
diterbitkan langsung oleh lembaga resmi negara, yakni MenpanRB atau BKN.
Sementara plt BKD Jamesrin Saragih, tidak bersedia menanggapi informasi tentang dugaan praktik pungli terhadap honorer K2.
Sementara Direktur Program Sentra Informasi & Pemberdayaan
Masyarakat Madani (SIMADA) Oktavianus Sitio, mengatakan, meragukan
kualitas CPNS jalur Honorer K2. Keraguan itu sejalan dengan banyaknya
informasi yang menyebutkan bahwa banyak kejanggalan dalam proses
pengangkatan Honorer K2 jadi CPNS, mulai dari proses pendataan hingga
pelaksanaan ujian.
“Kalau itu benar, maka mental CPNS jalur Honorer K2 tentu diragukan.
Bagaimana mungkin bisa jujur kalau saat proses pendataan honorer K2 pun
sanggup melakukan pemalsuan data,” ujarnya. Oleh sebab itu, dia berharap
kepada Kemenpan-RB, untuk meninjau kembali honorer K2 yang lulus CPNS
tahun ini. (MSC)
Label:
KORUPSI
13:34
Bibit Ikan Unggul di Simalungun Dipasok dari Sukabumi
![]() |
Petani menunjukan bibit ikan lele di Kecamatan Pematang Bandar. (Foto: Sawal) |
SIMALUNGUN - Memenuhi kebutuhan bibit ikan di
Kabupaten Simalungun, Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Provinsi
Sumatera Utara, mendatangkan bibit ikan unggul dari Kabupaten Sukabumi.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Diskanla Sumut di Kabupaten
Simalungun Zonny Waldi saat ditemui di kantornya di Kecamatan Pematang
Bandar, Kamis (20/3), menerangkan, selama ini petani ikan di Simalungun
masih menggunakan bibit lokal untuk dikembangkan dan dikonsumsi
masyarakat khusus jenis ikan nila, ikan mas dan ikan lele.
Tetapi sejak tahun 2013, pihaknya sudah menghadirkan bibit unggul dengan kualitas yang lebih baik.
“Kita bekerjasama dengan Balai Besar Pembibitan Ikan Kabupaten
Sukabumi. Dari sana bibit ikan yang didatangkan kecil-kecil dan kita
besarkan di sini,” katanya.
Zonny mengaku, saat ini ada beberapa lokasi dijadikan sebagai
pembesaran dan pengembangan bibit unggul yakni Kecamatan Pematang
Bandar, Tanah Jawa dan Gunung Malela. “Masih banyak menggunakan bibit
lokal. Padahal kalau menggunakan bibit unggul akan menghasilkan panen l
yang lebih baik,” ujarnya.
Dia menambahkan, pihaknya masih berupaya mengembangkan bibit unggul
untuk induk khusus ikan mas. Sedangkan ikan nila dan emas sudah mulai
dipasarkan dengan cara sistim paket. Setiap paket berisi 400 ekor.
“Harga ikan lele Rp1,2 juta per paket. Kalau ikan nila Rp4 juta hingga Rp5 juta per paket,” katanya. (Metrosiantar.com)
Label:
PERTANIAN
13:15
TARALAMSYAH, STATE OF THE ARTS
"Lagu-lagu pop Simalungun sekarang, adalah lagu-lagu yang tinggal bahasanya saja masih Simalungun. Kekhasan melodi Simalungun sudah nihil, dan melodinya tidak lagi berbeda bahkan sudah membaur dengan melodi non-Simalungun. Melodi Simalungun sudah lari dan turut arus non-Simalungun." -- Menna Purba Sigumonrong....
KETIKA latihan tari, lekukan jemari saya tidak seperti yang dia inginkan. Dia pun langsung membengkokkan jemari saya sehingga cocok dan terlihat pas untuk tampilan seorang penari.
Demikian penuturan Arthy Saragih Sumbayak, kelahiran 1963. Dia pernah dilatih tari secara langsung oleh Taralamsyah. Saat itu dia berusia di bawah 10 tahun. Dia dilatih bahkan dihardik di hadapan ayah ibunya.
Djawalim Saragih Sumbayak, ayahnya, dan Menna Purba Sigumonrong, ibundanya, tidak keberatan pada disiplin Taralamsyah yang diterapkan tegas. “Karena kita memang paham kualitas Taralamsyah,” kata Menna yang berusia 87 tahun saat wawancara di tahun 2014.
“Terasa tegas tetapi sekarang saya melihat sisi positifnya,. Itu bagus untuk saya. Kini saya adalah seorang pelatih tari yang sangat beruntung pernah dia latih,” kata Arthy yang memanggil Taralamsyah, Oppung (kakek). Ini karena Taralamsyah adalah Tulang (paman) Menna, ibunya Arthy.
Karya Taralamsyah adalah “state of the art". Ini merujuk pada kagungan sebuah melodi, dengan teknik yang rumit, jelimet dan memang membuatnya susah diikuti.
Taralamsyah lebih banyak dikenal sebagai komposer lagu. Itulah kenangan yang paling menonjol darinya. Akan tetapi dia paham tari, hingga paham adat Simalungun. Taralamsyah bisa berang jika segala sesuatu terkait detail-detail tari, lagu, adat melenceng walaupun itu hanya pelencengan sedikit.
Begitulah Taralamsyah. Itulah karakternya. Sedikit pun dia tidak berkompromi soal penodaan sebuah karya. “Jika urutan tari salah sedikit saja di tengah latihan, maka dia akan paksakan agar semuanya diulangi dari awal lagi,” kata Menna.
Menna pun mengalami hal itu saat latihan musik bersamanya di grup Orkes Nalaingan. Di orkes ini Menna menjadi salah satu penyanyi dan Taralamsyah memegang instrumen akordion. “Sedikit saja dia mendengar nada suara atau nada musik yang sumbang, dia akan memberi kode dengan merusak sekalian suara akordion lalu dia berhenti untuk memberi kode adanya kesalahan. Dia memang disiplin soal keseriusan dalam berlatih,” kata Menna.
Ada sedikit persoalan bagi beberapa seniman, apalagi khalayak, soal karakternya terkait kualitas itu. Karena Taralamsyah itu jeli dan peka, maka mereka yang membawakannya tidak persis seperti yang dia inginkan maka dia akan marah. “Kau pikir ini lagu gereja?” demikian pernah Taralamsyah menghardik salah satu personel Orkes Nalaingan yang salah mengikuti melodi. Lagu-lagu gereja di Simalungun memang pada umumnya lebih sederhana dibandingkan dengan karya-karya Taralamsyah.
Maksud Taralamsyah, melodi asli Simalungun itu pada dasarnya tidak mudah. Liukan melodi, hentakan lagu dan perubahan not demi not melompat rumit. Otak dan mulut kadang menjadi sering tidak mudah padu saat menyanyikan lagu karyanya.
Menurut Menna, ada kemiripan melodi Simalungun dan lagu rakyat Mandarin.
Mungkin ini pengaruh musik China daratan yang sejak dulu memang sudah memiliki banyak hubungan dengan Sumatera dan juga Simalungun. “Akan tetapi melodi khas Simalungun itu memiliki liukan yang memunculkan bunyi khas Simalungun. Salah sedikit saja akan mudah membuat melodi Simalungun terjerembab dan berubah ke melodi lagu rakyat China,” kata Menna.
Melodi lagu China daratan terlalu banyak liukan sementara Simalungun lebih simpel. Melodi Simalungun terdengar lebih indah karena liukan tidak terlalu banyak. Namun demikian karya Taralamsyah tetap tergolong jelimet. Hal ini membuat banyak orang Simalungun hingga pemusiknya sekalipun sulit membawakan lagu karya.
Taralamsyah. Ini terkecuali karyanya diubah dengan aransemen lebih sederhana meski masih tetap enak didengar. Akan tetapi jika Taralamsyah masih hidup, “Dia pasti tidak suka akan hal itu.”
Maka tidak heran, tidak banyak orang yang bisa mengikuti pola Taralamsyah. “Tidak banyak etnis Simalungun yang bisa sabar melatih diri mengikuti melodi karya Taralamsyah,” kata Menna. Akan tetap hal itu sebenarnya lebih disebabkan sikap enggan untuk memaksakan diri berlatih.
Pahit katanya, orang kebanyakan tidak mau repot dan tidak mau berlelah-lelah sedikit. Inilah salah satu yang membuat Taralamsyah sangat kecewa pada etnisnya. Karyanya, yang menjadi bagian dari cagar musik asli Simalungun , tidak bisa diikuti oleh etnisnya. Bahkan kemudian dia menerjemahkan itu sebagai ketidaksediaan Simalungun mempertahankan kualitas asli budayanya.
Inilah yang membuat Taralamsyah pernah mengeluarkan kalimat, “Seng ihargai Simalungun, budaya Simalungun.” Artinya, “Simalungun itu tidak menghargai budayanya sendiri.”
Ketidaksediaan untuk sedikit repot, dan ketidaksiapan untuk sedikit lelah, telah membuat melodi pop Simalungun sekarang tak lagi unik. "Kini lagu pop Simalungung hanya bahasanya yang masih SImalungun. Melodi Simalungun telah ikut arus, misalnya ke arus melodi Toba. Perginya Taralamsyah telah pergi pula kekhasan melodi itu. Kita ikut arus sudah," kata Menna.
Padahal menurut Menna, sebuah pertunjukan besar dan berkualitas serta mampu meninggalkan kesan berarti adalah hasil dari upaya keras. Pertunjukan besar dan kekhasan sebuah melodi etnis, katakanlah etnis Simalungun, seperti pernah dibuktikan di masa lalu, adalah konsistensinya pada melodi sendiri.
Menna benar. Ketersohoran dan kelestarian serta kelanggengan sebuah opera Barat misalnya, justru terjadi akibat karakter musik dan koreografi di opera itu yang lebih rumit bahkan amat sulit. Begitu sulitnya sehingga hanya orang-orang yang bertalenta luar biasa yang bisa membawakannya.
Taralamsyah ingin Simalungun yang sebenarnya memiliki seni state of the art itu bertahan dengan kualitas. Karakter seperti ini turun ke anak-anak asuh Taralamsyah. Bahkan karakter seperti itu tetap dipegang kuat oleh putra kandungnya, Edy Taralamsyah.
Mereka adalah orang-orang yang ketat memelihara kulitas, entah itu berat untuk pelatihan. “Jika hanya untuk sebuah pertunjukan abal-abal, lebih bagus saya tidak usah bekerja pada sebuah pagelaran Simalungun,” kata Edy Taralamsyah terkait sebuah rencana pagelaran kolosal Simalungun.
Namun demikian jangan salah tangkap dengan Taralamsyah. Di dalam latihan dia keras dan tegas. Di luar latihan dia adalah pribadi yang lembut, baik, bersahaja dan amat penolong. “Lepas latihan, dia seperti sebuah pribadi yang lain, seorang yang perhatian dan sangat solider pada nasib kawan-kawannya,” demikian Menna.
Hanya saat latihan dia seperti lupa segalanya karena sangat fokus pada kualitas. Dia memang terbenam total pada karya dan kualitas karya. Dia menjadi seperti unik, dan seperti seorang yang tersendiri soal seni. Di luar itu, Taralamsyah adalah milik semua, yang membuat semua rekannya turut menangis saat Talalamsyah harus pindah ke Jambi. Ini karena kepribadiannya yang di atas rata-rata dalam hubungan sosial.(Oleh Simon Saragih)
Melodi Simalungun Telah Lari
![]() |
Semangat janah sehat homa ham inang Menna Saragih Boru Purba, ase boi pangguruan nami tarlobih na laho mambahen Pagelaran " Jambar ni Loja" on.Foto FB Jhon E Saragih |
TARALAMSYAH, STATE OF THE ARTS
"Lagu-lagu pop Simalungun sekarang, adalah lagu-lagu yang tinggal bahasanya saja masih Simalungun. Kekhasan melodi Simalungun sudah nihil, dan melodinya tidak lagi berbeda bahkan sudah membaur dengan melodi non-Simalungun. Melodi Simalungun sudah lari dan turut arus non-Simalungun." -- Menna Purba Sigumonrong....
KETIKA latihan tari, lekukan jemari saya tidak seperti yang dia inginkan. Dia pun langsung membengkokkan jemari saya sehingga cocok dan terlihat pas untuk tampilan seorang penari.
Demikian penuturan Arthy Saragih Sumbayak, kelahiran 1963. Dia pernah dilatih tari secara langsung oleh Taralamsyah. Saat itu dia berusia di bawah 10 tahun. Dia dilatih bahkan dihardik di hadapan ayah ibunya.
Djawalim Saragih Sumbayak, ayahnya, dan Menna Purba Sigumonrong, ibundanya, tidak keberatan pada disiplin Taralamsyah yang diterapkan tegas. “Karena kita memang paham kualitas Taralamsyah,” kata Menna yang berusia 87 tahun saat wawancara di tahun 2014.
“Terasa tegas tetapi sekarang saya melihat sisi positifnya,. Itu bagus untuk saya. Kini saya adalah seorang pelatih tari yang sangat beruntung pernah dia latih,” kata Arthy yang memanggil Taralamsyah, Oppung (kakek). Ini karena Taralamsyah adalah Tulang (paman) Menna, ibunya Arthy.
Karya Taralamsyah adalah “state of the art". Ini merujuk pada kagungan sebuah melodi, dengan teknik yang rumit, jelimet dan memang membuatnya susah diikuti.
Taralamsyah lebih banyak dikenal sebagai komposer lagu. Itulah kenangan yang paling menonjol darinya. Akan tetapi dia paham tari, hingga paham adat Simalungun. Taralamsyah bisa berang jika segala sesuatu terkait detail-detail tari, lagu, adat melenceng walaupun itu hanya pelencengan sedikit.
Begitulah Taralamsyah. Itulah karakternya. Sedikit pun dia tidak berkompromi soal penodaan sebuah karya. “Jika urutan tari salah sedikit saja di tengah latihan, maka dia akan paksakan agar semuanya diulangi dari awal lagi,” kata Menna.
Menna pun mengalami hal itu saat latihan musik bersamanya di grup Orkes Nalaingan. Di orkes ini Menna menjadi salah satu penyanyi dan Taralamsyah memegang instrumen akordion. “Sedikit saja dia mendengar nada suara atau nada musik yang sumbang, dia akan memberi kode dengan merusak sekalian suara akordion lalu dia berhenti untuk memberi kode adanya kesalahan. Dia memang disiplin soal keseriusan dalam berlatih,” kata Menna.
Ada sedikit persoalan bagi beberapa seniman, apalagi khalayak, soal karakternya terkait kualitas itu. Karena Taralamsyah itu jeli dan peka, maka mereka yang membawakannya tidak persis seperti yang dia inginkan maka dia akan marah. “Kau pikir ini lagu gereja?” demikian pernah Taralamsyah menghardik salah satu personel Orkes Nalaingan yang salah mengikuti melodi. Lagu-lagu gereja di Simalungun memang pada umumnya lebih sederhana dibandingkan dengan karya-karya Taralamsyah.
Maksud Taralamsyah, melodi asli Simalungun itu pada dasarnya tidak mudah. Liukan melodi, hentakan lagu dan perubahan not demi not melompat rumit. Otak dan mulut kadang menjadi sering tidak mudah padu saat menyanyikan lagu karyanya.
Menurut Menna, ada kemiripan melodi Simalungun dan lagu rakyat Mandarin.
Mungkin ini pengaruh musik China daratan yang sejak dulu memang sudah memiliki banyak hubungan dengan Sumatera dan juga Simalungun. “Akan tetapi melodi khas Simalungun itu memiliki liukan yang memunculkan bunyi khas Simalungun. Salah sedikit saja akan mudah membuat melodi Simalungun terjerembab dan berubah ke melodi lagu rakyat China,” kata Menna.
Melodi lagu China daratan terlalu banyak liukan sementara Simalungun lebih simpel. Melodi Simalungun terdengar lebih indah karena liukan tidak terlalu banyak. Namun demikian karya Taralamsyah tetap tergolong jelimet. Hal ini membuat banyak orang Simalungun hingga pemusiknya sekalipun sulit membawakan lagu karya.
Taralamsyah. Ini terkecuali karyanya diubah dengan aransemen lebih sederhana meski masih tetap enak didengar. Akan tetapi jika Taralamsyah masih hidup, “Dia pasti tidak suka akan hal itu.”
Maka tidak heran, tidak banyak orang yang bisa mengikuti pola Taralamsyah. “Tidak banyak etnis Simalungun yang bisa sabar melatih diri mengikuti melodi karya Taralamsyah,” kata Menna. Akan tetap hal itu sebenarnya lebih disebabkan sikap enggan untuk memaksakan diri berlatih.
Pahit katanya, orang kebanyakan tidak mau repot dan tidak mau berlelah-lelah sedikit. Inilah salah satu yang membuat Taralamsyah sangat kecewa pada etnisnya. Karyanya, yang menjadi bagian dari cagar musik asli Simalungun , tidak bisa diikuti oleh etnisnya. Bahkan kemudian dia menerjemahkan itu sebagai ketidaksediaan Simalungun mempertahankan kualitas asli budayanya.
Inilah yang membuat Taralamsyah pernah mengeluarkan kalimat, “Seng ihargai Simalungun, budaya Simalungun.” Artinya, “Simalungun itu tidak menghargai budayanya sendiri.”
Ketidaksediaan untuk sedikit repot, dan ketidaksiapan untuk sedikit lelah, telah membuat melodi pop Simalungun sekarang tak lagi unik. "Kini lagu pop Simalungung hanya bahasanya yang masih SImalungun. Melodi Simalungun telah ikut arus, misalnya ke arus melodi Toba. Perginya Taralamsyah telah pergi pula kekhasan melodi itu. Kita ikut arus sudah," kata Menna.
Padahal menurut Menna, sebuah pertunjukan besar dan berkualitas serta mampu meninggalkan kesan berarti adalah hasil dari upaya keras. Pertunjukan besar dan kekhasan sebuah melodi etnis, katakanlah etnis Simalungun, seperti pernah dibuktikan di masa lalu, adalah konsistensinya pada melodi sendiri.
Menna benar. Ketersohoran dan kelestarian serta kelanggengan sebuah opera Barat misalnya, justru terjadi akibat karakter musik dan koreografi di opera itu yang lebih rumit bahkan amat sulit. Begitu sulitnya sehingga hanya orang-orang yang bertalenta luar biasa yang bisa membawakannya.
Taralamsyah ingin Simalungun yang sebenarnya memiliki seni state of the art itu bertahan dengan kualitas. Karakter seperti ini turun ke anak-anak asuh Taralamsyah. Bahkan karakter seperti itu tetap dipegang kuat oleh putra kandungnya, Edy Taralamsyah.
Mereka adalah orang-orang yang ketat memelihara kulitas, entah itu berat untuk pelatihan. “Jika hanya untuk sebuah pertunjukan abal-abal, lebih bagus saya tidak usah bekerja pada sebuah pagelaran Simalungun,” kata Edy Taralamsyah terkait sebuah rencana pagelaran kolosal Simalungun.
Namun demikian jangan salah tangkap dengan Taralamsyah. Di dalam latihan dia keras dan tegas. Di luar latihan dia adalah pribadi yang lembut, baik, bersahaja dan amat penolong. “Lepas latihan, dia seperti sebuah pribadi yang lain, seorang yang perhatian dan sangat solider pada nasib kawan-kawannya,” demikian Menna.
Hanya saat latihan dia seperti lupa segalanya karena sangat fokus pada kualitas. Dia memang terbenam total pada karya dan kualitas karya. Dia menjadi seperti unik, dan seperti seorang yang tersendiri soal seni. Di luar itu, Taralamsyah adalah milik semua, yang membuat semua rekannya turut menangis saat Talalamsyah harus pindah ke Jambi. Ini karena kepribadiannya yang di atas rata-rata dalam hubungan sosial.(Oleh Simon Saragih)
Label:
RAGAM BUDAYA
13:06

Oleh Simon P Saragih
* Seorang Haji Damanik Mendukung Sanggar Tari Harris Hemdy Sigumonrong
BUKAN hanya di lagu, di adat dan juga di "ahap" pun urat Simalungun sudah hampir putus. Atau mungkin sudah benar-benar putus.
Banyak indikasi yang menunjukkan potensi urat yang putus. Artefak-artefak Simalungun terlantar dan tak terurus. Stupa-stupa tertimbun tanah, retak-retak, seolah-olah menandakan semua itu sudah tidak perlu, dan mungkin juga tidak lagi berharga.
Ironisnya, dan contoh terkini, ketika seorang relawan seperti Sultan Saragih II membaktikan dirinya pada pelestarian budaya kuno Simalungun, dia tidak ditoleh. Lebih jauh, dia telah dituduh seolah-olah membangkitkan hal-hal berhala.
Berhalakah adat? Berhalakah tradisi?
Tampaknya tidak demikian. Setidaknya itu tidak menjadi pegangan banyak orang. Di sebuah desa kecil di desa Mariah Purba Saribu, Kecamatan Horisan Haranggol misalnya, sebuah tugu tentang perintis desa itu, Manorsa, dibikinkan tugu peringatan.
Para keturunan Manorsa itu, yang aslinya Simamora Debata Raja, perantau dari Dolok Sanggul, telah mematrikan diri mereka sebagai Simalungun asli. Mereka merasa berutang pada leluhur mereka yang telah membawa mereka ke perantauan dan memberi kehidupan yang di atas rata-rata di perantauan.
Mereka itu beragama, antara lain GKPS dan Katolik. Para keturunannya terlibat aktif di gereja. Hal yang mereka ingin lakukan adalah mengenang leluhur, dan meniru semangat leluhur yang mereka anggap luhur.
"Ingatlah akan leluhur-leluhurmu kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka," demikian Leo Joosten OFM Cap, seorang rohaniwan asal Belanda, mengutip Ibrani 13:7. Dia mengutip itu karena Kitab itulah yang membuatnya terdorong menuliskan kisah-kisah orang yang terlibat pewartaan zaman dulu di Indonesia.
Banyakkah warga Simalungun melakukan seperti yang dilakukan keturunan Manorsa itu?
Itu baru untuk urusan internal sebuah keluarga dengan silsilah mereka sendiri. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab sosial bersama di Simalungun itu sendiri?
Masih ada upaya-upaya sporadis di antara etnis ini guna menghargai tradisi dan menghargai dirinya sendiri. Akan tetapi semuanya sporadis dan tidak terjamin langgeng.
Terima kasih kepada lembaga-lembaga adat di desa-desa Simalungun. Lembaga ini, tinggal satu-satunya penerus alamiah tradisi. Hanya saja ini umumnya hanya bergerak jika itu an sich untuk urusan adat yang terbatas. Lembaga semacam itu aktif dan eksis hanya untuk pernikahan, kelahiran, acara adat internal, hingga acara kematian seorang sesepuh terhormat.
Di luar itu, hal yang terjadi hanya sekadar niat, atau ekstremnya hanya sebuah cap di jiwa, "Bahwa saya SImalungun". Dalam implementasinya yang lebih luas, hal yang terjadi adalah apatisme, atau mungkin juga sinisme?
Tidak terlihat fakta-fakta sejarah tertulis tentang warisan Simalungun itu sendiri, kecuali masih ada di benak para tetua. Akan tetapi tidak ada yang berminat membakukannya dalam bentuk tulisan, hingga bisa menjadi sejarah berharga di masa depan generasi Simalungun.
Kuat hipotesa, Simalungun tidak perduli dengan dirinya. Mungkin dengan tradisi orang lain pun dia tidak perlu perduli.
Terima kasih kasih Gereja GKPS, yang kini menjadi salah satu pilar agama, dengan berbasiskan umat bernama Suku Simalungun. Gereja GKPS ini secara langsung atau tidak langsung masih menjadi fondasi kuat dan mungkin sebuah fondasi yang lestari bagi penegak identitas dan jati diri Simalungun. Namun GKPS kukuh karena ada Iman di dalamnya. Ada urusan Tuhan secara langsung di dalamnya. Ada soal karya penyelamatan di dalamnya.
Di luar Gereja GKPS dan lembaga adat, Simalungun seperti kapal kecil terapung di tengah samudera nan luas. Syukur-syukur gelombang dahsyat tidak akan segera menenggelamkannya.
Barangkali semua hipotesa itu bisa didebat. Akan tetapi fakta-fakta memperlihatkan secara kuat pula, Simalungun itu seperti kapas yang diterpa angin, mudah terbang kemana saja, walau hanya oleh tiupan angin sepoi-sepoi saja. Dia bukan seperti pohon randu, penghasil kapas, yang tetap berdiri tegak walau ada angin, hingga angin kuat sekali pun.
Mau contoh? Kisah sedih seorang Taralamsyah adalah kisah paling mengemuka tentang itu. Ironisnya, kisah itu tidak terhentikan. Para penerusnya juga mengalami hal serupa.
Harris Hemdy Purba, kelahiran 1949, adalah seorang penerus yang tinggal di Medan. Dia mencoba menegakkan kembaili tradisi Simalungun dari sisi seni budaya. Orkes Nalaingan dia coba hidupkan. Sepeninggal Taralamsyah karena pergi ke Jambi, Harris mencoba membangkitkan Orkses Nalaingan. "Akan tetapi benar, memang berat. Tidak ada yang mendukung," kata Harris menceritakan kisahnya.
Cucu Raja Raya ini, Tuan Kaduk, dari garis ibunya, mencoba beralih ke grup tari. Dia mendirikan sebuah sanggar tari, khusus untuk tari Simalungun. Di sini lagi, kepedihan hatinya semakin merebak.
Pernah dia membagikan sarune kepada para anak muda Simalungun agar melatih diri main sarune. "Hanya sarune-nya yang mereka mau, tetapi meniupnya saja mereka tidak mau. Jangankan mau menjadi pesarune profesional, meniupnya saja mereka tidak mau," katanya saat wawancara di hari Rabu, tanggal 19 Maret, saat berkunjung ke Jakarta.
Lalu mengapa masih eksis? "Ada seoarang Haji marga Damanik, yang satu-satunya menjadi semacam secercah harapan bagi saya," kata Harris. Dia seperti kakeknya, dari garis ibunya, Tuan Taralamsyah, kini menjadi nara sumber seni, khususnya untuk pembuatan skripsi tentang seni budaya Simalungun, khususnya seni tari.
Haji ini merelakan sebuah bangunan miliknya untuk dipugar. Ruangannya ditata sehingga bisa menjadi ajang latih tari bagi kelompok tari yang dibina Harris. Bukan cuma lahannya, uang Haji marga Damanik itu, yang Simalungun asal Sidamanik pun sering mengucur untuk kepentingan Harris.
Lalu bagaimana saat pertunjukan? "Tidak ada masalah soal hasilnya karena memuaskan para penonton."
Lalu dimana kisah pilu yang dia hendak utarakan? "Pernah sekali, dan kemudian seterusnya berlaku seperti itu. Pernah kita diminta tampil. Ini oleh orang Simalungun. Pemain kita ada 10 orang. Permintaan tampil pun harus di luar kota Medan. Kisahnya adalah soal tarif. Kita sudah pasang tarif serendah mungkin, katakanlah Rp 2,5 juta."
Tau apa kata orang Simalungun itu? "Aduh, ngak jadi. Kemahalan itu Rp 2,5 juta." Harris merasa perih. Duit Rp 2,5 juta jika dirata-ratakan hanya bisa dibagikan Rp 250.000 per orang. Itu belum termasuk ongkos, bensin, dan uang makan tiga kali dalam sehari selama pertunjukan itu.
"Payah, ya memang payah," kata Harris. Untungnya dia pernah mengenang Taralamsyah pulang jalan kaki usai peresmian Hotel Dharma Deli di Medan di awal dekade 1970-an. "Ya karena tidak ada ongkos," kata Harris menyaksikan Taralamsyah berjalan pulang usai ditanggap tampil pada peresmian hotel itu.
Harris Hemdy kini sering merasa apatis pula. Dia sering menjadi sinis sendiri. Dia sudah tak berharap pada dukungan etnis Simalungun itu sendiri.
"Akan tetapi adalah tugasku untuk tetap melanjutkan karya saya," kata Harris yang membakukan buku kecil berisikan tentang tari Simalungun yang sebenarnya.
Antusiasme susah dibangkitkan. Orang-orang Simalungun pun sudah lebih suka dengan musik kocak dengan goyangan jingkrak jika ada pesta-pesta.
Lebih ironis lagi adalah penerus seni budaya. Musik gonrang misalnya, sedang dalam proses pemunahan. "Jika Anda anggap generasi Simalungun Raya masih peduli, tampaknya Anda harus siap kecewa," kata Harris.
Dia memberi contoh. Sekarang para pemain gonrang ada dari Simalung Atas. Tidak banyak tetapi ada, dan masih tergolong profesional dan bisa diandalkan serta sering tampil di acara-acara. "Lihat juga pemain sarune, juga di SImalungun Atas, ada seorang pemain sarune yang handal karena itu sering kita ajak naik pentas. Tahu apa marganya? Bukan Saragih, bukan Purba. Pemain Sarune itu marga Sagala."
Lalu dimana peran dan tanggung jawab orang-orang kaya Simalungun? Dia menyebutkan nama-nama. Tidak enak disebutkan di sini. "Begitu Bupati Rajamin Meninggal, tampaknya kandas lah sudah dukungan seperti sebesar yang pernah beliau berikan."
Jika dulu belum banyak orang sukses Simalungun, masih bisa dimaklumi soal rendahnya antusiasme dan honor. Jika kini banyak generasi Simalungun berduit, tetapi sungguh tidak terpanggil melestarikan budayanya, itulah gambaran tragedi itu.
Itulah pertanda tentang urat Simalungun mendekati putus, dan barang kali akan punah seiring dengan perjalanan waktu.
Allamak....
URAT SIMALUNGUN SUDAH PUTUS?

Oleh Simon P Saragih
* Seorang Haji Damanik Mendukung Sanggar Tari Harris Hemdy Sigumonrong
BUKAN hanya di lagu, di adat dan juga di "ahap" pun urat Simalungun sudah hampir putus. Atau mungkin sudah benar-benar putus.
Banyak indikasi yang menunjukkan potensi urat yang putus. Artefak-artefak Simalungun terlantar dan tak terurus. Stupa-stupa tertimbun tanah, retak-retak, seolah-olah menandakan semua itu sudah tidak perlu, dan mungkin juga tidak lagi berharga.
Ironisnya, dan contoh terkini, ketika seorang relawan seperti Sultan Saragih II membaktikan dirinya pada pelestarian budaya kuno Simalungun, dia tidak ditoleh. Lebih jauh, dia telah dituduh seolah-olah membangkitkan hal-hal berhala.
Berhalakah adat? Berhalakah tradisi?
Tampaknya tidak demikian. Setidaknya itu tidak menjadi pegangan banyak orang. Di sebuah desa kecil di desa Mariah Purba Saribu, Kecamatan Horisan Haranggol misalnya, sebuah tugu tentang perintis desa itu, Manorsa, dibikinkan tugu peringatan.
Para keturunan Manorsa itu, yang aslinya Simamora Debata Raja, perantau dari Dolok Sanggul, telah mematrikan diri mereka sebagai Simalungun asli. Mereka merasa berutang pada leluhur mereka yang telah membawa mereka ke perantauan dan memberi kehidupan yang di atas rata-rata di perantauan.
Mereka itu beragama, antara lain GKPS dan Katolik. Para keturunannya terlibat aktif di gereja. Hal yang mereka ingin lakukan adalah mengenang leluhur, dan meniru semangat leluhur yang mereka anggap luhur.
"Ingatlah akan leluhur-leluhurmu kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka," demikian Leo Joosten OFM Cap, seorang rohaniwan asal Belanda, mengutip Ibrani 13:7. Dia mengutip itu karena Kitab itulah yang membuatnya terdorong menuliskan kisah-kisah orang yang terlibat pewartaan zaman dulu di Indonesia.
Banyakkah warga Simalungun melakukan seperti yang dilakukan keturunan Manorsa itu?
Itu baru untuk urusan internal sebuah keluarga dengan silsilah mereka sendiri. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab sosial bersama di Simalungun itu sendiri?
Masih ada upaya-upaya sporadis di antara etnis ini guna menghargai tradisi dan menghargai dirinya sendiri. Akan tetapi semuanya sporadis dan tidak terjamin langgeng.
Terima kasih kepada lembaga-lembaga adat di desa-desa Simalungun. Lembaga ini, tinggal satu-satunya penerus alamiah tradisi. Hanya saja ini umumnya hanya bergerak jika itu an sich untuk urusan adat yang terbatas. Lembaga semacam itu aktif dan eksis hanya untuk pernikahan, kelahiran, acara adat internal, hingga acara kematian seorang sesepuh terhormat.
Di luar itu, hal yang terjadi hanya sekadar niat, atau ekstremnya hanya sebuah cap di jiwa, "Bahwa saya SImalungun". Dalam implementasinya yang lebih luas, hal yang terjadi adalah apatisme, atau mungkin juga sinisme?
Tidak terlihat fakta-fakta sejarah tertulis tentang warisan Simalungun itu sendiri, kecuali masih ada di benak para tetua. Akan tetapi tidak ada yang berminat membakukannya dalam bentuk tulisan, hingga bisa menjadi sejarah berharga di masa depan generasi Simalungun.
Kuat hipotesa, Simalungun tidak perduli dengan dirinya. Mungkin dengan tradisi orang lain pun dia tidak perlu perduli.
Terima kasih kasih Gereja GKPS, yang kini menjadi salah satu pilar agama, dengan berbasiskan umat bernama Suku Simalungun. Gereja GKPS ini secara langsung atau tidak langsung masih menjadi fondasi kuat dan mungkin sebuah fondasi yang lestari bagi penegak identitas dan jati diri Simalungun. Namun GKPS kukuh karena ada Iman di dalamnya. Ada urusan Tuhan secara langsung di dalamnya. Ada soal karya penyelamatan di dalamnya.
Di luar Gereja GKPS dan lembaga adat, Simalungun seperti kapal kecil terapung di tengah samudera nan luas. Syukur-syukur gelombang dahsyat tidak akan segera menenggelamkannya.
Barangkali semua hipotesa itu bisa didebat. Akan tetapi fakta-fakta memperlihatkan secara kuat pula, Simalungun itu seperti kapas yang diterpa angin, mudah terbang kemana saja, walau hanya oleh tiupan angin sepoi-sepoi saja. Dia bukan seperti pohon randu, penghasil kapas, yang tetap berdiri tegak walau ada angin, hingga angin kuat sekali pun.
Mau contoh? Kisah sedih seorang Taralamsyah adalah kisah paling mengemuka tentang itu. Ironisnya, kisah itu tidak terhentikan. Para penerusnya juga mengalami hal serupa.
Harris Hemdy Purba, kelahiran 1949, adalah seorang penerus yang tinggal di Medan. Dia mencoba menegakkan kembaili tradisi Simalungun dari sisi seni budaya. Orkes Nalaingan dia coba hidupkan. Sepeninggal Taralamsyah karena pergi ke Jambi, Harris mencoba membangkitkan Orkses Nalaingan. "Akan tetapi benar, memang berat. Tidak ada yang mendukung," kata Harris menceritakan kisahnya.
Cucu Raja Raya ini, Tuan Kaduk, dari garis ibunya, mencoba beralih ke grup tari. Dia mendirikan sebuah sanggar tari, khusus untuk tari Simalungun. Di sini lagi, kepedihan hatinya semakin merebak.
Pernah dia membagikan sarune kepada para anak muda Simalungun agar melatih diri main sarune. "Hanya sarune-nya yang mereka mau, tetapi meniupnya saja mereka tidak mau. Jangankan mau menjadi pesarune profesional, meniupnya saja mereka tidak mau," katanya saat wawancara di hari Rabu, tanggal 19 Maret, saat berkunjung ke Jakarta.
Lalu mengapa masih eksis? "Ada seoarang Haji marga Damanik, yang satu-satunya menjadi semacam secercah harapan bagi saya," kata Harris. Dia seperti kakeknya, dari garis ibunya, Tuan Taralamsyah, kini menjadi nara sumber seni, khususnya untuk pembuatan skripsi tentang seni budaya Simalungun, khususnya seni tari.
Haji ini merelakan sebuah bangunan miliknya untuk dipugar. Ruangannya ditata sehingga bisa menjadi ajang latih tari bagi kelompok tari yang dibina Harris. Bukan cuma lahannya, uang Haji marga Damanik itu, yang Simalungun asal Sidamanik pun sering mengucur untuk kepentingan Harris.
Lalu bagaimana saat pertunjukan? "Tidak ada masalah soal hasilnya karena memuaskan para penonton."
Lalu dimana kisah pilu yang dia hendak utarakan? "Pernah sekali, dan kemudian seterusnya berlaku seperti itu. Pernah kita diminta tampil. Ini oleh orang Simalungun. Pemain kita ada 10 orang. Permintaan tampil pun harus di luar kota Medan. Kisahnya adalah soal tarif. Kita sudah pasang tarif serendah mungkin, katakanlah Rp 2,5 juta."
Tau apa kata orang Simalungun itu? "Aduh, ngak jadi. Kemahalan itu Rp 2,5 juta." Harris merasa perih. Duit Rp 2,5 juta jika dirata-ratakan hanya bisa dibagikan Rp 250.000 per orang. Itu belum termasuk ongkos, bensin, dan uang makan tiga kali dalam sehari selama pertunjukan itu.
"Payah, ya memang payah," kata Harris. Untungnya dia pernah mengenang Taralamsyah pulang jalan kaki usai peresmian Hotel Dharma Deli di Medan di awal dekade 1970-an. "Ya karena tidak ada ongkos," kata Harris menyaksikan Taralamsyah berjalan pulang usai ditanggap tampil pada peresmian hotel itu.
Harris Hemdy kini sering merasa apatis pula. Dia sering menjadi sinis sendiri. Dia sudah tak berharap pada dukungan etnis Simalungun itu sendiri.
"Akan tetapi adalah tugasku untuk tetap melanjutkan karya saya," kata Harris yang membakukan buku kecil berisikan tentang tari Simalungun yang sebenarnya.
Antusiasme susah dibangkitkan. Orang-orang Simalungun pun sudah lebih suka dengan musik kocak dengan goyangan jingkrak jika ada pesta-pesta.
Lebih ironis lagi adalah penerus seni budaya. Musik gonrang misalnya, sedang dalam proses pemunahan. "Jika Anda anggap generasi Simalungun Raya masih peduli, tampaknya Anda harus siap kecewa," kata Harris.
Dia memberi contoh. Sekarang para pemain gonrang ada dari Simalung Atas. Tidak banyak tetapi ada, dan masih tergolong profesional dan bisa diandalkan serta sering tampil di acara-acara. "Lihat juga pemain sarune, juga di SImalungun Atas, ada seorang pemain sarune yang handal karena itu sering kita ajak naik pentas. Tahu apa marganya? Bukan Saragih, bukan Purba. Pemain Sarune itu marga Sagala."
Lalu dimana peran dan tanggung jawab orang-orang kaya Simalungun? Dia menyebutkan nama-nama. Tidak enak disebutkan di sini. "Begitu Bupati Rajamin Meninggal, tampaknya kandas lah sudah dukungan seperti sebesar yang pernah beliau berikan."
Jika dulu belum banyak orang sukses Simalungun, masih bisa dimaklumi soal rendahnya antusiasme dan honor. Jika kini banyak generasi Simalungun berduit, tetapi sungguh tidak terpanggil melestarikan budayanya, itulah gambaran tragedi itu.
Itulah pertanda tentang urat Simalungun mendekati putus, dan barang kali akan punah seiring dengan perjalanan waktu.
Allamak....
Label:
RAGAM BUDAYA
13:01
www.indosiar.com,
Simalungun - Generasi penerus budaya dan seni Simalungun kini hampir
punah. Minat generasi muda Simalungun untuk menggeluti budaya dan seni
Simalungun kini semakin pudar, dan bahkan hampir dikatakan sirna. Untuk
melestarikan budaya dan seni tersebut, dibutuhkan perhatian serius dari
Pemerintah Kabupaten Simalungun.
Mengenang Seniman Simalungun L Saragih (Anjuau) Pematang Raya
Foto saat Pesta Manjalo Tungkot dan DudadudaBapatua L Saragih Inang Tua Br Damanikdi P Raya 23 Desember 2008. Foto Asenk Lee Saragih. |
Lima Tahun Sudah, Bapatua L Saragih, Seniman Simalungun tanpa pamrih meninggalkan duniaya. Namun hingga kini cita-citanya untuk membangkitkan generasi seniman muda Simalungun masih terus terngiang ditelinga. Namun apa daya, keprihatinannya soal generasi muda Seniman Simalungun terus bergelora. Lalu siapa yang peduli?
Kini Bapatua dan Inang Tua Ini Sudah Berada Disisi Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa
*********
(Sebuah Tulisan Hasil Wawancara Saya Asenk Lee Saragih Dengan L Saragih Tahun 2008 Lalu dan Dimuat di www.indosiar.com, Batak Pos dan Majalah Sauhur Simalungun)
Budaya Seni Simalungun Punah di Negeri Sendiri
www.indosiar.com,
Simalungun - Generasi penerus budaya dan seni Simalungun kini hampir
punah. Minat generasi muda Simalungun untuk menggeluti budaya dan seni
Simalungun kini semakin pudar, dan bahkan hampir dikatakan sirna. Untuk
melestarikan budaya dan seni tersebut, dibutuhkan perhatian serius dari
Pemerintah Kabupaten Simalungun.
Demikian
dikatakan oleh L Saragih, salah satu Pengrajin Alat Tradisional Budaya
Simalungun kepada kontributor indosiar.com ketika ditemui di kediamannya
“Anjuau” di Jalan Sudirman Pematang Raya, Kecamatan Raya Kabupaten
Simalungun beberapa waktu lalu.
Menurut
L Saragih, minat pemuda Simalungun untuk belajar budaya Simalungun kini
jarang ditemukan. Untuk melestarikan budaya tradisional Simalungun,
perhatian Pemerintah Kabupaten Simalungun masih minim. Dikatakan, sejak
tahun 1958, dirinya menggeluti pembuatan ukir-ukiran Budaya Tradisional
Simalungun, hingga kini belum ada generasi penerus untuk melestarikan
budaya tradisional tersebut.
L
Saragih menambahkan bahwa dirinya kini masih aktif membuat cinderamata
tradisional Simalungun seperti, Tungkot (tongkat ukiran), Duda-Duda
(alat penumbuk sirih terbuat dari besi kuningan), Lopak (tempat
menyimpan kapur sirih terbuat dari besi kuningan).
Selain
itu, juga aktif membuat Gotong (topi khas Budaya Simalungun), Simbola
Pagar (rantai gotong terbuat dari besi kuningan), Pisau Marsombah (pisau
terbuat dari besi kuningan dengan ukiran khas Simalungun), dan Ponding
(kepala ikat pinggang yang terbuat dari kuningan).
Menurut
Saragih, selain membuat alat tersebut, dirinya juga aktif memainkan
Gondrang 7 hata (gendang 7 buah), Sordam (suling dua lobang), Suling,
Sarunei (serunai kayu). Saragih juga pernah meraih sejumlah prestasi
dalam Lomba Musik Tradisional di Simalungun.
Selain
meraih juara satu Umum Tortor Sombah (tarian Raja Simalungun) pada HUT
TNI ke- 55 tahun 2000 lalu, dirinya juga pernah meraih juara satu
Gondrang Simalungun dalam pesta Budaya Simalungun “Rondang Bintang” di
Haranggaol tahun 1998.
Dikemukakan,
menggeluti pengrajin ukiran dan seni tradisional Simalungun merupakan
profesi yang menjanjikan. Diakuinya, L Saragih mampu menyekolahkan lima
anaknya hingga keperguruan tinggi dari profesi pengrajin alat
tradisional Budaya Simalungun.
“Cinderamata
dan seni tradisional budaya Simalungun kini masih langka dijumpai.
Harga cinderamata budaya Simalungun tergololong mahal. Harga satu set
Gotong mencapai Rp 2,5 hingga Rp 3 juta. Harga ditentukan dengan jenis
cinderamata,” ujar pria kelahiran Pematang Raya tahun 1958 ini.
Menurutnya,
jika Pemerintah Kabupaten Simalungun tidak memperhatikan pelestarian
Budaya Tradisional Simalungun tersebut, dikhawatirkan generasi pengrajin
alat dan seni Budaya Tradisional Simalungun akan punah.
Dirinya
menghimbau agar pemerintah setempat memasukkan program-program muatan
local, seperti keterampilan dan seni Budaya Simalungun di di
sekolah-sekolah. Hal itu penting untuk mengembangkan seni dan budaya
Simalungun di negeri sendiri. (Kontributor:Rosenman Saragih) http://www.indosiar.com
**********
Selamat Jalan Seniman Simalungun Tanpa Pamrih Batua Tercinta L Saragih
“Sanina Asenk….Domma Marujung Bapa Ambia, Patugah bani keluarganta
haganupan” (Saudara Asenk….Ayah telah dipanggil Tuhan) begitu suara
Abang John T Saragih dari Rumah Sakit Harapan Siantar, Jumat 25 Desember
2009 sekira pukul 22.30 WIB. Seniman Simalungun ini dikebumikan Senin
28 Desember 2009 di P Raya.
"Selamat Jalan Bapatua, Nama dan Karyamu Akan Kami Kenang Sepanjang Hidup Kami"
Sontak saya meneteskan air mata usai menerima telepon itu. Sungguh kehilangan. Sosok Bapatua L Saragih, adalah ayah yang sederhana dan peduli terhadap keluarga, terutama akan Budaya, Adat Simalungun.
Berbuat untuk Seni Simalungun, sudah ditorehkannya sejak masa mudanya. Dia bukan asli marga Simalungun, tapi di adalah Saragih Simarmata. Namun marga baginya bukan untuk penghalang dalam memajukan Adat, Budaya, Seni Simalungun.Secara pribadi saya mengenalnya sungguh baik.
"Selamat Jalan Bapatua, Nama dan Karyamu Akan Kami Kenang Sepanjang Hidup Kami"
Sontak saya meneteskan air mata usai menerima telepon itu. Sungguh kehilangan. Sosok Bapatua L Saragih, adalah ayah yang sederhana dan peduli terhadap keluarga, terutama akan Budaya, Adat Simalungun.
Berbuat untuk Seni Simalungun, sudah ditorehkannya sejak masa mudanya. Dia bukan asli marga Simalungun, tapi di adalah Saragih Simarmata. Namun marga baginya bukan untuk penghalang dalam memajukan Adat, Budaya, Seni Simalungun.Secara pribadi saya mengenalnya sungguh baik.
Dalam
membina rumah tangga Bapatua tercinta ini selalu mengutamakan
keharmonisan dan musyawarah. “Holong” kasih sungguh mengalir dalam tubuh
dan jiwa Bapatua ini semasa hidupnya.
Kami sungguh kehilangan
seorang Seniman Simalungun tanpa pamrih dari Negeri ini. Sungguh
kehilangan. Kami berharap ada yang dapat melanjutkan cita-cita luhur
dari Almarhun dalam melestarikan Seni, Budaya dan Adat Simalungun yang
kita cintai ini. Dibawah ini tulisan saya ketika masa hidup
Bapatua tercinta tersebut. Sosok Bapatua ini telah saya tulis dan dimuat
di Harian Umum Batak Pos dan Majalah Sauhur Simalungun tahun 2008 lalu.
Hanya
tulisan ini yang bias saya buat untuk Bapatua dan Inang Tua tercinta
yang lebih dulu dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ke sisi Nya.
Tokoh Seniman Simalungun Manjalo Tungkot dan Duda-Duda
Prihatin Dengan Generasi Simalungun
Prihatin Dengan Generasi Simalungun
Foto saat Pesta Manjalo Tungkot dan Dudaduda di P Raya 23 Desember 2008. Foto Asenk Lee Saragih. |
Menerima
“Tungkot dan Duda-duda” (Seperangkat Tongkat dan Gilingan Sirih) dari
seluruh anak dan cucu merupakan penghargaan mulia bagi orang tua
Simalungun dan juga penghargaan tertinggi secara Adat Simalungun kepada
orangtua.
Pesta “Mambere Tungkot dan Duda-duda” merupakan suatu
kehormatan kepada orang tua sebagai pencerminan dalam menjalankan Hukum
Taurat yang ke lima.Pemberian “Tungkot dan Duda-duda” kepada
orang tua adalah Adat Budaya Simalungun yang harus dipertahankan oleh
generasi muda Simalungun. Hal itu yang dilakukan seluruh anak dan cucu
dari Ludianus Saragih/ T br Damanik (Anjuau) di Pematang Raya, Kabupaten
Simalungun Desember 2008 lalu.
Pengamatan Penulis saat acara
pesta berlangsung menunjukkan, Pesta Pemberian Tungkot dan Duda-duda itu
sungguh bermakna terhadap pelestarian Adat Budaya Simalungun. Seluruh
keluarga (tutur) yang terpaut dalam pesta itu, menikmati jalannya acara
hingga selesai. Budaya gotong royong dalam “marhobas” tampak pada acara
tersebut.
Ribuan undangan tampak memadati tempat yang telah disediakan.L
Saragih/ T br Damanik yang merupakan Tokoh Simalungun yang juga
penggiat ukiran serta seniman Simalungun, tampak berbahagia mendapat
Tungkot dan seperangkat Duda-duda dari seluruh anak dan cucunya.
John
Tuah Saragih/br Siagian, anak paling bungsu dari L Saragih/ T br
Damanik ini mengatakan, Pesta “Mambere Tungkot dan Duda-duda” itu
sebagai ucapan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ucapan Terimakasih
kepada kedua orang tua dari seluruh anak dan cucu yang telah mengabdi
dalam membesarkan seluruh anaknya hingga berhasil.
Rasa
prihatin L Saragih terhadap generasi muda Simalungun dalam mengabadikan
Seni, Adat Istiadat Simalungun patut menjadi perhatian semua pihak
khususnya Tokoh Simalungun. L Saragih, yang merupakan salah
seorang Tokoh Seniman (pengrajin ukiran kayu dan logam Tradisional
Budaya Simalungun kepada Penulis menuturkan, minat pemuda atau generasi
muda Simalungun untuk belajar Budaya, Adat dan Seni Simalungun kini
sudah jarang ditemukan di Simalungun.
“Sementara upaya
melestaraikan budaya tradisional Simalungun, perhatian Pemerintah
Kabupaten Simalungun masih minim. Adat, Budaya dan Seni Simalungun kini
bisa hilang di Simalungun.Menurut L Saragih, sejak tahun 1958
dirinya menggeluti pembuatan ukir-ukiran logam kuningan Budaya
Tradisional Simalungun.
Bahkan hingga kini belum ada generasi penerus
untuk melestarikan budaya tradisional, termasuk anak-anaknya. “Tidak
ada lagi generasi muda Simalungun yang mau menggeluti pembuatan ukiran
Budaya Simalungun, dan juga seni musik tradisionalnya. Ini di kwatirkan,
adat budaya Simalungun akan punah dikampung sendiri. Padahal Budaya
Daerah itu merupakan aset bangsa,”ujarnya.
Kini
L Saragih sudah jarang menggeluti progesinya sebagai pemmembuat
cenderamata tradisional Simalungun seperti, Tungkot (tongkat ukiran),
Duda-Duda (alat penumbuk sirih terbuat dari besi kuningan), Lopak
(tempat menyimpan kapur sirih, terbuat dari besi kuningan).
Alasan
kurang aktinya lagi dalam progesi itu karena kesehatan. Sebelumnya L
Saragih aktif membuat Gotong (topi keagungan khas Budaya Simalungun),
Simbola Pagar (rantai gotong terbuat dari besi kuningan), Pisau
Marsombah (pisau terbuat dari besi kuningan dengan ukiran khas
Simalungun), dan Ponding (kepala ikat pinggang yang terbuat dari
kuningan).
Menurut Saragih, selain membuat alat tersebut, dirinya
sebelumnya juga aktif memainkan Gondrang 7 hata (gendang 7 buah),
Sordam (suling dua lobang), Suling, Sarunei (serunai kayu). Saragih juga
pernah meraih sejumlah prestasi dalam Lomba Musik Tradisional di
Simalungun.
Selain meraih juara satu umum Tortor Sombah (tarian
Raja Simalungun) pada HUT TNI ke- 55 tahun 2000 lalu, dirinya juga
pernah meraih juara satu Gondrang Simalungun dalam pesta Budaya
Simalungun “Rondang Bintang” (malam hiburan) di Haranggaol 1998.Menurutnya,
menggeluti pengrajin ukiran dan seni tradisional Simalungun merupakan
profesi yang menjanjikan.
Diakuinya, L Saragih mampu menyekolahkan lima
anaknya hingga keperguruan tinggi dari profesi pengrajin alat
tradisional Budaya Simalungun.“Cindra mata dan seni tradisional
budaya Simalungun kini masih langka dijumpai. Harga cindramata budaya
Simalungun tergololong mahal.
Harga satu set Gotong mencapai Rp 2,5
hingga Rp 3 juta. Harga ditentukan dengan jenis cendera mata,” ujar pria
kelahiran Pematang Raya tahun 1958 ini.Menurutnya, jika
Pemerintah Kabupaten Simalungun tidak memperhatikan pelestarian Budaya
Tradisional Simalungun itu, dikhawatirkan generasi pengrajin alat dan
seni Budaya Tradisional Simalungun akan punah.
Dirinya
menghimbau agar pemerintah setempat memasukkan program-program muatan
lokal seperti keterampilan dan seni Budaya Simalungun di sekolah-sekolah
dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal itu
penting untuk menumbuh kembangkan seni dan budaya Simalungun di Tanah
Simalungun. (Asenk Lee Saragih-HP 0812 7477587) BERITAKU DUA
Daftar Niombah (Anak-Menantu):
-Sumarni br Saragih/ E Tarigan (Saribudolok)
-Juli G Saragih/ M br Hutagaol (Jakarta)
-Serubabel Saragih/ K br Sipayung ( P Siantar)
-Henny Lisde br Saragih (P Raya)
-John MT Saragih/ R br Siagian (Medan/Jambi)
Pahompu (Cucu) :
- Nofritasari br Tarigan-Esfrin Jayando Tarigan-Bima Frido Tarigan
- Godpride Bonardo Saragih-Theresia br Saragih-Godsend Saragih
- Vivi Uliarni br Saragih-Heru Saragih
Daftar Niombah (Anak-Menantu):
-Sumarni br Saragih/ E Tarigan (Saribudolok)
-Juli G Saragih/ M br Hutagaol (Jakarta)
-Serubabel Saragih/ K br Sipayung ( P Siantar)
-Henny Lisde br Saragih (P Raya)
-John MT Saragih/ R br Siagian (Medan/Jambi)
Pahompu (Cucu) :
- Nofritasari br Tarigan-Esfrin Jayando Tarigan-Bima Frido Tarigan
- Godpride Bonardo Saragih-Theresia br Saragih-Godsend Saragih
- Vivi Uliarni br Saragih-Heru Saragih
- (Butet) Boru Abang Jhon Saragih-br Siagian
Label:
SENIMAN
11:06
Taralamsyah tergolong orang beruntung walau ia mungkin tidak tahu siapa saja saudara saudari kandungnya. Dia lahir dari lingkungan Kerajaan Raya dimana para raja memiliki banyak putra-putra dari sejumlah istri resmi.
Raja Rondahaim (1831 – 1889), bernama asli Tuan Namabisang, adalah kakek kandungnya yang merupakan salah satu raja terkenal di Simalungun. Dia adalah salah satu raja di Simalungun yang paling banyak dibicarakan. Konon, dia pernah
menaklukkan pasukan Sisingamangaraja XII.
Rondahaim yang berkuasa sebagai raja periode 1857 – 1889 memiliki sebanyak 54 putra dan putri. Penerus kekuasaan Rondahaim adalah putra tertuanya, Tuan Sumayan (1859 – 1932), bernama asli Tuan Hapoltakan. Dialah ayah kandung Taralamsyah.
Dari sebanyak 60 istri, Tuan Sumayan yang berkuasa periode 1889 – 1932, memiliki 40 putra putri.
Tuan Sumayan menurunkan Tuan Gomok (1879 – 1940) yang menggantikannya sebagai Raja Raya, abang kandung Taralamsyah. Di urutan ke-10 anak Tuan Sumayah adalah Tuan Jan Kaduk, yang menurunkan Bill Saragih, seorang penyanyi jazz terkenal dekade 1980-an dan 1990-an.
Tuan Kaduk menjadi Raja Raya setelah abangnya Tuan Gomok wafat tahun 1940.
Tuan Taralamsyah, demikian dia dipanggil karena merupakan keturunan raja, ada di urutan ke-24 sebagai anak Tuan Sumayan. Taralamsyah kelahiran Pematangraya, 18 Agustus 1918, benar-benar mengenal kental dan menjadi saksi dari dalam lingkungan kerajaan itu sendiri.
Sebelum wafat pada 1 Maret 1993 di Jambi, karena dia hijrah – suami dari Siti Mayun Siregar ini menuliskan sendiri riwayat hidupnya dengan mesin ketik. Dia menuliskan nama tiga putra dan Sembilan putrinya.
Dia juga meninggalkan catatan lain. “Sebagai anak seorang raja, diharuskan menguasai permainan musik Simalungun di Istana Raya dan dididik secara tradisi bidang senimusik Simalungun,” demikian Taralamsyah yang menuliskan sendiri kisahnya.
Belajar musik adalah salah satu kewajiban di kerajaan, yang memiliki kebiasaan rutin mengajarkan seni di lingkungan sendiri. Hal ini juga menjadi kebiasaan umum di berbagai lingkungan kerjaaan walau secara otodidak rakyat biasa juga mendalaminya. Ini disebabkan setiap acara kerajaan tidak pernah luput dari acara-acara musikal.
Akan tetapi Taralamsyah sedikit beruntung dengan lingkungannya itu. Bakat alamiah sudah ada pada dirinya. “Muncul istilah di kerajaan, begitu terlahir ke bumi ini keturunan raja sudah bisa benyanyi,” demikian Edy Taralamsyah memberi perumpamaan tentang musik yang menjadi salah satu tradisi utama di kerajaan.
Penajaman kemampuan musikal juga dimungkinkan karena selalu ada guru yang pintar untuk mengajari. Menurut Taralamsyah, dia belajar musik khususnya permainan biola dari guru musik bernama J.K Saragih, singkatan dari Jan Kaduk Saragih.
Jan Kaduk ini adalah abang kandungnya sendiri dengan beda usia 19 tahun. Jan Kaduk adalah juga pemangku jabatan Raja Raya dan meninggal di usia 47 tahun saat tewas di tangan pasukan revolusioner pada 3 Maret 1946, sebagaimana dituliskan di blog pribadi Saridin Purba, menantu kandung Jan Kaduk.
Ada banyak kader-kader musik yang dibina di lingkungan kerajaan. Jan Kaduk adalah guru yang disiplin soal musik. “Jika kita malas-malasan, kita bisa dicambuk,” kata Enna Saragih Garingging, adek kandung Bill Saragih.
KOMPONIS DARI LINGKUNGAN KERAJAAN
Written By GKPS JAMBI on Tuesday, 18 March 2014 | 11:06
![]() |
Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan.FT IST |
Taralamsyah tergolong orang beruntung walau ia mungkin tidak tahu siapa saja saudara saudari kandungnya. Dia lahir dari lingkungan Kerajaan Raya dimana para raja memiliki banyak putra-putra dari sejumlah istri resmi.
Raja Rondahaim (1831 – 1889), bernama asli Tuan Namabisang, adalah kakek kandungnya yang merupakan salah satu raja terkenal di Simalungun. Dia adalah salah satu raja di Simalungun yang paling banyak dibicarakan. Konon, dia pernah
menaklukkan pasukan Sisingamangaraja XII.
Rondahaim yang berkuasa sebagai raja periode 1857 – 1889 memiliki sebanyak 54 putra dan putri. Penerus kekuasaan Rondahaim adalah putra tertuanya, Tuan Sumayan (1859 – 1932), bernama asli Tuan Hapoltakan. Dialah ayah kandung Taralamsyah.
Dari sebanyak 60 istri, Tuan Sumayan yang berkuasa periode 1889 – 1932, memiliki 40 putra putri.
Tuan Sumayan menurunkan Tuan Gomok (1879 – 1940) yang menggantikannya sebagai Raja Raya, abang kandung Taralamsyah. Di urutan ke-10 anak Tuan Sumayah adalah Tuan Jan Kaduk, yang menurunkan Bill Saragih, seorang penyanyi jazz terkenal dekade 1980-an dan 1990-an.
Tuan Kaduk menjadi Raja Raya setelah abangnya Tuan Gomok wafat tahun 1940.
Tuan Taralamsyah, demikian dia dipanggil karena merupakan keturunan raja, ada di urutan ke-24 sebagai anak Tuan Sumayan. Taralamsyah kelahiran Pematangraya, 18 Agustus 1918, benar-benar mengenal kental dan menjadi saksi dari dalam lingkungan kerajaan itu sendiri.
Sebelum wafat pada 1 Maret 1993 di Jambi, karena dia hijrah – suami dari Siti Mayun Siregar ini menuliskan sendiri riwayat hidupnya dengan mesin ketik. Dia menuliskan nama tiga putra dan Sembilan putrinya.
Dia juga meninggalkan catatan lain. “Sebagai anak seorang raja, diharuskan menguasai permainan musik Simalungun di Istana Raya dan dididik secara tradisi bidang senimusik Simalungun,” demikian Taralamsyah yang menuliskan sendiri kisahnya.
Belajar musik adalah salah satu kewajiban di kerajaan, yang memiliki kebiasaan rutin mengajarkan seni di lingkungan sendiri. Hal ini juga menjadi kebiasaan umum di berbagai lingkungan kerjaaan walau secara otodidak rakyat biasa juga mendalaminya. Ini disebabkan setiap acara kerajaan tidak pernah luput dari acara-acara musikal.
Akan tetapi Taralamsyah sedikit beruntung dengan lingkungannya itu. Bakat alamiah sudah ada pada dirinya. “Muncul istilah di kerajaan, begitu terlahir ke bumi ini keturunan raja sudah bisa benyanyi,” demikian Edy Taralamsyah memberi perumpamaan tentang musik yang menjadi salah satu tradisi utama di kerajaan.
Penajaman kemampuan musikal juga dimungkinkan karena selalu ada guru yang pintar untuk mengajari. Menurut Taralamsyah, dia belajar musik khususnya permainan biola dari guru musik bernama J.K Saragih, singkatan dari Jan Kaduk Saragih.
Jan Kaduk ini adalah abang kandungnya sendiri dengan beda usia 19 tahun. Jan Kaduk adalah juga pemangku jabatan Raja Raya dan meninggal di usia 47 tahun saat tewas di tangan pasukan revolusioner pada 3 Maret 1946, sebagaimana dituliskan di blog pribadi Saridin Purba, menantu kandung Jan Kaduk.
Ada banyak kader-kader musik yang dibina di lingkungan kerajaan. Jan Kaduk adalah guru yang disiplin soal musik. “Jika kita malas-malasan, kita bisa dicambuk,” kata Enna Saragih Garingging, adek kandung Bill Saragih.
Label:
SENIMAN
11:00
(Ekstrasi dari hasil wawancara dengan Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan).
Musik itu melodi, musik itu juga tragedi.
Musik itu menyenangkang tetapi tidak memberi pengharapan. Ini salah siapa? Mungkin telah menjadi salah musik itu sendiri. Mungkin juga musik itu punya kutukannya tersendiri. Ini hanya sebuah kemungkinan tetapi amat nyata.
Jika ini tidaklah sebuah kemungkinan tetapi itu adalah sebuah fakta bagi para seniman Simalungun itu sendiri.
Tursini Saragih yang berkibar dekade 1970-an dengan lirik lagu "Suratan Ou" dan suara memukai telah lenyap ditelan zaman. Tidak banyak yang tahu jika dia telah meninggal bahkan oleh warga yang pernah terhibur olehnya. Dia hanya didambakan seperti saat tampil memukau dengan bulang dan lipstik memerah di bibir dekade 1970-an lalu di Saribudolok.
Setelah semuanya berlalu, Tursini hanya tinggal nama. Mereka yang pernah terhibur tidak ingin menanyakan apalagi mendatangi proses pemakamannya. Akh, masih untung dia disebut namanya di tulisan ini, dan hanya itu yang ada.
Lina Damanik, juga seorang penyanyi dekadek 1970-an, tidak lebih dari sekadar parjuma-juma, berangkat pagi dan pulang larut senja dari mencangkul di ladang. Paling hanya seorang Sultan Saragih II, seseorang yang juga dicibirkan, yang mengingatnya baru-baru ini dengan membuatnya tampil di sebuah acara musikal.
Simon Sipayung penyanyi dekade 1970-an dengan rekaman suara, salah satunya "Jaga-Jaga Ma Ham Botou Da", hanya menjadi bahan ledekan dengan pelesetan "caka-caka" dari jaga-jaga. Suaranya yang masih melengking tetapi tidak lagi memukau pada Januari 2014 ketika tampil di sebuah acara di Saribudolok. Maklum, dia sudah tua, peot, jelek pula.
Bintang terpopuler dari Trio Spansel, salah satunya Sarudin, tak berbeda. Nada suaranya yang tinggi dengan lagi "Sirang Padan" tidak lagi menarik. Tempatnya sekarang menghibur bukan di sebuah hotel berbintang, walau hotel milik Batak sekali pun. Sarudin kini hanya menantikan lemparan recehan untuk penyambung hidup di sebuah lapo Jakpus, Lapo Tondongta.
Barangkali akan seperti itulah nasibnya Intan Saragih, Yeyen Marbun, Damma Silalahi, bahkan Jhon Eliaman Saragih kelak. Siapalah pula Bang Sion Damanik, yang pajangan sampul kasetnya di sebuah grup Facebook Simalungun saja tak menarik antusiasme.
Jangan pula cerita soal Grup Nalaingan, satu-satunya grup penyanyi Simalungun sejak Orde Lama hingga penghujung Dekade 1960-an. Nama Nalaingan telah mati seiring dengan matinya para personelnya. Kalau pun ada yang masih hidup seperti Menna Purba Sigumonrong berusia 87 tahun pada tahun 2004, juga hanya menantikan kematiannya semata seperti dia katakan sendiri.
Nama Group Nalaingan, yang pernah menghibur mantan Presiden Soekarno di Gubernuran Medan di mana Soekarno sangat suka melodi dan tarian "Manduda", tidak terdengar. Sekitar delapan personelnya yang selalu mendapatkan tepukan riuh rendah pendengar, tidak tidak ditepuki oleh hantu sekalipun.
Group Nalaingan, satu-satunya kelompok penyanyi Simalungun terkenal pada zamannya, dan disegani komponis besar Batak Toba, Nahum Situmorang, telah berlalu seiring berlalunya zaman. Nasib personelnya sama dan serupa serta sebangun dengan suara buram pita kaset zaman dulu, ywalau warna dan kekuatan melodi mereka masih terasa.
Menna yang pernah diledek karena bersama suaminya hingga usia tua ber-ronggeng, manronggeng, seperti katanya sendiri, juga gambaran tragedi itu sendiri. Dia kini tinggal di kontrakan gang kecil, untungnya tidak terlalu kumuh di bilangan Kelapa Gading. Nasibnya tragis, setragis perbedaan gedung bertingkat mewah di lingkungannya yang hanya seperti mencibirnya di rumahnya dengan kegiatan jualan kecil-kecilan seperti rotik bungkus plastik.
"Beginilah, tak apa apa ya, maklumlah, Inang hanya bisa ngontrak Mang," katanya pada saya yang di awal pertemuan disambut tangis.
Kenapa menangis Inang? "Lima puluh tahun aku menunggu siapa tahu ada yang tertarik. Inilah komposisi tiga puluh lagu yang indah dan bernilai tinggi dari Simalungun karya Taralamsyah. Tak seorang pun pernah tertarik pada lagu lagu ini. Kalau pun ada yang tertarik hanya ingin merekamnya untuk tujuan komersial semata sekadar biar laku."
"Aku tidak mau itu. Aku takut pesan Taralamsyah akan hilangnya warna melodi SImalungun jika diaransemen ulang dengan liukan yang salah. Biarlah tidak ada yang merekamnya kalau lagu itu menjadi rusak. Saya tidak mau melodi dan kalimatnya diubah seperti Gumisni Huting, tak mau aku."
Lagi, mengapa harus sampai menangis? "Terharu saja karena masih ada yang tertarik mengetahuinya."
Apa permintaan Inang? "Jika bisa ya, di buku itu, izinkan nama Nalaingan disebut-sebut. Itu saja. Setelah itu, saya sudah rela meninggal."
Beginilah nasib biduan, komponis. Nasib mereka hanya singkat-singkat sesingkat durasi lagu yang paling banter selama delapan menit.
Dimana apresiasi? Dimana nostalgia? Dimana dorongan pada warga yang ironisnya tetap menuntut sebuah kualitas tinggi?
Kurang tinggi apa kualitas Taralamsyah dan Sarudin?
Akhir kata, dimana perlindungan hak cipta? Dimana hak royalti?
Hukum perlindungan kekayaan intelektual pun tak mereka dapatkan lagi.
Oh musik, dan seni. Nasibmu sungguh tragis. Engaku memudar seiring berakhirnya sebuah putaran lagu.Oleh Simon Saragih
*)
MEMANG TIDAK AKAN MUDAH MENJADI SENIMAN
![]() |
Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan |
(Ekstrasi dari hasil wawancara dengan Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan).
Musik itu melodi, musik itu juga tragedi.
Musik itu menyenangkang tetapi tidak memberi pengharapan. Ini salah siapa? Mungkin telah menjadi salah musik itu sendiri. Mungkin juga musik itu punya kutukannya tersendiri. Ini hanya sebuah kemungkinan tetapi amat nyata.
Jika ini tidaklah sebuah kemungkinan tetapi itu adalah sebuah fakta bagi para seniman Simalungun itu sendiri.
Tursini Saragih yang berkibar dekade 1970-an dengan lirik lagu "Suratan Ou" dan suara memukai telah lenyap ditelan zaman. Tidak banyak yang tahu jika dia telah meninggal bahkan oleh warga yang pernah terhibur olehnya. Dia hanya didambakan seperti saat tampil memukau dengan bulang dan lipstik memerah di bibir dekade 1970-an lalu di Saribudolok.
Setelah semuanya berlalu, Tursini hanya tinggal nama. Mereka yang pernah terhibur tidak ingin menanyakan apalagi mendatangi proses pemakamannya. Akh, masih untung dia disebut namanya di tulisan ini, dan hanya itu yang ada.
Lina Damanik, juga seorang penyanyi dekadek 1970-an, tidak lebih dari sekadar parjuma-juma, berangkat pagi dan pulang larut senja dari mencangkul di ladang. Paling hanya seorang Sultan Saragih II, seseorang yang juga dicibirkan, yang mengingatnya baru-baru ini dengan membuatnya tampil di sebuah acara musikal.
Simon Sipayung penyanyi dekade 1970-an dengan rekaman suara, salah satunya "Jaga-Jaga Ma Ham Botou Da", hanya menjadi bahan ledekan dengan pelesetan "caka-caka" dari jaga-jaga. Suaranya yang masih melengking tetapi tidak lagi memukau pada Januari 2014 ketika tampil di sebuah acara di Saribudolok. Maklum, dia sudah tua, peot, jelek pula.
Bintang terpopuler dari Trio Spansel, salah satunya Sarudin, tak berbeda. Nada suaranya yang tinggi dengan lagi "Sirang Padan" tidak lagi menarik. Tempatnya sekarang menghibur bukan di sebuah hotel berbintang, walau hotel milik Batak sekali pun. Sarudin kini hanya menantikan lemparan recehan untuk penyambung hidup di sebuah lapo Jakpus, Lapo Tondongta.
Barangkali akan seperti itulah nasibnya Intan Saragih, Yeyen Marbun, Damma Silalahi, bahkan Jhon Eliaman Saragih kelak. Siapalah pula Bang Sion Damanik, yang pajangan sampul kasetnya di sebuah grup Facebook Simalungun saja tak menarik antusiasme.
Jangan pula cerita soal Grup Nalaingan, satu-satunya grup penyanyi Simalungun sejak Orde Lama hingga penghujung Dekade 1960-an. Nama Nalaingan telah mati seiring dengan matinya para personelnya. Kalau pun ada yang masih hidup seperti Menna Purba Sigumonrong berusia 87 tahun pada tahun 2004, juga hanya menantikan kematiannya semata seperti dia katakan sendiri.
Nama Group Nalaingan, yang pernah menghibur mantan Presiden Soekarno di Gubernuran Medan di mana Soekarno sangat suka melodi dan tarian "Manduda", tidak terdengar. Sekitar delapan personelnya yang selalu mendapatkan tepukan riuh rendah pendengar, tidak tidak ditepuki oleh hantu sekalipun.
Group Nalaingan, satu-satunya kelompok penyanyi Simalungun terkenal pada zamannya, dan disegani komponis besar Batak Toba, Nahum Situmorang, telah berlalu seiring berlalunya zaman. Nasib personelnya sama dan serupa serta sebangun dengan suara buram pita kaset zaman dulu, ywalau warna dan kekuatan melodi mereka masih terasa.
Menna yang pernah diledek karena bersama suaminya hingga usia tua ber-ronggeng, manronggeng, seperti katanya sendiri, juga gambaran tragedi itu sendiri. Dia kini tinggal di kontrakan gang kecil, untungnya tidak terlalu kumuh di bilangan Kelapa Gading. Nasibnya tragis, setragis perbedaan gedung bertingkat mewah di lingkungannya yang hanya seperti mencibirnya di rumahnya dengan kegiatan jualan kecil-kecilan seperti rotik bungkus plastik.
"Beginilah, tak apa apa ya, maklumlah, Inang hanya bisa ngontrak Mang," katanya pada saya yang di awal pertemuan disambut tangis.
Kenapa menangis Inang? "Lima puluh tahun aku menunggu siapa tahu ada yang tertarik. Inilah komposisi tiga puluh lagu yang indah dan bernilai tinggi dari Simalungun karya Taralamsyah. Tak seorang pun pernah tertarik pada lagu lagu ini. Kalau pun ada yang tertarik hanya ingin merekamnya untuk tujuan komersial semata sekadar biar laku."
"Aku tidak mau itu. Aku takut pesan Taralamsyah akan hilangnya warna melodi SImalungun jika diaransemen ulang dengan liukan yang salah. Biarlah tidak ada yang merekamnya kalau lagu itu menjadi rusak. Saya tidak mau melodi dan kalimatnya diubah seperti Gumisni Huting, tak mau aku."
Lagi, mengapa harus sampai menangis? "Terharu saja karena masih ada yang tertarik mengetahuinya."
Apa permintaan Inang? "Jika bisa ya, di buku itu, izinkan nama Nalaingan disebut-sebut. Itu saja. Setelah itu, saya sudah rela meninggal."
Beginilah nasib biduan, komponis. Nasib mereka hanya singkat-singkat sesingkat durasi lagu yang paling banter selama delapan menit.
Dimana apresiasi? Dimana nostalgia? Dimana dorongan pada warga yang ironisnya tetap menuntut sebuah kualitas tinggi?
Kurang tinggi apa kualitas Taralamsyah dan Sarudin?
Akhir kata, dimana perlindungan hak cipta? Dimana hak royalti?
Hukum perlindungan kekayaan intelektual pun tak mereka dapatkan lagi.
Oh musik, dan seni. Nasibmu sungguh tragis. Engaku memudar seiring berakhirnya sebuah putaran lagu.Oleh Simon Saragih
*)
Label:
SENIMAN
22:15
"Jadilah Pemenang yang tidak sombong dan jadilah orang kalah yang tidak
mencari-cari alasan," Dikutip dari Buku Revolusi Diri Karya Sortaman
Saragih.
********
Partai NASDEM, no 8 : Kolonel (Purn) Drs. Warman Martuah Manihuruk, MM. caleg DPRD Provinsi Sumatera Utara, daerah pemilihan kotamadya Siantar dan kabupaten Simalungun. Mohon dukungan dan pencoblosannya. Diatei tupa.
*****

Inilah Caleg DPR RI, DPRD Provinsi Sumut dan DPRD Kab Simalungun Ideal Pilihan Anda
Written By GKPS JAMBI on Sunday, 16 March 2014 | 22:15
![]() |
SORTAMAN SARAGIH |
********
![]() |
Warman Martuah Manihuruk |
Partai NASDEM, no 8 : Kolonel (Purn) Drs. Warman Martuah Manihuruk, MM. caleg DPRD Provinsi Sumatera Utara, daerah pemilihan kotamadya Siantar dan kabupaten Simalungun. Mohon dukungan dan pencoblosannya. Diatei tupa.
*****

Mohon Doa Dan Dukungan. Caleg DPRD Simalungun dari Partai Hanura No Urut
4: JOAN BERLIN DAMANIK,SSi, MM. Dapem 6 Meliputi Kecamatan: Raya,
Purba, Haranggaol Horisan, Silimakuta, Pematang Silimahuta, Dolok Silau,
Raya Kahean Silau Kahean. Selamat hari minggu, selamat beribadah.GBU
Label:
POLITIKA
22:04
Paparan tersebut menjadi sebuah rangsangan dan tantangan bagi komunitas etnomusikolog sebagai bahan kajian yang sangat berarti terhadap perkembangan musik etnik di nusantara khususnya Sumatera Utara.
Di satu sisi “sebuah nama komponis dan penata tari Simalungun” seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah “habis manis sepah dibuang”. Dia adalah Taralamsyah Saragih (1918-1992) yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.
PLURALITAS MUSIK ETNIK SUMATERA UTARA
Oleh Poltak Sinaga
![]() |
IST |
Riwayat hidup orang penting atau deskripsi benda-benda bersejarah
cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu juga dengan
biografi dari para komponis, proses evolusi alat-alat musik dari bentuk
yang sangat sederhana hingga modern, serta terjadinya persebaran ragam
instrumen musik dunia sejalan dengan ragam aktivitas manusia dengan
berbagai misi seperti migrasi antar bangsa, antar pulau dan antar benua,
misi perdagangan, penjajahan, imperialisme, kolonialisme, penyebaran
ajaran agama dan sebagainya. Semua ini akan menjadi cermin pembentuk
persepsi prespektif, dan berkontribusi secara signifikan terhadap
perkembangan khasanah pengetahuan musik dalam berbagai aspek yang
memberi warna-warni terhadap kepustakaan musik dunia.
Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai
karya-karya kreatifnya yang meliputi berbagai fenomena sosiomusikologis
yang berangsung dalam kurun waktu tertentu, termasuk perkembangan teknik
berkomposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam
teknik bermain musik yang lebih kompleks. Di sisi lain, tradisi
penggunaan musik dalam siklus kehidupan etnik tertentu dapat memberi
gambaran karakter eksotis suatu etnik yang merupakan bagian dari siklus
kehidupannya.
Adanya kemiripan penggunaan alat-alat musik, dan
repertoar antar etnik di kawasan Sumatera Utara menunjukkan sebuah
mozaik pluralitas. Beberapa nyanyian dari etnik lain seperti, Biring
Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu), Poco-poco (Ambon) sering
digunakan sebagai bagian repertoar pada tradisi musik Batak Toba, dan
mereka sangat menikmatinya. Berbagai studi kasus yang menyangkut
pluralitas musik etnik Sumatera Utara bisa menjadi lahan studi
penelitian untuk memahami keunikan dari kemajemukan tradisi berkesenian.
Wacana ini pernah dikemukakan Ben M Pasaribu (2004) bertajuk
“musikalitas + etnisitas = pluralitas”. Dia mendambakan agar lebih
digencarkan upaya penelitiah ilmiah menyangkut pluralitas musik di
Sumatera Utara. Karena Sumatera Utara sebagai sebuah wacana
sosiokultural, menyimpan kekayaan khazanah kesenian dan tradisi musik
yang berbeda-beda, tradisi itu muncul dari sebuah proses evolusi
kultural yang panjang.
Wilayah Sumatera Utara terdiri dari sejumlah
etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,
Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Ben juga mengatakan bahwa
teori migrasi yang merupakan hasil penelitian dari para antropolog dalam
berbagai sajian antropologi budaya, memiliki pertalian dengan teori
persebaran instrumen musik.
Dia memberi contoh bahwa xylophone
(bilah-bilah kayu seperti garantung) dari Asia tenggara ke afrika Timur
pada abad 5 SM, pada kurun yang sama instrumen musik petik tube zither
(seperti sasando dari Flores) bermigrasi pula sampai ke Madagascar
menjadi valiha.
Sejalan dengan pendapat itu, Triyono Bramantyo
(2004) dalam bukunya ”Disseminasi Musik Barat di Timur” mengatakan,
bahwa permulaan kontak pertama Indonesia dengan musik Barat dapat
ditemukan dalam buku karya Kunst yang berjudul The Cultural Background
of Indonesian Music. Dalam buku ini digambarkan tripel flute bambu
flores, “bukan Yunani asli, paling tidak dikenal di sana”. Oleh karena
itu, “tripel flute bambu Flores dianggap sebagai barang-barang kuno yang
didatangkan dari Barat yang mempunyai irama khas” (Kunst, 1949, hal.9).
Catatan yang berdasar pada informasi tersebut diambil dari
seorang filsuf dan ahli musik Arab yang terkenal pada abad 11 yang
bernama Al Farabi, yang membicarakan hal tersebut dalam karya utamanya
dan memproduksikannya. Jaap Kunst memperkirakan bahwa “penggambaran ini
dan juga alat musik, menunjukkan bahwa pengarang tidak pernah bisa
melihat alat musik itu sendiri, karena keduanya tidak begitu akurat.
Namun demikian karena Al Farabi memperoleh semua keuntungan dari budaya
Yunani kuno, seseorang mungkin mengira bahwa dia mengetahui budaya
Yunani atau paling tidak sumber bahasa dan budaya Yunani (Hellenistic)
yang hilang beberapa tahun kemudian dimana tripel flute itu
disebut-sebut …” (Kuns, ibid, hal. 8-9).
Hal-hal di atas
merupakan serba sedikit fenomena kultural yang melingkupi arkeologi dan
etnografi di Indonesia termasuk masyarakat Sumatera Utara, yang secara
tidak langsung juga akan mengenai perkembangan keragaman musikalnya,
yang kurang banyak diminati para etnomusikolog untuk ditelusuri dan
bermuara pada kekayaan khazananah musik etnik.
Untuk lebih
merangsang upaya penelitian ke arah pluralitas musik etnik Sumatera
Utara diperlukan bahan baku atau sketsa serta sedikit ramuan dan bahan
penyedap. Ketika perkembangan masyarakat menghampiri periode modern,
tahapan kesenian dari kehidupan yang menyatu dalam ritual-ritual,
mengalami diversifikasi menuju kesenian yang asimilatif dengan kemampuan
yang menyerap gagasan-gagasan dari luar komunitasnya. Ketika pada
dasawarsa kedua abad ke 20 Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas
yang bergaya variety show di Sitamiang, Samosir, kelak kemudian menjadi
populer dengan sebutan Opera Batak dengan berbagai varian dan turunan
kelompok-kelompok baru.
Pada titik kulmilasinya, jenis seni
pertunjukan ini menggabungkan musik, tari, akrobat, drama, komedi dan
menjadi mesin uang yang penting dalam industri show-biz di tahap awal,
serta menghasilkan sejumlah primadona aktor, aktres dan vokalis. Secara
artistik, tidak hanya mengeksplorasi instrumen dan teknik musikal
Batak, namun mengimitasi bezetting Tonil Bangsawan dan film-film
Malaya, menyertakan instrumen saksofon, akordion, piano dan bahkan dalam
rekaman yang dibuat Paul B. Pedersen terdengar suara gender dari Jawa
(rekaman piringan Batak Music dengan program note yang ditulis Toenggoel
P.Siagian).
Meskipun perkembangan zaman menenggelamkan seni
pentas yang memiliki kontribusi penting dalam perkembangan sejarah
musik yang memiliki pluralitas ini, namun aspek media lain, misalnya
melalui sandiwara audio dalam casette dan drama seri di televisi (opera
Batak Metropolitan di TVRI Sumut) dan pergelaran vitalisasi (Opera
Silindung) sampai di awal millenium ketiga masih menjadi bahan kajian
yang menarik.
Dalam dunia musik hiburan, rekaman dan
penciptaan lagu-lagu rakyat dengan teks bahasa lokal yang baru, sejak
masa awal modern, sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara
telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya Lingling
Sitepu, Orkes Nalaingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari,
Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah
Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio
Marihot merekam album piringan hitam Inang Sarge yang dapat dianggap
sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya.
Tradisi
penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto
Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman
Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif
yang potensial yang telah menyumbangkan karyanya dalam khasanah yang
menunjukkan musikalitas yang patut diperhitungkan dan dapat menjadi
studi-studi kasus dalam penelitian sosio-musikilogis.
Pada kategori musik seriosa, klasik maupun yang masuk dalam daftar
pencipta lagu nasional, paduan suara dan religious, nama-nama Liberty
Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suhairy, Binsar Sitompul,
Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry
Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Baqi, Termasuk generasi,
meskipun tidak seluruhnya relasi kultural yang sepenuhnya dan langsung
dengan kehidupan musikal dan latar belakang sosio-kultural, seperti
Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah
Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya yang memberi
warna dalam perkembangan di Indonesia.
Dalam konteks
keragaman musikal yang muncul dari keragaman etnik dan kreativitas
personal, fenomena musik di Sumatera Utara, selain sebagai sebuah
artistik yang dapat dinikmati melalui pengalaman maupun multimedia,
sangat potensial juga menjadi objek kajian dan observasi dari sisi yang
lebih akademikal dan akan pula memberi kontribusi yang sangat berarti
dalam dunia musikologis.
Paparan tersebut menjadi sebuah rangsangan dan tantangan bagi komunitas etnomusikolog sebagai bahan kajian yang sangat berarti terhadap perkembangan musik etnik di nusantara khususnya Sumatera Utara.
Setiap fenomena dari sejumlah fenomena musik
dalam paparan itu dapat diidentifikasi dan diformulasikan menjadi sebuah
teori baru melalui serangkaian penelitian yang sangat berguna bagai
generasi mendatang. Misalnya, dari sejumlah deretan nama seniman dan
komponis Sumatera Utara, yang telah banyak berbuat kebajikan dalam
perkembangan musik dan kesenian Sumatera Utara tampaknya hingga kini
belum masuk dalam kelompok prioritas sebagai studi kasus dalam
penelitian musik yang dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
sosiomusikologis, etnomusikologis, linguistik dan filologis, semiotik,
historis, psikologis, dan sebagainya.
Jika kita melihat apa-apa
saja yang sudah dikerjakan oleh para akademisi yang berkecimpung dalam
dunia seni pertunjukan di Pulau Jawa khususnya Yogyakarta dan Jawa
Tengah, ternyata mereka telah berbuat banyak dalam menyibak berbagai
misteri dan fenomena musik yang pernah ada dan berkembang pada masa
lalu.
Di satu sisi “sebuah nama komponis dan penata tari Simalungun” seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah “habis manis sepah dibuang”. Dia adalah Taralamsyah Saragih (1918-1992) yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.
Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah
Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan
notasi musik Barat yang lengkap, hal ini mengindikasikan bahwa komponis
ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan
musik yang luas. Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah seperti Serma
Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak,
Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya tentu dapat
menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk
menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun. Pada masa Orde
Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera
Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang, kemudian
berkarya di Provinsi Jambi menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu
kembali lagi dilupakan. Apakah harus begini?
Tentang Penulis :
Poltak Sinaga lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Guru di SMK Negeri
11 Medan (Sekolah Menengah Musik). Juga mengajar di Fakultas Kesenian
UHN Medan. Menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik
FPBS IKIP Medan Tahun 1996, judul penelitian “Korelasi Penguasaan
Organologi Dengan Kemampuan Orkestrasi Musik Pop di Sekolah Menengah
Musik Negeri Medan. Melanjutkan Program Magister Program studi
Antropologi Sosial UNIMED Medan.
Gemar mengamati perkembangan
dan degradasi berbagai gendre musik, lalu menulisnya di media berbagai
media cetak Aktif berpartisipasi sebagai instruktur pada pelatihan
pembelajaran musik bagi guru-guru SD se Sumatera Utara. Sebagai
Sekretaris bidang advokasi asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
Sumatera Utara. Menulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA,
dan buku referensi musik.https://www.facebook.com/groups/281941825288505/permalink/303726303110057/
Label:
RAGAM BUDAYA
21:48
JOKOWI VERSUS TARALAMSYAH
![]() |
Pastor Marcelinus Sijabat Monang dan Bu Martha-Simon Saragih. Foto IST. |
Sebuah permohonan:
Saya sudah membaca-baca dan mengamati Taralamsyah. Sungguh sebuah figur luar biasa. Simalungun pernah punya figur luar biasa, seperti yang dipersepsikan banyak orang tentang Jokowi sekarang ini.
Nah, saya minta tolong pada nasiam ganupan. Pada dasarnya Simalungun lupa kok pada semua senimannya, seperti dikatakan Nikolas Saragih Munthe. Kita lupa juga pada Tursini, Hotmaria Sitopu, Simon Sipayung, dan lain-lainnya.
Nah, Sultan Saragih II sudah mewawancarai Nanturang Lina Damanik. Sekarang saya minta tolong pada Lawei Floren Dar Ling untuk mewawancarai Simon Sipayung.
Agar buku ini juga sekaligus menjadi ajang bagi para Seniman untuk pengabadain nama-nama mereka. Lagi, memang sebuah buku akan kaya dan bagus isinya jika banyak orang-orang berkompeten berkomentar.
Jadi Lae par Sirpang Haranggaol, sukkuni ham ham Simon Sipayaung ai da soal Taralamsyah.
Saya sudah membaca-baca dan mengamati Taralamsyah. Sungguh sebuah figur luar biasa. Simalungun pernah punya figur luar biasa, seperti yang dipersepsikan banyak orang tentang Jokowi sekarang ini.
Nah, saya minta tolong pada nasiam ganupan. Pada dasarnya Simalungun lupa kok pada semua senimannya, seperti dikatakan Nikolas Saragih Munthe. Kita lupa juga pada Tursini, Hotmaria Sitopu, Simon Sipayung, dan lain-lainnya.
Nah, Sultan Saragih II sudah mewawancarai Nanturang Lina Damanik. Sekarang saya minta tolong pada Lawei Floren Dar Ling untuk mewawancarai Simon Sipayung.
Agar buku ini juga sekaligus menjadi ajang bagi para Seniman untuk pengabadain nama-nama mereka. Lagi, memang sebuah buku akan kaya dan bagus isinya jika banyak orang-orang berkompeten berkomentar.
Jadi Lae par Sirpang Haranggaol, sukkuni ham ham Simon Sipayaung ai da soal Taralamsyah.
**********
JIKA TUHAN MENGHENDAKI LAIN
Berkisah tentang pengalaman hidup dan bisnis, Ibu Martha Tilaar ini telah melalui kisah sedu sedan.
Dari sebuah kerajaan bisnis kosmetik yang pernah mengalirkan uang bagai sungai, dia mendadak tiba-tiba harus berjuang lagi dari bawah karena sesuatu hal.
Mendapatkan anak pun baru dia bisa raih di usia 45 tahun, satu laki satu perempuan. Dua lagi dia adopsi tapi benar-benar dia sayangi.
Setelah bertahun-tahun seperti didera beban, dia menemukan pijakan kuat.
Kemarin, Rabu (12/3) saat membawa Pastor Marcelinus Sijabat Monang ke kantornya di Pulo Gadung dia bercerita sempat. "Jika Tuhan menghendaki lain, kita akan dia beri..."
Maksudnya, kehendak manusia pada kita tidak akan terjadi jika Tuhan menghendaki lain.
Kalimat ini yang membuat saya bertanya, ada apa Bu?
Ini saya tanya karena sekilas saya lihat aman-aman saja, dan semuanya baik-baik saja. Juga saya amati, sangat bermurah hati untuk membantu.
Lalu mengucurlah kisah jatuh bangun, yang saat hal itu terjadi, dia memegang satu pegangan, yakni keyakinan bahwa Tuhan sajalah peneguhnya.
"Saya bersyukur, sejauh ini saya merasa tenteram," kata Bu Martha dengan suami yang sudah berusia 82 tahun dan tampak akrab dan sejoli yang langgeng. (Sumber FB Simon Saragih)
Berkisah tentang pengalaman hidup dan bisnis, Ibu Martha Tilaar ini telah melalui kisah sedu sedan.
Dari sebuah kerajaan bisnis kosmetik yang pernah mengalirkan uang bagai sungai, dia mendadak tiba-tiba harus berjuang lagi dari bawah karena sesuatu hal.
Mendapatkan anak pun baru dia bisa raih di usia 45 tahun, satu laki satu perempuan. Dua lagi dia adopsi tapi benar-benar dia sayangi.
Setelah bertahun-tahun seperti didera beban, dia menemukan pijakan kuat.
Kemarin, Rabu (12/3) saat membawa Pastor Marcelinus Sijabat Monang ke kantornya di Pulo Gadung dia bercerita sempat. "Jika Tuhan menghendaki lain, kita akan dia beri..."
Maksudnya, kehendak manusia pada kita tidak akan terjadi jika Tuhan menghendaki lain.
Kalimat ini yang membuat saya bertanya, ada apa Bu?
Ini saya tanya karena sekilas saya lihat aman-aman saja, dan semuanya baik-baik saja. Juga saya amati, sangat bermurah hati untuk membantu.
Lalu mengucurlah kisah jatuh bangun, yang saat hal itu terjadi, dia memegang satu pegangan, yakni keyakinan bahwa Tuhan sajalah peneguhnya.
"Saya bersyukur, sejauh ini saya merasa tenteram," kata Bu Martha dengan suami yang sudah berusia 82 tahun dan tampak akrab dan sejoli yang langgeng. (Sumber FB Simon Saragih)
Label:
RAGAM BUDAYA
21:42
Oleh Simon Saragih
CONTOH TULISAN LENGKAP
Dia pernah menjadi rujukan bagi banyak orang untuk penulisan ilmiah tentang seni musik, budaya dan sejarah. Budaya adalah bagian dari iman. Demikian dikatakan seorang teolog Pastor Daniel Erwin Manullang, yang saat penulisan ini sedang menjabat sebagai Direktur Utama Bina Media Perintis, Medan. Ini adalah sebuah perusahaan percetakan milik Keuskupan Agung Medan.
Budaya terkait dengan halhal seperti budi pekerti, akal, juga kebiasaan-kebiasaan tradisional berisikan pesan-pesan moral, serta pemikiran-pemikiran komunitas. Orang yang memiliki etika, tata krama dan cinta harmoni, sebagai tuntutan budaya itu, dikatakan sebagai orang berbudaya.
Penuturan di bawah memperlihatkan betapa Taralamsyah telah menjadi salah satu pilar utama budaya dan dengan demikian juga menjadi salah satu pilar utama bagian dari iman itu sendiri.Faktanya, karya-karyanya telah menghubungkan orang-orang pada keluruhan sebuah rasa.
Musik tradisional merupakan bagian kecil dari budaya itu juga. Taralamsyah bukan saja profesional di bidang musik pop. Dia bahkan tergolong salah satu paling paham akan musik tradisional Simalungun, yakni musik gonrang (gendang). Ada muatan nilai-nilai dalam gonrang yang instrumennya terdiri dari sarune (serunai), gondang, gong dan dimainkan dalam sebuah harmoni. Irama apiknya menghasilkan bunyi hentakan diimbuhi liukan melodi sarune.
Musik gonrang memiliki judul-judul yang peruntukannya tergantung pada tema pesta yang sedang diadakan. Ada gonrang untuk ungkapan kebahagiaan bersama, seperti contoh Rondang Bintang di Simalungun. Ada gonrang untuk acara kematian dan lainnya.
Awam biasa tidak bisa memilah-milah nilai yang dikandung musik gonrang. Taralamsyah amat fasih dan bisa memberi interpretasi arti dan makna setiap musik gonrang.
Seorang musikolog AS, Arlin Dietrich Jansen pernah mendalami musik gonrang Simalungun. Dia bingung mencari bahan termasuk literatur gonrang saat Dietrich Jansen tinggal dua tahun sebagai Dosen Seni Musik di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, 1974 - 1976.
Saat itu Dietrich Jansen sedang mengejar gelar doktor (PhD) bidang musik di University of Washington, AS sembari mengajar. Pencarian tentang gonrang, yang dia katakan sebagai kekayaan Simalungun dan sangat layak didalami, membawanya berkenalan dengan J.E. Saragih yang mengatur pementasan gonrang. Dia pun kemudian berkenalan dengan Nokah Sinaga peniup sarune profesional saat berusia 39 tahun pada 1976.
Dietrich Jansen pun bertemu dengan J.G. Purba yang hidup dan berkembang di rumah adat serta bisa menuturkan kebiasaan lama atau tradisi Simalungun.
Taralamsyah luput dari pertemuan awalnya karena sudah berada di Jambi sejak 1971. Akan tetapi Dietrich Jansen tidak hanya ingin mendengar gonrang. Karena ini disertasi maka dia wajib menjelajahi konteks sejarah gonrang, bagaimana struktur musik gonrang terkait dengan sejarah. Lebih jauh lagi, dia ingi tahu apa fungsi musik gonrang pada masyarakat Simalungun dahulu dan sekarang.
Seperti ditulis oleh almarhum Pastor Bonifasius Harapan Saragih OFM Cap, di harian SIB, Juni 2008, musik gonrang tidak hanya merupakan ekspresi dan apresiasi musikal. “Gonrang memiliki makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi masyarakat Simalungun. Gonrang turut berperan sebagai sarana komunikasi.
Gonrang juga merepresentasi secara simbolis nilai-nilai, struktur sosial dan perilaku kultur. Bahkan lebih jauh gonrang adalah peneguh ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Simalungun,” demikian almarhum Pastor Bonifasius .
Menabuh gonrang menunjukkan nilai magis sebuah acara dengan kadar nilai yang lebih tinggi dari musik biasa. Saat mendalami hal-hal ini Dietrich Jansen memerlukan pakar sejati. Dia adalah Taralamsyah. Tidak heran Dietrich Jansen menuliskan hal berikut ini:
“…Orang yang paling pakar sekaligus paling banyak berkontribusi dan komprehensif pada disertasi saya tentang gonrang adalah Taralamsyah Saragih. Selama saya tinggal di Sumatera Utara periode 1974 - 1976 dia menjadi rujukan yang disarankan orang-orang dalam rangka penyusunan disertasi ini.
Sayangnya saya tidak punya waktu untuk menemuinya langsung ke Jambi. Akan tetapi setelah kembali dan tiba di Amerika Serikat, saya melakukan korespondensi rutin dengannya. Taralamsyah selalu membalas segala pertanyaan saya. Ada tulisan tangannya yang sangat rapi dan bagus sebanyak 32 halaman secara keseluruhan.
Bahkan Taralamsyah melengkapi tulisan-tulisannya dengan bahan-bahan yang luput saya tanyakan tetapi dia tambahkan sendiri. Ini dia lakukan hanya demi menolong saya, sekaligus menggambarkan betapa berartinya musik gonrang secara pribadi pada Taralamsyah. Dia juga ingin hal itu menjadi masukan berarti pada disertasi saya.
Keterangan Taralamsyah merupakan sumber terbanyak dalam disertasi saya ini. Keterangan dan penjelasan darinya juga merupakan yang paling banyak dikutip dalam disertasi ini.
Tentu Dietrich Jansen menyebut beberapa nama penting di kata pembuka disertasi itu. Akan tetapi dia tuliskan juga, "Penghargaan tertinggi dan terbesar saya adalah untuk dia." Maksudnya kepada Taralamsyah. Dietrich Jansen pun meraih gelar PhD karena musik gonrang dari University of Washington, AS, tahun 1980.
Kalimat-kalimat itu ada pada kata pembuka disertasi berjudul "Gonrang music: its structure and functions in Simalungan Batak society in Sumatra".
Kekaguman pada Taralamsyah belum berakhir di situ. Bahkan ada yang ketakutan sendiri pada kemampuan alamiah Taralamsyah tentang sastra Simalungun. Usai menyelesaikan skripsi di Fakultas Keguruan Sastra Sejarah (FKSS) di IKIP Bandung pada tahun 1971 seseorang mengirimkan salinan skripsi berjudul “Fonologi Basa Simalungun”.
Si penulis skripsi DRS Henry Guntur Tarigan mengimbuhkan catatan berisikan, “Buat Bapak Taralamsyah Saragih untuk dicaci, dari penulis.” Dia tampak keder kalau-kalau skripsinya tentang bunyi-bunyi lisan bahasa Simalungun banyak yang berjumplitan saat mendeskripsikannya.
Taralamsyah kerap dikirimi tulisan atau buku yang sudah rampung. TRA Purba Tambak misalnya mengirimnya buku berjudul “Sejarah Simalungun”. Jika dianggap tidak pas, Taralamsyah akan memberikan catatan. Demikian juga sebaliknya dia tidak segan memberi pujian.
Untuk buku kiriman TRA Purba Tambak ini Taralamsyah menuliskan “Tidak benar”. Itu terutama untuk isi yang menyebutkan, bahwa hubungan dagang Melayu-Batak terhalang akibat sikap saling tidak percaya.
Dikatakan, Suku Batak lebih suka melakukan transaksi terbatas di pantai-pantai sungai. Keluar dari situ warga tak berani karena takut ditangkap dan dijadikan budak di tengah peperangan yang sering terjadi. Pihak yang kalah sering menjadi budak. Ancaman jadi budak juga bisa terjadi jika warga tidak membayar utang kepada para Raja.
Dalam tulisan-tulisannya tentang sejarah, Taralamsyah menyingkap sejarah kontak-kontak lintas suku yang sudah terjadi dalam sejarah Batak.
Para penulis lain juga mengirimkan tulisan walau Taralamsyah sudah bermukim di Jambi. Ini sebenarnya merupakan affirmasi dari apresiasi tersirat dan tersurat pada Taralamsyah. Penulis lain, veteran Letkol MD Purba pada tahun 1977 mengirimnya buku berjudul “Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun”, dan buku lain berjudul “Mengenal Sang Naualuh Damanik Pejuang.”
Pada tahun 1980 MD Purba mengirimkan catatan berupa tulisan, bahwa dia sedang mendalami sejarah perjuangan Rodahaim, kakeknya Taralamsyah. MD Ingin dapat kabar pasti jika dia sudah benar-benar menerima buku kirimannya.
Torehan-torehan karyanya memperlihatkan Taralamsyah sebagai figur multi-talenta yang berkualitas. Di musik dia terpandang, demikian juga soal seni tari, hingga silsilah marga sampai sejarah Simalungun.
Dalam berbagai perbincangan dan tulisan-tulisan resmi maupun tidak resmi, tidak ada yang setara dengannya. Jika ada tetapi tidak sekomprehensif Taralamsyah yang menguasai musik, tari, dan sejarah.
Hampir semua generasi sepakat memberi apresiasi pada kepiawaian Taralamsyah. Lingkungan dan pergaulan juga memperlihatkan siapa Taralamsyah. Dia komponis Simalungun yang disejajarkan dengan Djaga Depari seniman Karo, NahumSitumorang Senima nToba, L Manik seniman Dairi. Selain dekat dengan nama-nama di atas Taralamsyah juga dekat dengan Gordon Tobing yang terkenal dengan grup Suara Impola.
Jika disandingkan dengan nama tersohor itu, Taralamsyah tetap punya nilai plus. Dia melampaui nama-nama di atas yang terbatas pada kemampuan mereka sebagai komponis semata.
Merangkum prestasi dan reputasinya Taralamsyah, almarhum etnomusikolog Poltak Sinaga pernah menuangkan tulisan berjudul “PLURALITAS MUSIK ETNIK SUMATERA UTARA” di blog pribadinya pada 9 Januari 2011.
Poltak Sinaga menuliskan, “Riwayat hidup orang penting dan deskripsi benda-benda bersejarah cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu juga dengan biografi para komponis, … Semua ini akan menjadi cermin untuk pembentukan persepsi, pendorong prespektif. Ini akan berkontribusi signifikan bagi perkembangan pengetahuan musik yang memberi warna terhadap kepustakaan dunia musik.”
Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatif meliputi fenomena sosiomusikologis dari waktu ke waktu. Di dalamnya termasuk perkembangan teknik komposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam teknik bermain musik yang lebih kompleks.
Poltak menambahkan Sumatera Utara bangga dengan nyanyian dari etnik-etnik seperti, Biring Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu) .. dan masyarakat sangat menikmatinya. Ada pluralitas musik etnik Sumatera Utara yang bisa menjadi lahan studi untuk memahami keunikan dari tradisi berkesenian yang majemuk.
Sumatera Utara terdiri dari sejumlah etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Dari waktu ke waktu muncul musisi-musisi handal untuk zaman dan lingkungannya. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 misalnya, Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas bergaya variety show di Sitamiang, Samosir. Ini kelak populer dengan sebutan Opera Batak.
.. Sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya ada Lingling Sitepu, Orkes Nalaingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari, Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio Marihot merekam album piringan hitam Inang Sarge yang dapat dianggap sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya.
Tradisi penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif yang potensial. Mereka telah menyumbangkan karya sekaligus menunjukkan musikalitas itu patut diperhitungkan.
Pada kategori musik seriosa, klasik, lagu nasional, paduan suara, religius muncul nama-nama Liberty Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suhairy, Binsar Sitompul, Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Baqi.
Di dalamnya termasuk generasi, meskipun tidak seluruhnya berelasi kultural seperti Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya. Nama-nama ini memberi warna dalam perkembangan di Indonesia.
Setelah menderetkan nama-nama itu Poltak menyebut khusus Taralamsyah. “… Di satu sisi satu nama komponis dan penata tari Simalungun seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah ‘habis manis sepah dibuang’. Dia adalah Taralamsyah Saragih yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.
Simalungun dan keseniannya terutama Taralamsyah seperti memiliki aura dan cahaya yang lebih kemilau di tengah sederet bintang musik. Bahkan Poltak hanya bisa melihat cahaya Taralamsyah meski di Simalungun itu sendiri telah silih berganti pemusik bermunculan.
“… Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan notasi musik Barat yang lengkap. Hal ini mengindikasikan bahwa komponis ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan musik yang luas.”
Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah dengan judul-judul Serma Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak, Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya. Ini dapat menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun.
Bagi Poltak, karya-karya Taralamsyah dianggap sebagai ikon dan barometer tentang keidentikan musik etnis Simalungun.
“… Pada masa Orde Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang dan kemudian berkarya di Provinsi Jambi untuk menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu kembali lagi dilupakan.”
“Apakah harus begini?”demikian Poltak menutup tulisannya. Dia lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Sebelum wafat dia adalah guru di SMK Negeri 11 Medan (Sekolah Menengah Musik) dan juga juga mengajar di Fakultas Kesenian UHN Medan.
Poltak menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik FPBS IKIP Medan Tahun 1996 dan melanjutkan Program Magister Program studi Antropologi Sosial UNIMED Medan. Dia gemar mengamati perkembangan dan degradasi berbagai genre musik dan menuliskannya di media berbagai media.
Poltak pernah aktif dan berpartisipasi di dunia musik. Dia pernah menjadi instruktur pada pelatihan dan pembelajaran musik bagi guru-guru SD se-Sumatera Utara. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris bidang advokasi asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Sumatera Utara.
Poltak juga seorang penulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA, dan buku referensi musik.Dari profesi dan pendalaman itulah Poltak melihat kelebihan dari seorang Taralamsyah.
**********
SUMBER PENYUSUNAN BUKU
Reputasi Taralamsyah Teruji
![]() |
Rumah Kediaman Bapak (Alm) Taralamsyah di Jambi. Foto Simon Saragih |
CONTOH TULISAN LENGKAP
Dia pernah menjadi rujukan bagi banyak orang untuk penulisan ilmiah tentang seni musik, budaya dan sejarah. Budaya adalah bagian dari iman. Demikian dikatakan seorang teolog Pastor Daniel Erwin Manullang, yang saat penulisan ini sedang menjabat sebagai Direktur Utama Bina Media Perintis, Medan. Ini adalah sebuah perusahaan percetakan milik Keuskupan Agung Medan.
Budaya terkait dengan halhal seperti budi pekerti, akal, juga kebiasaan-kebiasaan tradisional berisikan pesan-pesan moral, serta pemikiran-pemikiran komunitas. Orang yang memiliki etika, tata krama dan cinta harmoni, sebagai tuntutan budaya itu, dikatakan sebagai orang berbudaya.
Penuturan di bawah memperlihatkan betapa Taralamsyah telah menjadi salah satu pilar utama budaya dan dengan demikian juga menjadi salah satu pilar utama bagian dari iman itu sendiri.Faktanya, karya-karyanya telah menghubungkan orang-orang pada keluruhan sebuah rasa.
Musik tradisional merupakan bagian kecil dari budaya itu juga. Taralamsyah bukan saja profesional di bidang musik pop. Dia bahkan tergolong salah satu paling paham akan musik tradisional Simalungun, yakni musik gonrang (gendang). Ada muatan nilai-nilai dalam gonrang yang instrumennya terdiri dari sarune (serunai), gondang, gong dan dimainkan dalam sebuah harmoni. Irama apiknya menghasilkan bunyi hentakan diimbuhi liukan melodi sarune.
Musik gonrang memiliki judul-judul yang peruntukannya tergantung pada tema pesta yang sedang diadakan. Ada gonrang untuk ungkapan kebahagiaan bersama, seperti contoh Rondang Bintang di Simalungun. Ada gonrang untuk acara kematian dan lainnya.
Awam biasa tidak bisa memilah-milah nilai yang dikandung musik gonrang. Taralamsyah amat fasih dan bisa memberi interpretasi arti dan makna setiap musik gonrang.
Seorang musikolog AS, Arlin Dietrich Jansen pernah mendalami musik gonrang Simalungun. Dia bingung mencari bahan termasuk literatur gonrang saat Dietrich Jansen tinggal dua tahun sebagai Dosen Seni Musik di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, 1974 - 1976.
Saat itu Dietrich Jansen sedang mengejar gelar doktor (PhD) bidang musik di University of Washington, AS sembari mengajar. Pencarian tentang gonrang, yang dia katakan sebagai kekayaan Simalungun dan sangat layak didalami, membawanya berkenalan dengan J.E. Saragih yang mengatur pementasan gonrang. Dia pun kemudian berkenalan dengan Nokah Sinaga peniup sarune profesional saat berusia 39 tahun pada 1976.
Dietrich Jansen pun bertemu dengan J.G. Purba yang hidup dan berkembang di rumah adat serta bisa menuturkan kebiasaan lama atau tradisi Simalungun.
Taralamsyah luput dari pertemuan awalnya karena sudah berada di Jambi sejak 1971. Akan tetapi Dietrich Jansen tidak hanya ingin mendengar gonrang. Karena ini disertasi maka dia wajib menjelajahi konteks sejarah gonrang, bagaimana struktur musik gonrang terkait dengan sejarah. Lebih jauh lagi, dia ingi tahu apa fungsi musik gonrang pada masyarakat Simalungun dahulu dan sekarang.
Seperti ditulis oleh almarhum Pastor Bonifasius Harapan Saragih OFM Cap, di harian SIB, Juni 2008, musik gonrang tidak hanya merupakan ekspresi dan apresiasi musikal. “Gonrang memiliki makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi masyarakat Simalungun. Gonrang turut berperan sebagai sarana komunikasi.
Gonrang juga merepresentasi secara simbolis nilai-nilai, struktur sosial dan perilaku kultur. Bahkan lebih jauh gonrang adalah peneguh ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Simalungun,” demikian almarhum Pastor Bonifasius .
Menabuh gonrang menunjukkan nilai magis sebuah acara dengan kadar nilai yang lebih tinggi dari musik biasa. Saat mendalami hal-hal ini Dietrich Jansen memerlukan pakar sejati. Dia adalah Taralamsyah. Tidak heran Dietrich Jansen menuliskan hal berikut ini:
“…Orang yang paling pakar sekaligus paling banyak berkontribusi dan komprehensif pada disertasi saya tentang gonrang adalah Taralamsyah Saragih. Selama saya tinggal di Sumatera Utara periode 1974 - 1976 dia menjadi rujukan yang disarankan orang-orang dalam rangka penyusunan disertasi ini.
Sayangnya saya tidak punya waktu untuk menemuinya langsung ke Jambi. Akan tetapi setelah kembali dan tiba di Amerika Serikat, saya melakukan korespondensi rutin dengannya. Taralamsyah selalu membalas segala pertanyaan saya. Ada tulisan tangannya yang sangat rapi dan bagus sebanyak 32 halaman secara keseluruhan.
Bahkan Taralamsyah melengkapi tulisan-tulisannya dengan bahan-bahan yang luput saya tanyakan tetapi dia tambahkan sendiri. Ini dia lakukan hanya demi menolong saya, sekaligus menggambarkan betapa berartinya musik gonrang secara pribadi pada Taralamsyah. Dia juga ingin hal itu menjadi masukan berarti pada disertasi saya.
Keterangan Taralamsyah merupakan sumber terbanyak dalam disertasi saya ini. Keterangan dan penjelasan darinya juga merupakan yang paling banyak dikutip dalam disertasi ini.
Tentu Dietrich Jansen menyebut beberapa nama penting di kata pembuka disertasi itu. Akan tetapi dia tuliskan juga, "Penghargaan tertinggi dan terbesar saya adalah untuk dia." Maksudnya kepada Taralamsyah. Dietrich Jansen pun meraih gelar PhD karena musik gonrang dari University of Washington, AS, tahun 1980.
Kalimat-kalimat itu ada pada kata pembuka disertasi berjudul "Gonrang music: its structure and functions in Simalungan Batak society in Sumatra".
Kekaguman pada Taralamsyah belum berakhir di situ. Bahkan ada yang ketakutan sendiri pada kemampuan alamiah Taralamsyah tentang sastra Simalungun. Usai menyelesaikan skripsi di Fakultas Keguruan Sastra Sejarah (FKSS) di IKIP Bandung pada tahun 1971 seseorang mengirimkan salinan skripsi berjudul “Fonologi Basa Simalungun”.
Si penulis skripsi DRS Henry Guntur Tarigan mengimbuhkan catatan berisikan, “Buat Bapak Taralamsyah Saragih untuk dicaci, dari penulis.” Dia tampak keder kalau-kalau skripsinya tentang bunyi-bunyi lisan bahasa Simalungun banyak yang berjumplitan saat mendeskripsikannya.
Taralamsyah kerap dikirimi tulisan atau buku yang sudah rampung. TRA Purba Tambak misalnya mengirimnya buku berjudul “Sejarah Simalungun”. Jika dianggap tidak pas, Taralamsyah akan memberikan catatan. Demikian juga sebaliknya dia tidak segan memberi pujian.
Untuk buku kiriman TRA Purba Tambak ini Taralamsyah menuliskan “Tidak benar”. Itu terutama untuk isi yang menyebutkan, bahwa hubungan dagang Melayu-Batak terhalang akibat sikap saling tidak percaya.
Dikatakan, Suku Batak lebih suka melakukan transaksi terbatas di pantai-pantai sungai. Keluar dari situ warga tak berani karena takut ditangkap dan dijadikan budak di tengah peperangan yang sering terjadi. Pihak yang kalah sering menjadi budak. Ancaman jadi budak juga bisa terjadi jika warga tidak membayar utang kepada para Raja.
Dalam tulisan-tulisannya tentang sejarah, Taralamsyah menyingkap sejarah kontak-kontak lintas suku yang sudah terjadi dalam sejarah Batak.
Para penulis lain juga mengirimkan tulisan walau Taralamsyah sudah bermukim di Jambi. Ini sebenarnya merupakan affirmasi dari apresiasi tersirat dan tersurat pada Taralamsyah. Penulis lain, veteran Letkol MD Purba pada tahun 1977 mengirimnya buku berjudul “Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun”, dan buku lain berjudul “Mengenal Sang Naualuh Damanik Pejuang.”
Pada tahun 1980 MD Purba mengirimkan catatan berupa tulisan, bahwa dia sedang mendalami sejarah perjuangan Rodahaim, kakeknya Taralamsyah. MD Ingin dapat kabar pasti jika dia sudah benar-benar menerima buku kirimannya.
Torehan-torehan karyanya memperlihatkan Taralamsyah sebagai figur multi-talenta yang berkualitas. Di musik dia terpandang, demikian juga soal seni tari, hingga silsilah marga sampai sejarah Simalungun.
Dalam berbagai perbincangan dan tulisan-tulisan resmi maupun tidak resmi, tidak ada yang setara dengannya. Jika ada tetapi tidak sekomprehensif Taralamsyah yang menguasai musik, tari, dan sejarah.
Hampir semua generasi sepakat memberi apresiasi pada kepiawaian Taralamsyah. Lingkungan dan pergaulan juga memperlihatkan siapa Taralamsyah. Dia komponis Simalungun yang disejajarkan dengan Djaga Depari seniman Karo, NahumSitumorang Senima nToba, L Manik seniman Dairi. Selain dekat dengan nama-nama di atas Taralamsyah juga dekat dengan Gordon Tobing yang terkenal dengan grup Suara Impola.
Jika disandingkan dengan nama tersohor itu, Taralamsyah tetap punya nilai plus. Dia melampaui nama-nama di atas yang terbatas pada kemampuan mereka sebagai komponis semata.
Merangkum prestasi dan reputasinya Taralamsyah, almarhum etnomusikolog Poltak Sinaga pernah menuangkan tulisan berjudul “PLURALITAS MUSIK ETNIK SUMATERA UTARA” di blog pribadinya pada 9 Januari 2011.
Poltak Sinaga menuliskan, “Riwayat hidup orang penting dan deskripsi benda-benda bersejarah cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu juga dengan biografi para komponis, … Semua ini akan menjadi cermin untuk pembentukan persepsi, pendorong prespektif. Ini akan berkontribusi signifikan bagi perkembangan pengetahuan musik yang memberi warna terhadap kepustakaan dunia musik.”
Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatif meliputi fenomena sosiomusikologis dari waktu ke waktu. Di dalamnya termasuk perkembangan teknik komposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam teknik bermain musik yang lebih kompleks.
Poltak menambahkan Sumatera Utara bangga dengan nyanyian dari etnik-etnik seperti, Biring Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu) .. dan masyarakat sangat menikmatinya. Ada pluralitas musik etnik Sumatera Utara yang bisa menjadi lahan studi untuk memahami keunikan dari tradisi berkesenian yang majemuk.
Sumatera Utara terdiri dari sejumlah etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Dari waktu ke waktu muncul musisi-musisi handal untuk zaman dan lingkungannya. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 misalnya, Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas bergaya variety show di Sitamiang, Samosir. Ini kelak populer dengan sebutan Opera Batak.
.. Sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya ada Lingling Sitepu, Orkes Nalaingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari, Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio Marihot merekam album piringan hitam Inang Sarge yang dapat dianggap sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya.
Tradisi penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif yang potensial. Mereka telah menyumbangkan karya sekaligus menunjukkan musikalitas itu patut diperhitungkan.
Pada kategori musik seriosa, klasik, lagu nasional, paduan suara, religius muncul nama-nama Liberty Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suhairy, Binsar Sitompul, Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Baqi.
Di dalamnya termasuk generasi, meskipun tidak seluruhnya berelasi kultural seperti Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya. Nama-nama ini memberi warna dalam perkembangan di Indonesia.
Setelah menderetkan nama-nama itu Poltak menyebut khusus Taralamsyah. “… Di satu sisi satu nama komponis dan penata tari Simalungun seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah ‘habis manis sepah dibuang’. Dia adalah Taralamsyah Saragih yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.
Simalungun dan keseniannya terutama Taralamsyah seperti memiliki aura dan cahaya yang lebih kemilau di tengah sederet bintang musik. Bahkan Poltak hanya bisa melihat cahaya Taralamsyah meski di Simalungun itu sendiri telah silih berganti pemusik bermunculan.
“… Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan notasi musik Barat yang lengkap. Hal ini mengindikasikan bahwa komponis ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan musik yang luas.”
Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah dengan judul-judul Serma Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak, Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya. Ini dapat menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun.
Bagi Poltak, karya-karya Taralamsyah dianggap sebagai ikon dan barometer tentang keidentikan musik etnis Simalungun.
“… Pada masa Orde Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang dan kemudian berkarya di Provinsi Jambi untuk menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu kembali lagi dilupakan.”
“Apakah harus begini?”demikian Poltak menutup tulisannya. Dia lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Sebelum wafat dia adalah guru di SMK Negeri 11 Medan (Sekolah Menengah Musik) dan juga juga mengajar di Fakultas Kesenian UHN Medan.
Poltak menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik FPBS IKIP Medan Tahun 1996 dan melanjutkan Program Magister Program studi Antropologi Sosial UNIMED Medan. Dia gemar mengamati perkembangan dan degradasi berbagai genre musik dan menuliskannya di media berbagai media.
Poltak pernah aktif dan berpartisipasi di dunia musik. Dia pernah menjadi instruktur pada pelatihan dan pembelajaran musik bagi guru-guru SD se-Sumatera Utara. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris bidang advokasi asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Sumatera Utara.
Poltak juga seorang penulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA, dan buku referensi musik.Dari profesi dan pendalaman itulah Poltak melihat kelebihan dari seorang Taralamsyah.
**********
- Simon Saragih Jujur, setiap kali saya menulis soal Taralamsyah ini, merebak dua hal. Kebesaran sebuah karya satu sisi, juga iba yang menyobek nurani saya..
Eak, hulanjuthon pe manulis najenges on.. - Nikolas Saragih Munthe jai tubu sukkun-sukkun ibagas uhur bang Simon Saragih,......hadunganni ase tubu karya abadi ni oppung TS on na paling berpengaruh halani aha do??? halani tibal ni hagoluhan na ibobanni do atek ilham na ro hubani uhurni ??? age hona pangahap "ciri" khas ni......on sangana marulak-ulak hubogei doding: etah mangalop boru pakon sitalasari.....hassi domma ibalut bani musik modern dapot do lalap sibbur ni abbulu ai.......hahahaha
- Simon Saragih Jika diurutkan lagi, masih banyak ilustrasi penguat eksistensi Taralamsyah. Ibu Lesteria Sipayung seorang pensiunan guru SD di Saribudolok bertutur soal peran Taralamsyah dalam penciptaan lagu-lagu Katolik Simalungun.
Ini karena dalam waktu lama Katolik Simalungun memiliki lagu-lagu dalam Bahasa Latin dari buku bernama “Jubilate” (yang artinya Mari Bernanyi).
Ada kebutuhan akan lagu-lagu rohani bagi Simalungun Katolik pada decade 1960-an terutama setelah Konsili Vatikan II. Almarhum misionaris Pastor Elpidius Van Duijnhoven kemudian mencari-cari komponis khas dan unik Simalungun. Setelah melacak-lacak, hanya satu nama yang muncul secara aklamasi, yakni Tralamsyah. Elpidius pun berangkat ke Medan dimana Taralamsyah bermukim.
Taralamsyah tidak menolak. Dia dengan cepat menggubah beberapa lagu Simalungun Katolik. Salah satu yang rutin dinyanyikan di gereja-gereja sampai sekarang ini adalah lagu berjudul “Namapansing” (Yang Kudus).
Mengapa Taralamsyah? Selain handal dia memang dianggap perwakilan asli Simalungun yang memiliki berbagai aksen dan logat. Simalungun Sinraya adalah khas utama Simalungun sehingga Taralamsyah yang lahir di Pematangraya pun menjadi acuan utama. “รya benar, saya masih ingat yang namanya Elpidius itu. Dia dulu sering mampir ke rumah kami,” kata Edy Taralamsyah. - Nikolas Saragih Munthe sattabi bani loloan bolon on. halani megah ni uhur do on. ijon husolothon sada doding Rohani Kristiani Simalungun na igubah ni Op TS,,,,napinido ni Op.Duynhoven songon na isahaphon bang Simon iatas in,,,
- Simon Saragih Ai piga doding ge karya ni almarhum ai untuk lagu rohani ai ambia Nikolas Saragih Munthe?
- Nikolas Saragih Munthe huahap ham ma botohan ase ahu bang,,,,,atek inangtua L.boru payung ai,,,,,sattabi bang,,,,,,
SUMBER PENYUSUNAN BUKU
Label:
SENIMAN
Peletakan Batu Pertama Pembangunan “Monumen Makam Hinalang” (St RK Purba)

Hinalang- Pdt Jhon Rickky R Purba MTh melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pusara “Monumen Makam Hinalang” (St RK Purba) di Desa (Nagori) Hinalang, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Selasa (22/10/2019). Acara Peletakan Batu Pertama dilakukan sederhana dengan Doa oleh Pdt Jhon Rickky R Purba MTh. Selengkapnya KLIK Gambar
